Minggu, 04 Agustus 2013

TABU KEPERAWANAN

tulisan ini pernah ditayang di media online
Popularitas Bupati Lewat Tabu Keperawanan

Ekspose debat hujat tentang Aceng Fikri di televisi boleh jadi merupakan tayangan yang mampu menyerap perhatian pemirsa terbesar tahun ini. Ukuran dugaan relatif sederhana, yakni turut sertanya Presiden SBY untuk mengomentari kasusnya. Tidak terlalu sulit ditebak alasan episode Bupati Garut kali ini lebih banyak mengundang kelompok pemirsa ketimbang kisah perpisahannya dengan Dicky Chandra selaku Wakil Bupati, beberapa waktu lalu. Berita ini mampu menggalang rivalitas bersama dari seluruh elemen masyarakat di kabupaten penghasil dodol tersebut. Tidak berhenti hingga di situ, respon berlanjut dari provinsi, nasional, bahkan dari komunitas internasional. Tersirat persoalan ini semakin dianggap penting tatkala Aceng dihadirkan dilayar kaca TV One pada 25 Desember 2012, disela-sela ekspose kebaktian dan misa natal di berbagai belahan negeri.
Pasalnya seperti dilansir detik.com 28 pada Nopember 2012, dalam opini Ketika Keperawanan Dipermasalahkan,” Aceng dinilai melecehkan perempuan terkait pernikahannya yang hanya berumur empat hari dan menceraikan melalui pesan singkat (SMS) setelah mengetahui perempuan muda berusia sekira 18 tahun itu tidak perawan lagi. Para aktivis menggerakkan demo, menggalang kekuatan agar Aceng dituntut secara hukum karena menikahi gadis di bawah umur, setelah isu pelanggaran moral seputar masa pernikahan singkat relatif mudah ditepis dan sulit menjangkau aspek hukum. Di sisi lain isu kondisi perawan tidak sesuai janji pernikahan relatif berpeluang tergiring ke dalam debat kasus pidana, yakni penipuan.
Sebenarnya, berita semacam ini masih jauh dari aspek pembelajaran publik dan memboroskan enerji bangsa. Betapa tidak, setiap orang mencermati hujatan yang ditayangkan televisi atau ekspose media cetak, terjadi keberpihakan bagi setiap orang tanpa mampu membangun objektivitas pemberitaan. Enerji bangsa terkuras akibat keharusan menghukum Aceng lewat ragam demo serta penggiringan opini publik.  Maksud terusung mulanya bertujuan menghakimi Aceng yang dipersalahkan melanggar etika moral selaku pemimpin daerah. Namun bahasan terjebak ke dalam isu peka, terkait wilayah privat kaum perempuan dan pernikahan. Kedua isu dasar ini terpolitisir untuk suatu penghukuman, tanpa mempertimbangkan  tekanan psikis bagi sosok perempuan yang diceraikan Aceng seketika tersebut. Perlu kiranya para pihak membangun langkah kompromistis dengan melibatkan seluruh komunitas terkait yang dapat memberi pengakuan terhadap hak masing-masing variabel dalam suatu budaya atau tradisi.
Sebahagian budaya masyarakat di berbagai belahan dunia meyakini selaput dara atau hymen merupakan simbol keperawanan dan dipersyaratkan bagi perempuan yang belum menikah. Oleh karenanya, selaput dara seringkali menjadi topik pembicaraan  hangat yang menimbulkan pro-kontra di berbagai kalangan. Mitos tentang keharusan memiliki selaput dara bagi perempuan pada pernikahan pertama tergiring ke dalam wilayah pemikiran sakral yang bertahan hingga sekarang. 
Dalam kultur masyarakat penganut agama tertentu, seperti Islam, Kristen, Hindu dan Yahudi berkembang keyakinan bahwa hilangnya keperawanan seorang perempuan sebelum pernikahan  merupakan persoalan yang sangat memalukan. Ajaran Islam memproteksi umatnya hingga pengaturan cara berpakaian menutup aurat bagi perempuan dengan tujuan menjaga pemunculan birahi bagi lawan jenis yang melihat. Proteksi serupa ini lebih keras dipermaklumkan kepada gadis belum menikah yang diyakini dapat menjaga kesuciannya dari sentuhan pria bukan muhrim.  Dalam ajaran Kristen, keyakinan terhadap keperawanan Bunda Maria, Ibu Yesus, merupakan fondasi kuat untuk menempatkan keperawanan sebagai hal penting dalam kehidupan. Kultur ini kerap tersaksikan dalam implementasi tradisi  resepsi pernikahan masyarakat Barat, di mana cadar serta gaun putih dijadikan simbol keperawanan sosok mempelai wanita. Begitupula pada ajaran agama lain yang mengusung pentingnya nilai keperawanan bagi perempuan yang belum menikah.
Istilah keperawanan memang telah digunakan sejak lama untuk menggambarkan seorang perempuan yang tidak pernah berhubungan seksual sebelum menikah. Keberadan selaput dara yang utuh seringkali dijadikan bukti fisik dari keperawanan tersebut.  Lebih jauh lagi, masyarakat di negara berkembang yang berpersepsi serta pengetahuan seksualnya rendah,  meyakini eksistensi keperawanan ditandai dengan keluarnya darah pada saat malam pertama melakukan hubungan intim.  Darah inilah yang dikenal dengan istilah "darah perawan."  
Wimpie Pangkahila, pakar  Andrologi dan Seksologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali, memaparkan bahwa darah perawan itu sebenarnya hanya mitos belaka.  "Wanita yang tidak terangsang untuk ngeseks atau sedang berada dalam tekanan psikogenik, kejiwaan dan genetika, bisa mengalami pendarahan ketika ia memaksakan hubungan seks," ungkapnya dalam sebuah makalah tentang kesehatan seksual.
Dua tahun silam, 2010, isu keperawanan pernah marak di Indonesia setelah dunia pendidikan terusik kesimpulan publik dari ekspose media tentang tingginya persentase para pelajar perempuan yang tidak lagi perawan. Kompas.com pada 28 September di tahun itu, memberitakan wacana untuk melakukan tes keperawanan bagi calon siswa sekolah menengah atas, SMA. Perlawanan untuk menentang wacana kontroversial tersebut juga tidak kalah maraknya dibanding penghujatan terhadap Aceng Fikri di tahun 2012 ini. Waktu itu, Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan, secara tegas mengatakan bahwa, “tes keperawanan adalah barbar.”  Meskipun primitif, wacana yang diakuinya masih bermoral ini, “sangat lebih dari terbelakang dan kebijakan ini dikeluarkan dengan logika yang sangat salah,” kata Neng Dara saat dihubungi Kompas Female.
Menurut Neng Dara, tes keperawanan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pertama, karena hanya perempuan yang memungkinkan terdeteksi perawan atau tidak, sedangkan keperjakaan laki-laki tidak bisa terdeteksi. Kedua, diskriminasi perempuan di bidang pendidikan, jika kemudian terbukti seorang perempuan yang diperiksa tidak perawan maka ianya tidak mendapatkan akses pendidikan. Padahal, pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang harus diberikan penyelenggara negara. “Diskriminasi di bidang pendidikan sudah menyalahi Undang-Undang Dasar 1945,” papar Neng Dara berusaha mengaitkan isu dengan tujuan negara.
Pengusung wacana tes keperawanan, Bambang Bayu Suseno, anggota DPRD Provinsi Jambi, berkeinginan agar terjadi peningkatan mutu pendidikan di Jambi. Keinginan ini kemudian direspon berbagai pihak, termasuk oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang melihat tes keperawanan bukanlah sebagai solusi.
Di tahun berikutnya ekspose keperawanan marak lagi dalam pemberitaan yang malah lebih luas. Tim Fisher melaporkan pada 16 Juni 2011 dengan topik “Tes Keperawanan: Menghina Perempuan” yang mengekspose bahwa Yayasan Mythe Ontkracht Belanda berpendapat, tidak mungkin membuktikan seorang perempuan masih perawan atau tidak. Ineke van Seumeren, seorang ginekolog di rumah sakit UMC Utrecht bersama Ines Balkema, ketua Mythe Ontkracht mengatakan tes keperawanan itu tak ada gunanya selain hanya merupakan cara jitu untuk menekan perempuan dan melanggar hak asasi perempuan. Mereka menceritakan apa yang terjadi di Kairo, "ketika para demonstran perempuan di Mesir menjalani tes keperawanan tersebut, mereka bertelanjang bulat dan dipotret sejumlah personel militer. Hasilnya, para perempuan bakal berpikir dua kali sebelum ikut berdemonstrasi atau mengadukan kasus perkosaan. Ini adalah kasus serius pelanggaran hak asasi manusia."
Jauh sebelumnya, tahun 1960, guna menyiasati situasi yang tak menentu para dokter dituntut menjelaskan hal yang sesungguhnya tentang keperawanan dan selaput dara. Dalam penantian pencerahan soal ini, beberapa dokter justru melakukan praktek memperbaiki atau meniru selaput dara.  Praktek yang disebut hymenoplasty,  yakni upaya memperbaiki atau meniru selaput dara berkembang di Jepang untuk membantu banyak gadis yang sudah sering melakukan hubungan seks. Meski para dokter yang mempraktekkan hymenoplasty ini beralasan bahwa etika rekonstruksi selaput dara ini bisa dibandingkan dengan bedah plastik, namun pendapat ini dianggap tidak ilmiah. Tindakan bedah plastik yang dilakukan pada bagian tubuh seperti wajah atau payudara, tidak terkait dengan mitos. Para dokter diharapkan mempunyai tanggungjawab moral guna menghapus mitos yang menyesatkan dan tak bermanfaat ini. Dengan begitu, tindakan peniruan selaput dara atau hymenoplasty pada gadis yang sudah tidak perawan hanyalah akan menjadi upaya memelihara, mengabadikan mitos tentang selaput dara dan keperawanan. 

Mencermati isu berulang dalam edaran masa, tersirat adanya hambatan dalam mengungkap ketabuan terkait wilayah privasi kaum perempuan. Kekhawatiran kaum perempuan tentang ekspose kondisi keperawanannya berpeluang menyudutkan kredibilitas moral sosok perempuan tertentu di tengah khalayak. Kompas.com, 8 Januari 2010 pernah meliris topik “mitos keperawanan bikin takut.”    Dalam dialog saling bantah itu, terekspose pernyataan seorang perempuan dalam suasana kegundahan. “Saya seorang gadis berumur 27 tahun, berencana menikah tahun ini. Masalahnya, saya selalu khawatir, bahkan takut dengan keadaan saya. Saya sudah tidak perawan lagi, meskipun hilangnya keperawanan saya bukan karena suka melakukan hubungan seks bebas. Waktu berumur 12 tahun, saya mengalami kecelakaan, jatuh dari sepeda. Sampai saat ini saya masih takut mengatakannya kepada calon suami, takut dia tidak percaya dan menuduh saya yang bukan-bukan,” katanya. Harapan  solusi tak terhadirkan tatkala konsultasi dijawab oleh Wimpie Pangkahila, “sesungguhnya tak ada bukti ilmiah bahwa olahraga seperti lompat tinggi dan jatuh dari sepeda dapat menimbulkan robekan di selaput dara.”
Dalam ragam diskusi, jarang diulas tentang hubungan mitos keperawanan dengan kemampuan eksploitasi birahi pasangan. Mitos keperawanan lebih berorientasi kepada urusan gengsi seksualitas belaka sebagai konsekwensi menghormati adat dan budaya tertentu. Intervensi kultur mengharuskan prestise seorang suami menjadi taruhan tatkala gagal memperoleh perawan di saat meyakini pasangannya merupakan perempuan belum ternoda. Padahal dalam diam sama terakui,  kepuasan seksual tidak semata-mata terikat dalam suatu cara pandang berbasis mitos serupa itu. Jarang pula terungkap, seberapa banyak perjaka tidak berpersoalan dalam hal seksualitasnya setelah menikahi para janda yang secara jelas berstatus tidak perawan. Dalam konteks ini dapatlah disinyalir bahwa keperawanan hanya merupakan perangkat psikis yang dapat mempengaruhi keberlanjutan aktivitas pasangan seksual. Kesimpulan diskusi seksual hanya mampu mengusung pernyataan umum, bahwa kebutuhan seksual adalah kebutuhan dasar manusia berupa ekspresi perasaan dua orang individu secara pribadi yang saling menghargai, memperhatikan, dan menyayangi sehingga terjadi hubungan timbal balik antara kedua individu tersebut. ( Alimut , 2006)
Seksualitas merupakan bagian integral dari kehidupan manusia serta dapat didefenisikan sebagai kondisi kolaborasi kualitas manusia yang meliputi, cinta, akrab, intim, pengakuan, penerimaan dan ekspresi diri manusia sebagai makhluk seksual. Kebutuhan seksual (sex needs), yaitu kebutuhan pelampiasan dorongan seksual sebagai fungsi biologis yang sudah ada sejak lahir. Seksual merupakan kebutuhan primer yang sama tingkatannya dengan makan, minum, tidur, dan lain sebagainya. Bedanya, kebutuhan primer selain seksual dapat serta merta diungkap tatkala terdesak,  sementara kebutuhan akan seksual terbungkus dalam ketabuan yang rentan meledak melalui berbagai aspek dan isu.
Meskipun berbagai pihak memaklumi bahwa seksual sebagai kebutuhan primer dan rutin ini dilakukan setiap manusia sepanjang hidupnya, komunitas pembela perempuan membangun 13 batasan definisi tentang hal-hal yang tergolong ke dalam tindak kekerasan terhadap kaum perempuan. Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (DPKTP), Pasal 1, mendefinisikan “Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.”

Dalam batasan yang dideklarasikan sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan, DPKTP juga mengaitkan tekanan psikis yang dapat mempengaruhi jiwa seorang perempuan digolongkan sebagai tindakan kekerasan. Salah satu batasan yang tergolong tindak kekerasan terhadap perempuan yang telah disosialisasikan, yakni “intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan.” Maksud dari batasan ini lebih lanjut diuraikan sebagai, tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan. Serangan dan intimidasi seksual disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain.”

Di tahun 2012 ini, boleh saja Aceng dipersalahkan telah melanggar batasan tindak kekerasan yang disepakati dalam norma DPKTP, yakni mengintimidasi perempuan melalui sms (short message service). Isu “tidak perawan,” yang sempat terbahas di lintas elemen sayup memudar karena bersamaan dengan isu Aceng menikahi anak  di bawah umur, 18 tahun kurang beberapa hari. Para pembahas yang juga pembela perempuan tentu cerdas memahami kondisi, manakala isu menikahi anak di bawah umur digelindingkan, para pembela Aceng akan balik bertanya tentang kelayakan seorang gadis di bawah umur tidak perawan lagi tanpa bahasan untuk pengusutan kasus itu.

Dalam mencermati berbagai cerita dari tahun ke tahun tentang isu keperawanan, dapatlah disinyalir bahwa urusan ini masih merupakan potensi saling debat antar generasi. Hingga saat ini debat yang terjadi hanya mampu menggiring kreativitas kelompok pembela kaum perempuan membangun teknik perlawanan baru tentang isu penting atau tidaknya keperawanan yang masih tabu itu. Ragam alasan yang diusung kerap berbenturan dengan konsep budaya, keilmuan, terlebih lagi dengan kepercayaan atau agama tertentu.

Saling hujat dan bantah antar elemen masyarakat dunia belum menyentuh berbagai variabel dasar dari pembiaran debat menahun tanpa solusi kompromis yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan. Terkadang, tendensi argumentasi yang dikemas berpeluang memojokkan keberadaan perempuan itu sendiri dari aspek moralitas. Konsep mengagungkan perempuan dari kepercayaan atau budaya tertentu semakin dipertaruhkan dalam debat berkepanjangan ini. Dampak perdebatan berpeluang memunculkan kekhawatiran dari komunitas tertentu, yakni penggiringan kata keperawanan terpupuskan dalam kamus bahasa dunia.  Lebih dahsyat lagi, tatkala muncul pemikiran “tidak waras” akibat keperawanan menjadi masalah berkelanjutan, yakni dengan memupuskan keperawanan bagi bayi perempuan untuk menjaga imej kesucian tatkala memasuki jenjang pernikahan kelak, tanpa khawatir terhadap hujatan amoral yang mengarah tindak kekerasan psikis terhadap dirinya. Jika kondisi serupa ini terjadi, sungguh sejarah kekejaman jahiliyah berulang manakala kaum kafir Quraisy menghalalkan pembunuhan anak perempuan yang baru lahir.

Jelang akhir tahun, tepatnya pada 29 Desember 2012, televisi yang sama menayangkan kegiatan Aceng Fikri di pasar tradisional Garut. Tayangan ini menandakan Aceng mulai membangun pencitraan kembali di tengah masyarakatnya. Ada dialog kebutuhan masyarakat di sana meski baru sebatas janji akan membangun pasar baru pada tahun 2013 mendatang. Berita tudingan terhadapnya mulai bertukar menjadi kabar menggembirakan dari orang nomor satu tersebut. Pada gilirannya, khalayak memaklumi kondisi yang terjadi hanyalah upaya penggiringan perkara seksual ke dalam kesalahan sosok yang berpeluang juga terjadi pada sosok-sok lainnya. Perseteruan hujatan hanya memperluas popularitas sosok Aceng ke seluruh nusantara. Namun, tidaklah etis jika perluasan popularitas yang diperoleh merupakan sumbangan dari isu yang masih tabu, yakni keperawanan. (Razuardi Ibrahim 301212)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar