Fenomena Wanita di Pantai Kute
Catatan Razuardi di
Pantai Kute, 280710
Negosiasi untuk foto dengan bule berjemur, Pantai Kute 2010 |
Dalam suatu kunjungan luar daerah Tim Rumah
Sakit Umum Bireuen, mendampingi tim DPRK Bireuen ke Bali, banyak waktu luang
yang bisa dimanfaatkan untuk wisata. Rekan-rekan banyak yang berkeinginan
mengunjungi pantai, khususnya Pantai Kute yang kesohor itu. Aku menuruti saja
kehendak dominan dari para rekan, namun tidak begitu antusias. Karena banyak
informasi yang menceritakan tentang kebebasan orang-orang mempertontonkan tubuh
telanjang, khususnya bule.
Sejenak aku duduk santai menikmati
rayuan perempuan tua penjaja kain khas bali di bawah bayangan pohon ketapang
yang rindang. Angin lumayan sejuk berhembus sekira pukul sepuluh pagi, pada 28 Juli 2010. Cukup menyenangkan pantai
itu, ditandai cengkerama banyak pasangan di sana.
Semakin siang semakin banyak saja
pengunjung ke situ, dengan ragam kendaraan. Suatu kendaraan sempat menyita
perhatianku, bus pariwisata yang disesaki para wanita paruh baya dari daerah
tertentu. Mereka berjilbab, menutup aurat mencirikan asal komunitas itu,
muslimah. Dari dialog, debat, diskusi, saat melintas samar kudengar tujuan dan basis kelompok wanita
tersebut.
Dugaanku tepat, mereka dari kelompok
majelis taklim yang asal daerah tidak kuketahui. Kuperhatikan gerak gerik
mereka yang penuh tawa lepas. Sesekali terdengar penggalan dialog dari
mereka,”....kepingin juga mandi kayak gitu....,” kata seseorang yang lebih
senior di antaranya sambil menunjuk ke arah wanita bule sedang berjemur di
bibir pantai dengan pakaian celana dalam dan beha, seadanya.
Sekejab kupanggil perempuan penjaja kain
Bali untuk kupilih satu dari sekian banyak pilihan kain warna-warni untuk
kulilitkan di kepalaku, layaknya ustad juga. Kudekati kerumunan wanita taklim
tanpa curiga, dengan harapan menyimak hasrat mereka lebih lanjut. Dialog
simpang siur dengan ekspresi gemuruh para kaum ibu tersebut semakin
menguatkanku tentang apa yang mereka inginkan. Tak lama berselang perempuan
senior memanggil lelaki muda bule yang baru usai selancar di pantai itu. “Saya kepingin foto sama
perempuan bule itu boleh...?,” tanyanya, “Ya kan tidak mungkin mandi bebas kayak
dia, foto aja jadilah,” sela yang lain. Lelaki muda itu mengangguk dan disikapi
dengan berlarinya seorang wanita taklim ke pantai untuk menanyakan kesediaan
wanita bule berfoto bersama mereka.
Selesai foto rebutan dengan perempuan
bule setengah telanjang itu, mereka tertawa kegirangan dan bergumam masing-masing,
“Kita bisa juga kayak bulek itu tapi ini pergi rombongan ya gak mungkin lah,” kata
seseorang dari mereka.
Dalam strata hukum, sebagian orang
mempersoalkan tentang ekspose foto, lukisan, patung, tarian, dan karya seni lainnya
yang menyerempet aspek pornografi. Banyak juga yang tidak setuju dengan
pengklusteran masalah seni ke dalam pornografi. Namun para seniman lebih
memilih diam tanpa kata menanggapi kontroversi orang-orang yang suka debat
tanpa karya. Mudah dicermati bahwa, pornografi juga terjadi akibat dari semua elemen,
secara umum berhasrat untuk menikmatinya. Upaya penolakannya pun cenderung
terjebak ke dalam suasana ke-berpura-puraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar