Senin, 12 Agustus 2013

BERDEBAT DENGAN MISAL

Debat Permisalan

Setelah kucermati beberapa lama, tradisi komunikasi masyarakat relatif rentan dipengaruhi ungkapan atau makna suatu permisalan. Tradisi ini berkembang sejak lama dan mampu menyusup ke dalam tradisi sastra, seperti hadirnya karya satra populer sebelum tahun 1970 di kalangan masyarakat yang berjudul, “Andai-andai Si Muin.” Makna permisalan inipun berkembang dalam beberapa kata seperti kalau, misal, andai, umpama, andakata, jika, jikalau, bila, mana tau dan lain sebagainya. Aku menerawang kembali ke beberapa peristiwa masa lalu, tentang peluang pererselisihan yang terjadi di tengah masyarakat akibat ke-tidaksepakatan dari sebuah permisalan. Di tahun 1978 ketika aku masih duduk di bangku SMA, pernah kawan akrabku, AJ, membakar lengan kerabat lain, IS, akibat debat permisalanan seketika. Pasalnya, AJ menaruh hati kepada ER, teman wanita se-angkatan IS, yang dimintakan tolong oleh AJ untuk mengirim salam setiap ketemu. Dalam diskusi persiapan pengiriman salam itu, IS mengungkap sebuah permisalan, “kalau nanti ER naksir ke aku gimana bang?,” tanya nya. AJ langsung saja naik pitam sehingga terjadi pertengkaran panjang, saling tuduh dan bantah. Di luar aspek asmara, debat permisalan dalam aspek status sosialpun dapat menimbulkan ketegangan hingga berakhir dengan perkelahian.
Razuardi Ibrahim, Langsa
11 Agustus 2013
Di tahun 1988, beberapa kawan yang sama baru diwisuda melakukan diskusi kecil tentang suatu kemungkinan diterimanya salah seorang dari mereka setelah diadakannya testing bersama untuk menjadi karyawan PT Arun di Fakultas Teknik. Salah seorang dari mereka mengklaim bahwa kawan lain tidak bakal lulus karena penerimaan terbatas. “Kalau aku yang diterima, gaji pertama akan kubagi untuk kalian semua,” kata alumnus yang sesumbar itu. Lantas yang lain membantah bahkan menuduh kawan tadi berlaku curang jika hanya dia yang lulus. Suasana debat kecil saat itu menciptakan hubungan kurang harmonis sesaat di antara mereka. Terlebih lagi debat permisalan hari itu mengundang kecurigaan sesama.


Debat permisalan terus saja terjadi hingga ke tahun 2013 ini, meskipun persentase yang berdampak perselisihan relatif menurun. Namun jika ditelaah lebih lanjut, ungkapan permisalan bukan mulai ditinggalkan dari tradisi komunikasi, melainkan berubah orientasi ke mindset lain, yakni menyusup ke dalam aspek perpolitikan secara umum. Di mana-mana orang dari partai politik tertentu lugas menguji permisalan dengan animo konstituennya yang bertujuan mendulang suara. “Jika saya duduk di dewan usulan proyek saudara-saudara akan mulus,” demikian ungkapan umum para caleg. Bagi kelompok yang menolak pernyataan seperti itu, bantahan bahkan hujatan akan serta merta diperdengarkan. Tidak jarang akibat konflik komunikasi ini berakhir dengan debat yang dapat terbuktikan secara langsung. Tidak cukup sampai di situ, ada lagi debat penyesalan akibat debat permisalan masa lalu. “Kan sudah saya bilang kalau Tuanku Nifra jadi bupati korupsi kan  bisa dihapuskan,” kata salah seorang timses kepada kawannya. “Ya kalau dia menang, tapi jika Pasangan  Bobang ini kalah kan bisa gawat belanja kita,” bantah yang lain dengan keras. Banyak lagi contoh-contoh debat permisalan yang masih beredar di tengah masyarakat. Mencermati keadaan seperti ini, dapatlah disimpulkan sementara bahwa  tradisi komunikasi permisalan untuk suatu tujuan dalam masyarakat masih bertahan, sementara perdebatan dalam permisalan cukup mampu meyakinkan sistem komunitas. Kondisi ini dapat dijadikan ukuran tingkat pemahaman masyarakat secara umum dari aspek mindset, yang relatif bermanfaat bagi perancang pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar