Bantuan Rawan
Kebiasaan
membantu pihak lain baik berupa barang hidup maupun mati, sudah mentradisi di
kalangan masyarakat Aceh sejak lama. Indikasi ini tidak sulit disaksikan di
berbagai tempat, seperti pemberian kepada peminta-minta, sumbangan tempat
ibadah, anak yatim, sumbangan acara, dan lain sebagainya. Namun demikian, ada
suatu ciri elemen sistem tak boleh dibantu, yakni manakala setiap masalah yang
timbul dari bantuan itu dipersoalkan kepada pemberi bantuan. Memang sulit
mencermati kebenaran peminta bantuan sesungguhnya selain mendengar keluhan yang
disampaikannya. Terlebih lagi dengan linangan air mata seraya mengungkap
tanggung-jawabnya memelihara anak yatim, tidak makan selama seminggu, dan lain
sebagainya. Isu keprihatinan serupa ini cukup cepat mendapat respon dari
masyarakat Aceh dan terpola dalam suatu keharusan sesuai kemampuan. Pernah terjadi
tatkala aku di SMA dulu bersama beberapa rekan yang berlebel santun dalam keluarga terhormat. Satu di antaranya cukup
terpilih untuk memenuhi syarat sebagai anak baik tanpa dosa. Suatu kali ianya
meminta sedikit uang kepada rekan yang lain untuk membeli peralatan sekolah dan
diberikan. Dengan bantuan itu, dibelikannya minuman beralkohol yang masih
langka diminum para siswa kala itu. Tatkala guru dan orang tua mengetahui,
dengan serta merta kerabat itu mengungkap rekan lain yang memberi bantuan,
ditambah sedikit rekayasa fitnah. Artinya, dalam ketulusan bantuan masih terselip
ancaman. Dengan demikian, benarlah Islam yang mengajarkan bahwa harta,
anak, jabatan, dan lain sebagainya merupakan fitnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar