Menetapkan Pejabat Struktural
Razuardi Ibrahim bersama CPNS Bireuen, 2010 |
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian, pada BAB I Ketentuan
Umum Pasal 1 dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah
setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan,
diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara
lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pointer yang lain dijelaskan bahwa Jabatan Karier adalah jabatan
struktural dan fungsional yang hanya dapat diduduki Pegawai Negeri Sipil
setelah memenuhi syarat yang ditentukan.
Di Harian Serambi Indonesia, tanggal 16 Januari 2013, Sekda Aceh T Setia
Budi mengingatkan, “PNS di jajaran Pemerintah Aceh diimbau tidak terpancing
dengan isu mutasi, apalagi terprovokasi dengan bujuk rayu sekelompok orang yang
menyatakan bisa mengurus untuk menjadi pejabat eselon II, III, dan IV, sehingga
harus mengeluarkan dana yang besar untuk kompensasi pengurusan tersebut,” ujar
Sekda Aceh, mengingatkan. Di samping itu menurut Nasrullah Ka BKPP Aceh,
ada penelepon yang mengatakan kepadanya bahwa gubernur akan melantik pejabat
eselon II pada hari Senin (14/1). Namun, faktanya tidak ada. Kemudian pada hari
Selasa (15/1 2013), masuk lagi telepon yang meminta konfirmasi kepadanya apakah
benar pelantikan pejabat eselon II ditunda sampai Kamis (17/1 2013) setelah
gubernur pulang dari Jakarta. Berita ini mengindikasikan ada persoalan
dalam mutasi pejabat struktural di jajaran Pemerintah Daerah.
Di masa aturan penempatan pejabat yang sering
dikabarkan tidak mengacu pada ketentuan
maka perlu keterampilan pengambil kebijakan untuk itu. Misalnya ada cerita
tentang penempatan sosok PNS berlatar belakang guru untuk menjadi kepala bagian
patology di rumah sakit tertentu. Kata kawan-kawan adalagi kemungkinan, jika
seorang PNS berbasis pendidikan pengembangan Syariat Islam lantas diharapkan menjadi
kepala pada bagian pemeliharaan jalan, dan lain sebagainya. Pernah aku
diceritakan kisah jenaka suatu kali antara tahun 2002 hingga 2006, di suatu kabupaten
tempat yang pernah aku bekerja, terjadi mutasi dan diperlukaan seorang kepala
dinas pengairan. Oleh karena seorang rekanku masuk nominasi dan punya link
khusus dengan petinggi daerah, dia ditempatkan di posisi itu padahal dia
seorang sarjana peternakan yang bertitel insinyur juga (IR). Para pengambil
kebijakan daerah beralasan bahwa, “kan sama saja insinyur itu, kan ada airnya,
“ katanya menguatkan keyakinan di antara mereka bahwa di sekolah peternakan
diajarkan juga pengairan untuk itik berenang.
Tidak jauh berbeda, ketika aku menjabat Kepala
Bappeda Bireuen yang kedua kalinya, 2009, Bupati Nurdin mengatakan kepadaku
bahwa perlu mutasi di level eselon 3 dan 4. Aku menyikapi hal ini biasa saja
dan memang aku juga ingin pembenahan internal namun secara terbuka, tidak perlu
ditutup-tutupi. Khawatir banyak agen yang menjual namaku untuk mendapatkan
manfaat dari mutasi itu. Aku buatkan struktur organisasi Bappeda kosong untuk
diisi peminat di kalangan pegawai. Aku serahkan kepada sekretaris dan para kepala
bidang untuk diisi, dan nanti kutanyai para calon pejabat tersebut. Berhari aku
tunggu struktur organisasi yang mereka isi dan aku tanyakan kepada mereka,
“kapan selesai?.” Mereka menjawab,
“nanti siang kita duduk pak.”
Siang yang dijanjikan pun tiba, kuperhatikan
struktur yang diberikan kepadaku. “Oke ?, berarti sudah sesuai dengan keinginan
kepala bidang ya ?,” ungkapku menutup pertemuan. Lantas aku panggil pejabat
yang diusul calon atasannya untuk aku tanyai kesediaannya serta wawasannya
dalam tugas itu. Tidak lama aku proses mekanisme itu dan terakhir aku suruh
mereka ceritakan masalah apa yang dominan di jabatan itu, seraya aku selingi
dengan pertanyaan dari yang diceritakan. Aku berfikir logis saja, jika pejabat
itu tidak tahu menjawab tentang apa yang ia ceritakan tentu tidaklah layak dia
mengemban tugas di situ.
Minimal
aku telah berusaha menjalankan aturan seperti diamanatkan undang-undang di atas
pada pasal 3, yakni “Pegawai Negeri
berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan
tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar