Pengalaman Sebagai Pegawai Negeri Sipil
Om Ridwan Mahmud, 1997 |
Berbagi pengalaman
juga suatu pembelajaran. Aku menjadi pegawai negeri, setelah tiada pilihan lain
untuk bekerja seraya membina generasi anak negeri. Semula aku berkeras ingin
jadi pekerja seni, namun terhalang jaminan hidup yang kulihat tidak menentu
dari rekan-rekanku yang seniman. Lantas, adik ayahku, Ridwan Mahmud yang ketika
itu salah seorang manajer di PT Arun leluasa menerima karyawan, aku ditawarkan
untuk kerja di situ. Tapi aku lebih berfikir kalau diterima dengan konsep KKN,
alangkah sayangnya rekan-rekanku yang lebih mampu dan lebih hebat terhalang
oleh cara-caraku. Om Ridwan arif dan tidak memaksa aku untuk memperoleh hak
dengan cara begitu. Meskipun kala itu
aku lihat banyak saudara-saudaraku dari Matang Geulumpang Dua, Peusangan datang
mengurus pekerjaan melaluinya. Banyak juga hasil kebun dibawa mereka, seperti
jeruk bali, asam sunti, pliek u, dan lain sebagainya.
Razuardi Ibrahim, 2009 |
Aku lulus
testing pegawai negeri pada 1989 dan diangkat pada 1990. Dalam perjalanannya,
banyak pengalaman di luar tugas yang kudapat, khususnya dalam hal berinteraksi
dengan lain staf, instansi, organisasi dan lain sebagainya. Namun tak jarang
rekan-rekan senior di dinasku mengajarkan lobi dan melakukan hubungan baik
bahkan berlebihan dengan pejabat tertentu di sekretariat daerah. Aku juga
merasa tidak punya banyak waktu untuk melakukan hal seperti anjuran para senior
karena tugasku di Dinas PU cukup banyak, selaku penanggung jawab laboratorium
pengujian bahan. Aku juga merasa aneh tatkala tiba musim mutasi pegawai.
Rekan-rekan senior sibuk melakukan pendekatan dengan kepala dinasku melalui aku
karena Pak Suadi, Kepala Dinas PU Aceh Utara waktu itu cukup respon kepadaku.
Aku tidak
pernah meminta atau mengirim orang untuk
meminta jabatan tertentu pada para pengambil kebijakan daerah. Hal ini tabu kulakukan karena bakal menjadi
beban yang tak pernah terlepaskan selama aku masih berstatus pegawai negeri.
Jasa pemberian atas permintaanku kuramalkan pasti mendera berbagai sikap
kreativitasku. Kurasa aku relatif
berhasil dalam aspek ini mengingat aku mampu bertahan selama 21 tahun bertugas.
Namun
demikian, banyak para kelompok-kelompok tertentu yang lebih berpredikat
organisatoris baik di partai politik maupun di organisasi masa lainnya, datang
menawarkan jasa untuk mempertemukan aku dengan orang-orang yang dianggap tokoh
daerah. Sering kutolak cara-cara seperti itu, meskipun dengan simpati. Tak
jarang di antara para broker tersebut bercerita bahwa ada orang-orang tertentu
tengah membangun isu negatif seputar diriku. Biasanya aku diamkan saja komentar
mereka seraya mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
Aku menilai
bahwa para broker tersebut berupaya mendapatkan sesuatu dari pemerintah daerah
melalui peranku dengan bermodalkan ketangkasan bertutur dan olah isu. Sering
aku menjadi korban secara finansial,
yang sejak awal aku sudah paham tentang maksud pendekatan yang dilakukannya.
Kupikir agar tidak membuang waktu yang panjang biarlah kuselesaikan maksud
tersirat dari mereka, yakni rejeki. Dalam konsep pelayanan seperti ini, aku
lazim memerankan diri sebagai orang yang sedang kedatangan para tuna sosial
yang butuh uluran tanganku, dan dengan mindset
ini pula aku merasa nyaman selalu.
Termarjinal dan Terpakai
Perlu kuulangi
lagi, aku menjadi pegawai negeri berawal di Dinas Pekerjaan Umum Daerah Aceh
Utara, tahun 1990 dengan masa honor selama satu tahun. Kelulusan testing
pegawai-negeriku pada tahun 1989 tidaklah merupakan hal yang istimewa, karena
permintaan jurusanku, teknik sipil, kurang pesaing. Para insinyur teknik sipil
kala itu lebih tertarik ikut testing di propinsi, sebagai pegawai Departemen
Pekerjaan Umum, yang notabenenya pegawai negeri pusat. Perbedaan pegawai negeri daerah yang nomor
induk pegawainya diawali angka 39, dengan pegawai pusat yang diawali angka 11,
cukup sering dibicarakan di berbagai lingkungan kantor pemerintahan, khususnya
menyangkut prestise pusat dan daerah.
Masa
pengangkatanku sebagai pegawai, Bupati Aceh Utara waktu itu adalah Bapak Ramli
Ridwan, SH. Oleh karena kepala dinas-ku, H Suadi, BIE, hanya berpredikat
sarjana muda, aku kerap dihadirkan dalam setiap rapat-rapat teknis di pendopo
kabupaten maupun tingkat propinsi di Banda Aceh. Oleh karena keadaan ini pula,
aku merasa mendapat apresiasi yang luar biasa karena Pak Suadi selalu
mengajakku menemui Pak Ramli untuk menyusun proposal berbagai infrastruktur
daerah meskipun aku masih berpredikat calon pegawai negeri sipil. Singkat
cerita, banyak pekerjaan teknis dikonsultasikan kepadaku oleh bupati dan kepala
dinas dan yang tersukses adalah program
peminjaman dana dari Departemen Keuangan RI sejumlah Rp 12,5 milyar untuk
percepatan pembangunan.
Aku merasakan
saat itu, Pak Ramli dan Pak Suadi senang kepadaku karena aku tidak pernah
membantah terhadap apa saja yang diperintahkan mereka. Kadangkala ada proposal
infrastruktur yang tidak pernah ditangani di tingkat kabupaten namun harus
kusiapkan untuk presentasi Pak Ramli di Jakarta dua hari ke depan. Kesulitan
ini biasanya kuatasi dengan menghubungi rekan-rekanku sesama sarjana teknik
sipil yang ada di Politeknik Lhokseumawe.
Tahun 1993
masa jabatan Pak Ramli berakhir dan digantikan dengan Bapak Karimuddin
Hasybullah, SE. Sebagian pejabat bermuram durja, sementara yang lain
bersukaria. Aku tidak mahfum tentang keadaan yang berubah. Banyak orang
membicarakan jadwal pelantikan, isu jabatan, dan lain sebagainya. Sosok
swastapun tidak ketinggalan, khususnya kontraktor. Kulihat banyak pahlawan baru
yang selalu menakut-nakuti setiap pegawai yang dijumpai. Apalagi di kantor PU
Daerah yang dianggap banyak uang karena banyak menangani proyek infrastruktur.
Tak lama
setelah hiruk pikuk kemenangan Pak karim, sebelum pelantikan, isu mutasi
pejabat beredar. Tidak terkecuali
orang-orang dekat bupati lama seperti aku, meskipun golongan pangkatku masih
III A. Aku tidak diperbolehkan lagi menangani pekerjaan yang selama ini aku
tangani. Kegiatan perencanaan teknis dan sebangsanya tak lagi menjadi tugasku,
karena aku digolongkan oleh para tim sukses Pak Karim sebagai Orari (Orang Ramli Ridwan). Aku tidak
terganggu dengan kondisi ini dan tidak pula berusaha mencari pembenaran, seraya
kuyakini dalam hati akan terjadi benturan dalam pelaksanaan konstruksi di
lapangan. Perlahan kucermati, kondisi
pengembangan isu seperti ini bertujuan menjadikan aku terpinggirkan dan
tidak dilibatkan dalam aktivitas proyek. Aku tidak berkecil hati namun merasa
heran tentang tatakerja aparatur yang rada aneh menurutku. Setahun juga lamanya
aku hanya datang ke kantor hanya untuk berbincang-bincang bersama rekan, di
samping menjaga laboratorium pengujian bahan.
Dalam
perjalanan setahun itu, aku menyaksikan terjadi konflik antara pengelola proyek
di Dinas Pekerjaan Umum dengan pelaksana lapangan, kontraktor. Kejadian demi
kejadian menggiring para petugas diperiksa aparat berwajib, termasuk aku
sebagai penanggungjawab laboratorium untuk dimintai keterangan.
Keadaan
semakin rumit manakala konflik pelaksanaan konstruksi melibatkan para Muspida.
Atas rekomendasi aparatur di Sekretariat Daerah, Sekretaris Daerah Kabupaten
Aceh Utara, Ismail Bantasyam memanggilku untuk menempatkan aku menjadi pemimpin
proyek inpres peningkatan jalan kabupaten (IPJK), proyek yang cukup populer
ketika itu. Aku keberatan karena aku tidak masuk dalam usulan dari dinasku.
Namun Pak Sekda mendesak seraya berpesan agar aku bekerja sebaik mungkin dan
jangan berbuat macam-macam seperti yang tengah terjadi. Akhirnya kuiyakan
maksud Pak Sekda dengan hati tidak menentu, khawatir kepala dinasku yang baru
gusar kepadaku.
Dalam posisi
sebagai pemimpin proyek, banyak jembatan rangka baja yang aku selesaikan
melalui konsolidasi tim yang kuat. Pada saat itu, Bupati Karimuddin Hasybullah
sering memanggilku ke pendopo untuk menyusun strategi penerobosan daerah
terpencil di Kabupaten Aceh Utara. Kerap aku ke lapangan bersama beliau dan tak
jarang membuat para atasanku terusik. Namun bupati tetap meyakinkanku agar
tidak usah sungkan terhadap para atasan yang dirasakan tak memberi solusi bagi
visi misi beliau.
Posisi ini
memberi prestasi kepadaku, yakni dengan suksesnya
aku memimpin pembangunan jembatan Teupin Gapeuh Kecamatan Tanah Pasir bersama
rekanan PT Tabina, yang dipimpin Bang Saifannur, asal Paya Meuneng, Matang
Geulumpang Dua. Waktu itu Bupati Karimuddin mendapat banyak pujian dari
berbagai kalangan, karena muara Krueng Keureutoe tempat jembatan dibangun
merupakan lintasan kapal barang Mobil Oil, perusahaan minyak dan gas yang
sedang giat-giatnya beroperasi di Aceh Utara. Semangat Pak Karim, sebutan
populer Bupati Aceh Utara itu, semakin membuncah sehingga banyak jembatan
rangka baja dan beton dibangun di masa kepemimpinan beliau. Puluhan jumlahnya,
tersebar di seluruh kecamatan dari Kecamatan Jambo Aye hingga Samalanga.
Popularitas
Pak Karim sebagai penerobos kawasan terpencil dengan ikon pembangunan jembatan,
ternyata membangun imej lain bagi
kalangan tertentu. Para kolega beliau memanfaatkan isu keberhasilan ini untuk
promosi Pak Karim dalam rencana meraih jabatan ke-dua, musim pilkada 1998.
Dalam setiap pertemuan Pak Karim sering menyanjungku sebagai orang muda yang
sigab membantu programnya. Dengan sendirinya, aku terlibat dalam bahagian
pencitraan Pak Karim. Sebenarnya aku risih juga disanjung sedemikian rupa
karena tidak nyaman didengar para seniorku yang kadangkala sering dimarahi Pak
karim.
Hari pemilihan
Bupati Aceh Utara pun tiba. Waktu itu pemilihan Bupati hanya dilakukan oleh
anggota DPRD. Dalam pilkada ini Pak Karim kalah, beliau mundur dari pencalonan.
Bupati terpilih kala itu adalah Tarmizi
Karim. Euforia para timses Pak Tarmizi tidak jauh berbeda dengan masa menangnya
Pak Karim lima tahun silam. Kalaupun ingin dibedakan hanyalah orang-orangnya
saja, yakni timses Pak Karim umumnya berasal dari Aceh Utara, sementara
sebagian timses Pak Tarmizi orang-orang dari Banda Aceh. Kali ini sejarah
penggusuran berulang, aku diisukan sebagai bagian masa lalu yang harus
dinonaktifkan.
Tentu berbeda
dalam menyikapi atau menilai isu dua kelompok timses dari dua asal berbeda.
Timses Pak Tarmizi mudah menyerap isu dan memvonis terhadap orang-orang yang
menjadi objek isu karena alasan tadi, yakni orang yang tidak paham tentang
karakter orang-orang berkepentingan saat munculnya Bupati terpilih. Berbalik
adalah cara yang paling mudah dilakukan mereka dalam menyusup ke dalam kelompok
timses Banda Aceh, saling membangun kepentingan.
Selama se-tahun
aku hanya menyaksikan rekan-rekan bekerja tanpa terlibat langsung dengan
pekerjaan. Dalam tahun itu juga aku saksikan terjadi benturan di lapangan sesama
rekanan yang merasa berjasa. Suatu kali T Zahedi mengajakku ke Pendopo menemui
bupati, “harus kita klirkan masalah isu buruk tentang kita,” katanya. Aku diam
saja karena aku pikir kearifan pimpinan tidak dengan menunggu orang-orang
datang menyatakan setia. Lalu dalam tahun 1999, aku diposisikan sebagai Ketua
Panitia Pelelangan, dan sukses meski setelah penempelan pengumuman lelang,
kantorku di bakar.
Dalam masa
itu, Bireuen mekar menjadi kabupaten sendiri. Aku diharuskan oleh Bang Tar Raden pulang
ke Bireuen. Ada juga hambatan administrasi kala itu, namun Bang Tar raden berkeras ke Gubernur untuk mengurusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar