Sabtu, 03 Agustus 2013

PEMBELAAN ISLAM

Potensi Seni Menghadapi Penghinaan Rasulullah
 tulisan ini pernah dimuat di media online tahun lalu
Penghinaan terhadap Nabi Muhammad bukanlah isu baru, karena sejak sosok agung ini diutus menjadi Rasulullah SAW empat belas abad silam, kafir Quraisy intens melancarkan berbagai tindakan intimidasi. Umat Islam ketika itu hanya mampu bersabar menerima perilaku musyrikin tersebut karena mereka masih lemah. Zaman berganti, kreasi penghinaan terhadap kharisma Rasulullah semakin beragam, andil kemajuan teknologi dan maidset demokrasi yang kian menggejala di millenium ke-3 ini.  

Meskipun Muhammad SAW bersikap moderat, tidak sedikit  kalangan di masa hidupnya selalu menentang. Banyak informasi al-Quran berikut riwayat yang menunjukkan, bahwa beliau senantiasa berusaha mencegah berbagai kesalahpahaman, tudingan tidak berdasar, dan penghinaan terhadap konsep Islam yang diyakini mampu merubah tradisi jahiliyah. Beliau berupaya keras dengan berbagai cara untuk mengenyahkan sebab musabab perselisihan yang muncul di tengah umat kala itu, bahkan setelah dirinya wafat.

Dari berbagai cara intimidasi jahiliyah yang tidak jarang berwujud penganiayaan fisik, Rasulullah juga mengalami penghinaaan lewat karya seni, seperti yang dilakukan Abu Jahal.  Selain menuduh Muhammad SAW sebagai seorang yang kurang akal,  pemuka musyrikin ini mengupah para seniman untuk menghina Nabi melalui media seni, salah satu di antaranya An Nadhar Bin Al Harith.

Sejarah berulang meski pada zaman berbeda. Di bulan September 2012, dunia dihebohkan lagi dengan gejolak massa dampak pelecehan ideologi Islam. Kontroversi seputar film Innocence of Muslims yang dianggap menghina Nabi Muhammad SAW, mengundang masyarakat Muslim dunia bereaksi keras. Pasalnya, tayangan film yang disutradarai Sam Bacile berbiaya lima juta dollar itu memfitnah Nabi Muhammad dalam gambaran yang sangat keji, yakni dengan menuduh Rasulullah sebagai pendukung fedofilia dan homoseks yang ditampilkan dalam adegan tidak senonoh menurut pandangan Islam.

Di negeri-negeri mayoritas Muslim seperti Libya terjadi protes di Konsulat Amerika yang mengakibatkan tewasnya duta besar Amerika bersama tiga staf. Sementara di Kairo, Mesir, protes massal dilakukan dengan tindakan penurunan bendera negara adidaya itu. Pemerintah Afghanistan memilih cara lebih taktis dalam menyikapi hal ini, yakni memblokir situs jejaring youtube yang menyiarkan video tersebut.  Di Indonesia,  ragam demo digerakkan di beberapa tempat tertentu yang berujung bentrok dengan aparat penertiban.

Tidak ketinggalan pula protes lewat media tulis, khususnya yang berbasis elektronik termasuk jejaring sosial dunia maya. Menurut Qosim Nursheha Dzulhadi, penulis dan pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, orang-orang yang turun ke jalan dan ke lokasi tertentu, bukan menghujat film Innocence of Muslims untuk melakukan demonstrasi. Tetapi mereka tengah mengekspresikan kecintaan kepada Rasulullah SAW. Sikap dan tindakan para demonstran yang dikesankan anarkhis dan tidak bermoral ketika menyerang beberapa Kedutaan Besar Amerika di beberapa negara, belum berbanding dengan perasaan umat Islam yang tercabik dan terkoyak karena kehormatan Nabi Muhammad dihina dan direndahkan. Beliau juga mengomentari bahwa kematian Dubes AS di Benghazi, Libya, John Christopher Stevens, hanya bagian kecil dari bukti kecintaan umat Islam kepada Nabi mereka.
Qosim berpegang, bahwa Syeikh al-Islam, Imam Ibnu Taimiyah sejak lama telah menulis buku penting bertajuk al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul, yang artinya pedang terhunus bagi pencaci Rasul. Buku ini penting, karena menjadi bukti betapa seorang Muslim tidak boleh luntur kecintaannya kepada Rasulullah. Secara tegas ia berpesan, siapa saja yang mencaci-maki Rasulullah hukumannya adalah bunuh (al-qatl).

Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (sekira tahun 1268), ia dibawa ayahnya ke Damaskus menghindari serbuan tentara Mongol atas Irak yang cukup mengkhawatirkan. Ulama Islam terkemuka ini tidak hanya ahli dalam ilmu pengetahuan saja, tetapi juga gemilang dalam memimpin pertempuran untuk melawan pasukan Mongol di Syakhab, dekat Damaskus, tahun 1299 M. Pada Pebruari 1313, beliau juga bertempur di kota Jerussalem dan mendulang kemenangan hebat. Reputasi berkolaborasi dengan fatwa tegas Ibnu Taimiyah diakui cukup handal memproteksi pelecehan ajaran Islam di abad ke-13.

Obsesi perlawanan fisik sebagai respon komunitas Muslim yang diperkuat dengan kisah perjalanan keras Ibnu Taimiyah dapat dipahami sebagai suatu ekspresi mempertahankan fanatisme terhadap sosok suci sekaligus tauladan umat Islam di muka bumi. Namun zaman bercerita lain terhadap bentuk-bentuk perlawanan yang bertensi mengusung suatu kebenaran. Kenyataannya, perseteruan ideologi melalui kecanggihan dunia maya dianggap lebih mampu memupus kebenaran, termasuk wilayah aksioma sekalipun.

Beberapa tahun sebelum Innocence of Muslim berkumandang, episode Fitna telah lebih dulu mengusik ketenangan umat Islam. Film karya politikus Belanda, Geert Wilders yang juga pemimpin Partij voor de Vrijheid (PVV), mengungkap pandangannya mengenai Islam dan Qur'an. Karya yang dilatar-belakangi oleh sedikit pengetahuan Wilders tentang sejarah Islam ini, dirilis di Internet pada tanggal 27 Maret 2008. Tersirat ia merasa bahwa Islam telah mengurangi kebebasan di Belanda dan perilaku Muhammad tidak cocok dengan moralitas masyarakat Barat. Yusuf al Qardhawi merespon perbuatan Wilders dengan pernyataan keras, "kami bukanlah umat yang gemar memulai provokasi dan juga melakukan pertentangan, sebaliknya kami adalah umat yang sejahtera (salam) dan perkataan 'Salam' merupakan satu di antara nama-nama Allah yang suci dan ditinggikan."

Dalam karya tulis sastra, hujatan terhadap Islam juga pernah membangkitkan amarah Muslim dunia. The Satanic Verses, novel ke-empat karya Salman Rushdie yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1988, lagi-lagi mencela kisah hidup Nabi Muhammad. Dalam novel ini, tokoh utama yang bernama Mahound, kemungkinan besar merujuk pada Nabi Muhammad, diceritakan secara paralel dengan dua tokoh utama lainnya, Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha.

Di Inggris, novel ini diterima dengan baik oleh para kritikus, dan menjadi finalis Booker Prize di tahun itu, walaupun dikalahkan oleh Oscar and Lucinda karya Peter Carey yang memenangkan Whitbread Award untuk novel terbaik. Namun di kalangan Muslim, novel ini menggiring hadirnya hujatan bersama dari beberapa pemimpin Islam dunia. Sebuah fatwa terhadap Rusdhie yang ditetapkan pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Khomeini, yakni hadiah satu juta dollar bagi siapa saja yang membunuh Rushdie dan tiga juta dollar jika pembunuhnya berasal dari Iran. Kharisma fatwa keras dari imam Syiah tersebut cukup kuat mempengaruhi beberapa pemimpin negeri non-Islam untuk bersikap. Dampaknya, beberapa negara larut dalam kehebohan ini sebagai wujud solidaritas berbangsa saling menghormati. Venezuela melarang buku tersebut beredar dan mengancam 15 bulan penjara kepada siapa saja yang membacanya. Sementara di Jepang, seorang penerjemah yang terlibat dengan buku tersebut ditikam sampai mati. Selanjutnya, buku ini tidak boleh beredar di India, negeri asal Rusdhie. Keberadaan The Satanic Verses juga menyulut kerusuhan relatif besar di Pakistan hingga tahun 1989.

Banyak lagi penghinaan yang dilakukan dengan cara berbeda dari para pihak yang berkepentingan untuk itu. Mencermati fluktuasi hujatan berulang terhadap Islam, dapat disinyalir seakan ter-desain kemasan yang menunggu suasana tertentu di tengah komunitas Muslim. Kultur masyarakat Muslim yang mudah bereaksi dalam membela berbagai bentuk hujatan cukup dipahami pihak tertentu untuk menciptakan ketidak-nyamanan dunia. Tatkala komunitas Muslim sedang menikmati ketentraman, isu pembusukan digelindingkan kembali dengan berbagai tujuan nyata dan tersirat. Kondisi yang terjadi dinikmati sebagai hiburan oleh kalangan itu, selain digunakan untuk menghiasi pemberitaan berbagai media massa dunia. Dampak lain dari ragam tujuan tersebut,  terbangun kesimpulan tertentu terhadap nilai-nilai luhur ajaran Islam, sekaligus menguras energi umat dalam menghimpun kekuatan protes dan unjuk rasa.
Selayaknya dikilas kembali tentang gemilang film The Message, produk tahun 1976 yang disutradarai Moustapha Akkad, pria kelahiran Syria 1 Juli 1930. Ia meninggal pada 1995 di Amman, Jordan, akibat ledakan bom. Film ini sempat memicu kontroversi karena aktor utamanya, Anthony Quinn diisukan memerankan tokoh Rasulullah. Propaganda itu tidak berhasil, karena tokoh Rasulullah dan para sahabat tidak ditampilkan sosoknya secara utuh, melainkan di luar sorotan kamera.
Sebagai tontonan bioskop, The Message yang juga dikenal dengan judul Wahyu Ilahi, cukup memukau masyarakat dunia termasuk masyarakat non-muslim. Tidak terbantahkan, bahwa karya seni akting di masa fasilitas internet belum mewabah seperti sekarang ini, efektif membendung upaya pendegradasian citra Nabi Muhammad berikut ajarannya. Pengakuan terhadap Islam agama sempurna mampu menyusup ke dalam pola pikir generasi masa itu yang terindikasi dari lamanya film itu bertahan dalam peredarannya hingga jelang akhir tahun 1980-an.
Ada lagi sebuah tayangan film dokumenter tentang Sayyid Musa Sadr di jaringan televisi satelit Al-Manar. Dia ulama besar, pioner pasukan perlawanan Hizbullah  Lebanon di era 70-an, di tahun-tahun awal invasi Zionist Israel. Dalam film yang berdurasi relatif panjang itu, diperlihatkan momen-momen dia tengah berbicara di hadapan jamaah sebuah gereja berarsitektur agung di Sidon. Dengan sorban hitam keulamaanya serta wajahnya yang teduh, ia berdiri di sebuah mimbar  berlatar tembok tinggi ber-ornamen kaca gereja yang memukau. Musa Sadr mampu menjadi menara suar kala itu sebelum akhirnya hilang misterius. Hingga kini ia dianggap pahlawan oleh hampir semua kalangan dan agama di Lebanon. Banyak pihak meyakini kemungkinan besar ia diculik saat berkunjung ke Libya. Ada yang bilang dia telah mati, meski tak sedikit yang meyakininya masih hidup dan tertawan. Tapi sebelum kepergiannya, dia telah mewariskan sesuatu yang berharga, yakni fikih persatuan umat.

Di Nigeria, persoalan pencitraan positif terhadap Islam diusung dengan cara tersendiri. Organisasi Gerakan untuk Budaya Islam dan Kesadaran Nigeria (MICA) yang didirikan pada tahun 1994, merupakan asosiasi para profesional Muslim muda bertujuan mempromosikan nilai-nilai luhur Islam. Seiring perkembangannya, kelompok ini memiliki peranan besar membantu keluarga muslim Nigeria untuk memperoleh pendidikan yang layak lewat kampanye bertema "Dakwah dengan Tanggung Jawab Sosial". Melalui kampanye tersebut, mereka melaksanakan beragam kegiatan sosial, seperti menyiapkan penyajian paket kesehatan untuk anak-anak di LASUTH (Lagos State Teaching Hospital).

Mencermati informasi di atas, dapat dipahami ragam sikap komunitas Muslim dalam memproteksi citra Islam yang secara tidak langsung memberi pengayaan bagi semua. Kontribusi penyelesaian persoalan dalam bentuk fatwa keras, membangun kepedulian, hingga tayangan film bermutu merupakan pilihan untuk dijadikan pertimbangan umat. Perbedaan dari ke-tiga sikap ini terletak pada kecerdasan menentukan reaksi dari hujatan yang dikembangkan, mengingat cerita sebatas kejayaan Islam masa lalu, baik semasa kekhalifahan maupun tatkala Rasulullah memimpin umat semakin terabaikan. Intervensi pemutar-balikan fakta keunggulan Islam seakan leluasa memainkan perannya saban waktu. Dari ke-tiga sikap tersebut, tayangan film produk karya seni, dirasakan lebih ampuh mengimbangi pembusukan citra Islam sekaligus membangun mindset antar generasi berkelanjutan.
Di awal abad ke-21 sekarang ini langka ditemui karya seni yang mampu mempertahankan citra Islam seperti karya seniman masa terdahulu, abad ke-20 dan sebelumnya. Tak satupun ungkapan yang dapat dijadikan alasan untuk menjawab kondisi kelangkaan ini. Akhirnya umat perlu sama berupaya memupus anekdot tentang Islam dibangun dengan kekerasan, atau ada yang sengaja memperkuat isu dengan pedang dan darah. Tidak mustahil, eksistensi karya seni generasi Muslim yang didasari kepedulian dan ketulusan dapat segera merubah anekdot buruk menjadi semboyan Islam dibangun dengan ilmu pengetahuan dan indahnya kebenaran.
Razuardi Ibrahim-230912


Tidak ada komentar:

Posting Komentar