Sabtu, 19 April 2014

KONSEP IKHLAS

Konsep Ikhlas
 
Headline Serambi Indonesia, 19 April 2014
Sejak hari pemilihan umum caleg, Rabu, 09 April 2014 lalu, banyak orang-orang mempersoalkan kesetiaan. Tentunya seputar pencoblosan kertas suara, dalam hal komitmen orang tertentu yang ingkar janji setelah membuat kesepakatan bersama dengan berbagai konsekwensinya. “Kurang ajar memang, uang diambil tapi mereka mencoblos calon lain,” kata seorang yang lagi marah, di tengah kerumunan beberapa warga kawasan Lhokseumawe. Suasana serupa itu marak di berbagai cafe, warung, mesjid, meunasah, dan pusat-pusat konsentrasi lainnya, pada sore hari hingga malam, setelah penghitungan suara. Meskipun aku tak mengenalnya, namun aku mencermati ekspresi seseorang yang berbicara keras itu sebagai orang yang sedang bermasalah dengan ke-ikhlasannya. Betapa tidak, “bantuan diterima juga tapi suara yang dijanjikan jauh di bawah target,”  ujarnya dengan nada tinggi. Agar aku tidak terjebak dengan ungkapan orang itu ditambah beberapa lagi yang lain, aku mengukur perasaannya dengan hal serupa yang pernah juga aku alami.

Aku rasakan mereka lebih beruntung dariku, karena para caleg kecewa tersebut memiliki harapan tertentu meskipun gagal. Kebiasaan memberi bantuan yang aku lakukan tidak berorientasi politis seperti yang mereka bahas sehingga kata pengkhianatan lebih banyak muncul dalam bahasan itu. Orientasi ekonomi yang aku lakukan kepada orang-orang tertentu pun mengalami hal serupa. Manakala aku diusung untuk turut dalam pilkada, sebagian orang-orang yang pernah aku bantu turut membangun provokasi terhadapku, padahal aku tidak mengikat orang-orang itu dengan janji untuk memilihku. “Itu merupakan hak privasi yang tak mesti dipaksa,” kataku pada masa-masa itu. Terdapat perbedaan mendasar antara pengalamanku dengan yang mereka rasakan, yakni kekecewaan dan  ketulusan. Boleh jadi aku keliru dalam menyimpulkan, meskipun kecewa mereka lebih beruntung karena memberi sesuatu namun mendapatkan harapan, sedangkan aku memberi sesuatu dan tidak mengharap sesuatu apapun, tetapi mendulang hujatan. Namun tidak berlebihan dalam ungkapan ini, aku pernah mendapat pemahaman konsep tulus sejak aku aktif di kegiatan kampus dulu. Artinya, konsep ini cukup membantu perasaan tatkala aku mengalami pengingkaran dari kerabat tertentu. Persoalannya, kemasan perasaan seperti apa yang harus tertanam sehingga aku dapat melupakan pemberian yang pernah kulakukan kepada orang tertentu.


Konsepnya sederhana saja, yakni anggaplah segala bentuk pemberian itu laksana membuang hajat yang memang tidak pernah diingat untuk kembali. Aku meyakini, terdapat keikhlasan luar biasa dalam diri setiap orang tatkala membuang hajat.  Jika kecewa tidak terpupuskan juga, tanamkan dalam pikiran bahwa, untuk apa lagi hajat itu bersama kita, toh benda itu sudah menjadi milik makhluk lain. Bahkan benda itupun sudah berkumpul dengan komunitasnya di dalam septick tank.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar