Parte Buruh Pengusung Solidaritas Sesama
Gejala solidaritas di lingkungan Fakultas Teknik dapat
dicermati sudah berlaku sejak lama, meskipun tersamar dan tidak terungkapkan. Saling
bantu atau saling memberi info khusus sesama kelompok tertentu merupakan hal
biasa yang disinyalir hanya membantu percepatan pelayanan kerabat yang baru
datang dari daerah tertentu. Aku sering mengunjungi tempat tinggal kawan-kawan
di asrama, rumah cost, dan tempat lainnya yang dihuni rekan-rekan asal satu
daerah. Namun kekuatan solidaritas yang terbangun tidak sampai terjebak ke
dalam suatu pemahaman tendensius yang mempertahankan premordialisme.
Aku, Ucok Gedabak (M Nasir), Maimun dan Pondi (T Zahedi) berkumpul di Lhokseumawe mencari peluang kerja, 1990 |
Hingga tahun 1980, suasana keakraban dalam sistem
pembelajaran cukup kentara dan jarang terdengar adanya friksi antar elemen baik
sesama pengajar, mahasiswa dan lain sebagainya. Solidaritas yang terjadi mampu
mengikis berbagai sikap tendensius, konon lagi premordialisme yang dapat
membangun friksi berkepanjangan yang tidak menguntungkan. Pemanfaatan premordialisme
ini berpeluang muncul tatkala diadakannya event
pemilihan pimpinan fakultas, jabatan strategis di lingkungan kampus, dan lain
sebagainya. Pergantian pimpinan fakultas di masa itu tidak pernah dipersoalkan
karena pengakuan terhadap sosok yang layak untuk memimpin, terukur dari
berbagai aspek, khususnya tingkat ke-insinyurannya. Tidak mengherankan, tatkala
peralihan pimpinan fakultas dari Ir M Ali Ismail M Eng, ke Ir Imran A Rahman
Eng, pada 1980, sambutan mahasiswa dan para dosen cukup hangat. Begitu pula
tatkala terjadi peralihan pimpinan dari Ir Imran A Rahman M Eng kepada Ir
Buchari RA M Eng, di tahun 1984. Contoh baik ini semakin menjadi episode
terkagumi dan manjadi mindset
kebersamaan bagi segenap civitas akademika.
Di kalangan mahasiswa juga serupa itu, tak ada
friksi berarti dalam peralihan pucuk pimpinan mahasiswa, yakni Senat Mahasiswa.
Pengakuan terhadap sosok aktivis tertentu teruji dalam unjuk kepiawaian
berinteraksi antar elemen, baik di lingkungan fakultas maupun di pergaulan
antar fakultas. Solidaritas terlahir benar-benar mampu menghadang konsep
premordialisme yang rentan terjadi saban waktu. Namun demikian, pemikiran
keberpihakan terhadap sosok pemimpin mahasiswa melalui konsep premordialisme
selalu mendesak dengan ragam alasan. Perpecahan dampak usungan premordialisme
itu terjadi di tahun 1982. Tahun itu merupakan masa pertukaran Senat Ketua Mahasiswa
yang sedang dijabat Bang Nasruddin. Dari pihak mahasiswa mengusung satu nama,
kalau tidak salah Hasbi Armas atau Mohd Sanusi, keduanya mahasiswa angkatan
1976. Namun, pihak fakultas mengharuskan nama lain yang tidak sesuai dengan
aspirasi mahasiswa. Sejak saat itu, terbentuklah kelompok mahasiswa yang termarjinalkan
dalam sistem kepengurusan Senat Mahasiswa dengan sebutan Parte Buruh. Suatu sebutan spontan dari para aktivis mahasiswa
teknik tanpa makna yang mendalam selain ungkapan kejengkelan. Banyak kegiatan
mahasiswa yang formal yang diprogramkan senat baru, namun gagal terlaksana
akibat boikot kelompok ini. Waktu itu, setiap mahasiswa baru yang masuk ke
kampus Fakultas Teknik, dapat dipastikan simpati dan ikut bergabung ke Parte Buruh. Kebersamaan berkolaborasi
antar mahasiswa tiga jurusan, sipil, mesin dan kimia, cukup padu akibat satu
rasa ketidak-puasan dampak kebijakan fakultas. Di sisi lain banyak kalangan
beranggapan, Parte Buruh dilebelkan
sebagai kelompok hura-hura, brutal yang kontra disiplin dan berpotensi drop-out akibat renggang dengan elite
mahasiswa di kampus itu.
Dalam membangun kebersamaan berkelanjutan, komunitas
ini kerap melakukan kegiatan spontanitas, ekspresi unjuk rasa positif dan produktif. Dukungan
finansialpun tidak sulit didapat dari sesama mahasiswa, bahkan dari pengusaha
yang bersimpati kepada kreativitas Parte
Buruh. Namun yang lebih penting dari sekadar finansial yakni kesiapan
tenaga dan ide untuk dilaksanakan. Pada
tahun 1985, banyak rekan-rekan dari kelompok ini selesai kuliah dan diwisuda. Parte Buruh mengusung pelepasan
wisudawan dengan kegiatan Peusijuk
Wisudawan yang dilaksanakan di Ujong Batee, pantai di lintasan jalan ke
Krueng Raya, dengan tujuan menyaingi kegiatan formal yang diadakan di fakultas.
Beberapa dosen senior turut hadir menyahuti kehendak kelompok mahasiswa yang berlebel hura-hura. Semua urusan lancar,
baik dari aspek formal pemerintahan maupun dukungan donatur yang prihatin atas
kondisi keretakan antar mahasiswa teknik. Melihat kemudahan perizinan
menggunakan pantai yang diberikan Pemerintah Daerah Tingkat II Aceh Besar
tersebut, mudah ditebak, pada tahun 1986
komunitas Parte Buruh mengusulkan
pembenahan pantai tersebut untuk kenyamanan dan ketertiban warga berwisata di
sana. Semua kerabat dalam komunitas bekerja menyukseskan hasrat menggebu siang
dan malam. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, beberapa bangunan sederhana
terwujud di kawasan wisata itu, sepeti pintu gerbang masuk beserta loket, balai
tempat shalat, balai istirahat, toilet dan sumur dangkal, dan beberapa fasilitas
lain. Pemerintah Daerah Aceh Besar waktu itupun memberi apresiasi luar biasa
yakni dengan sebuah kebijakan, bahwa mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah bebas
mengadakan acara tahunan di lokasi itu. Bagaikan gayung bersambut, Parte Buruh membangun konsep lanjutan
dengan membuat rencana dan seminar Bhakti Sosial Pembangunan Desa (BSPD) yang
awalnya dipimpin oleh Alfiansyah YBC, di samping kegiatan sukses lain di tahun
itu, seperti penghijauan Kota Jantho. Penggalangan kebersamaan yang dilakukan Parte Buruh relatif sederhana, yakni camping rutin tanpa jadwal yang mesti terbenah
seketika.
Pernah suatu ketika sekira tahun 1983, Senat
Mahasiswa mengadakan acara Leha-leha, suatu acara yang menjadi simbol pesta
seni mahasiswa teknik yang sukses di tahun 1979 dan 1981, usungan para senior
angkatan 1970-an, di Gedung Olah Raga Banda Aceh. Acara yang bertujuan
menggalang kebersamaan mahasiswa itu tidak mendapat dukungan dari kelompok Parte Buruh, tak lama kemudian Band
Fakultas Teknik yang sempat melegenda di Banda Aceh, vakum beberapa tahun. Pada
tahun 1986, Fakultas Hukum mengadakan ulang tahun dan menyusun beberapa agenda
acara, salah satunya festival band. Menyikapi hal ini, para elite Parte Buruh terjebak dalam suatu kondisi
mempertahankan opini sebagai fakultas handal, dengan satu jawaban “kita harus tampil.” Pada saat kritis
dari aspek dana, waktu dan personil, aku dan Wesli mahasiswa angkatan 1981, diperintahkan
untuk mengkoordinir soal ini. Dengan segala keterbatasan, aku dan Wesli
menghubungi beberapa rekan dalam komunitas Parte
Buruh dari semua angkatan. Dalam 2 hari kelompok band dadakan terbentuk
dengan formasi, Wesli selaku drummer dan Nova Iriansyah, mahasiswa sipil
angkatan 1982 membetot bass. Sementara
pada posisi keyboard dimainkan oleh Hilman, mahasiswa baru jurusan mesin tahun
1986. Sasmita, mahasiswa sipil angkatan 1982 berposisi sebagai pengiring
melodi. Setelah formasi disepakati sesama musisi group band dadakan tersebut,
pertanyaan mengarah kepada sosok vokalis dan lagu yang akan dibawakan.
Tersebutlah Herman, mahasiswa teknik sipil 1982 dan aku dari mahasiswa sipil
1980, atas tekanan Wesli untuk mempertanggung-jawabkan persetujuan tampil atas
permintaan elite Parte Buruh. Tidak mudah bagiku untuk menghafal lagu-lagu baru
masa itu berbarengan dengan kesibukanku menyusun proposal tugas akhir yang
sudah ditunggu oleh Pak Ali Ismail. Wesli meyakinkanku agar aku nyanyikan saja
lagu-lagu yang aku hafal meskipun lagu lama. Tak lama berdiskusi tentang itu,
terkondisilah desain musik yang akan kami tampilkan dalam festival Sabtu depan
dengan tiga lagu, yakni lagu baru “kamu”
dinyanyikan oleh Herman, sementara aku
membawakan “sepasang mata bola” dan “jambo-jambo” yang diaransir dalam tempo
jazz. Pada hari festival yang diadakan di halaman bagian utara kampus Fakultas
Hukum, para komunitas Parte Buruh
telah hadir sejak jam 09.00 WIB pagi, membuktikan benar-tidaknya aku dan Wesli
komit terhadap misi kelompok.
Kekuatan Parte
Buruh yang sebenarnya adalah belenggu kebersamaan dalam mengusung
kreativitas pendukung nama besar Fakultas Teknik. Ketidak-relaan terhadap imej bahwa
mahasiswa teknik merupakan mahasiswa abadi, cengeng dan kampungan, harus
terpupus di lingkungan kampus. Komplain terhadap opini berkembang harus dijawab
dengan setiap kreativitas yang diusung tidak
boleh gagal. Dengan kekuatan ini pula konsep Parte Buruh mampu mengeliminir
konsep-konsep premordialisme yang lazim berkembang dalam trend mahasiswa saat itu. Tidak sulit membuktikan keberadaan
premordialisme pada mahasiswa teknik waktu itu. Sebagai contoh, mahasiswa asal
daerah tertentu berusaha mendapatkan dukungan dari para senior yang berasal
dari asal yang sama. Namun, keberadaan Parte
Buruh mampu mengatasi banyak hal di kalangan mahsiswa kala itu, khususnya
penyelesaian materi tugas rumah seperti perancangan yang menyita waktu bulanan,
yang berpeluang mengancam mahasiswa tertentu drop-out. Tidak
mengherankan, jika di rumah Adam, mahasiswa sipil angkatan 1981, banyak
rekan-rekan dari berbagai angkatan, yang belum menyelesaikan tugas rancangan
berkumpul di situ untuk di”keroyok”
tugasnya beramai-ramai.
Jika dicermati, di dalam kelompok inipun, interes
mashasiswa terbagi lagi ke dalam tiga sub-kelompok, yakni kelompok pekerja,
kelompok simpatisan fanatik dan yang numpang popularitas. Struktur yang
terbentukpun berbasis talenta yang ada pada sosok tertentu. M Nazaruddin (Bang
Edt) mahasiswa sipil angkatan 1976 merupakan sosok pemberi alasan kegiatan
boleh dilakukan. Maimun Js (Bewok) mahasiswa sipil angkatan 1977, cukup
berperan dalam menggiring massa untuk membantu berbagai kegiatan parte. Rachmatsyah Nusfi, angkatan 1977
dan aku yang digelar mereka Essex asal angkatan 1980, tanpa surat keputusan
sudah jelas dibebani urusan spanduk dan desain tempat kegiatan. Tidak pula
ketinggalan, Dian Nadir (Boenk) dan Amir Hasan (Paman), sama-sama dari sipil
1974 memposisikan diri dalam pengukuran lokasi kegiatan. Banyak lagi rekan-rekan
senior lain yang tidak terdokumentasi dan teradministrasi dengan baik. Dari
angkatan 1982 teknik sipil, tersebut pula Anton Kamal, Abustian, dan beberapa
yang lain. Dari jurusan teknik mesin 1980, ada Elwi Susanto yang berperan
sebagai pelipur lara, Bakaruddin (Koa) yang berperan pemantau kesiapan
konsumsi. Takpun ketinggalan Ralizar (Jal Sabang) dari teknik mesin 1979,
mahasiswa ahli pemasangan listrik dan sound sistem yang mempertahankan talenta
dengan cukup berani. Pemasangan antena Radio Kampus pada tahun 1981, setinggi
lebih dari 60 meter dipanjat dan dipasangnya seorang diri dengan peralatan
sederhana, tali pengikat badan, balok 2 inci sepanjang 2 meter sebagai
penyangga dan sebuah kunci Inggris. Adalagi rekan dari sipil angkatan 1979,
seperti Munizar Yahya dan Suryanto (Anto Kribo) yang selalu bertindak sebagai
surveyor awal lokasi kegiatan. Dari angkatan 1984 yang aktif saat itu, salah satunya
Alfiansyah YBC, bersama beberapa rekannya yang lain.
Mencermati sebagian kisah, bahkan masih banyak lagi
prestasi Parte Buruh yang belum
teringat untuk ditulis, yang dapat dikemas ke dalam suatu definisi, yakni sekumpulan mahsiswa fakultas teknik yang
mampu membangun solidaritas sesamanya melalui pemupusan sekat jurusan, asal dan
angkatan. Begitulah sekilas suasana mahasiswa Fakultas Teknik dalam memperthankan
solidaritas antar elemen, mahasiswa, dan terpenting mempertahankan imej sebagai
kampus kreative yang dihuni komunitas macho.
Jelang hari wisuda, 2 September 1988, Pak Ali Ismail berujar kepada Bewok, “setelah kalian tamat apakah ada anak-anak
teknik seperti kalian,” katanya
dengan mata sedikit berkaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar