Tulisan ini pertama kali kurilis
pada tahun 2000 sepulang dari Baso, Sumatera Barat dalam rangka SPAMA. Pernah
kupresentasikan di depan rekan-rekan di Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada
2002, minggu pertama dalam materi Paradigma Pembangunan. Mendapat apresiasi
luar biasa dari instruktur kami Ibu Endang di akhir pembelajaran setelah makan
siang di Restoran Sunda di jalan Batu Belah, Jakarta. Sepulang dari Spamen
(Diklatpim II) tulisan ini kusempurnakan.
Razuardi Ibrahim bersama Said Mustafa, Jakarta 2012 |
Membangun Visi Bersama
Razuardi, Ramadhan 1423 H
Perjalanan Kabupaten Bireuen
saat tulisan ini diturunkan telah berusia 2 tahun. Ada perubahan di sana. Setidaknya dari
gerakan dunia usaha, khususnya pengembang. Harga toko di Kota Bireuen
sebelumnya 400 juta rupiah per unit menanjak menjadi 600 juta per unit. Ada
juga barang-barang lain yang bernasip serupa. Tidak pula ketinggalan dari
aspek aparatur. Di samping bertambahnya jumlah pegawai negeri sipil, perangkat
aturanpun turut bertambah, khususnya yang menuntun
perjalanan pembangunan. Konsep pembangunan digiring ke suatu aturan perencanaan
strategis (renstra) dengan tujuan agar pertumbuhan yang terjadi mudah diukur.
Persoalan renstra sesungguhnya tidak terlepas dari pernyataan visi
masing-masing daerah. Untuk memberi gambaran tentang pilihan visi, sebaiknya
dilakukan sedikit deskribsi illustrasi dari
episode sebuah film, seperti uraian berikut.
Adalah sebuah hamparan pulau
kecil yang dikelilingi laut luas sehingga tidak terlihat daratan lain yang
dapat dijadikan titik pandang untuk memberikan harapan bagi komunitas yang ada
di pulau itu. Di sini berdiamlah sekumpulan manusia
secara turun temurun dengan pemimpin yang berkelanjutan secara turun temurun
pula. Kehidupan mereka sangat bergantung pada hasil laut dan hewan buruan yang
ada di pulau itu. Keadaan ini telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Suatu ketika datanglah topan dan badai
menerpa kenyamanan hidup mereka, ombak menggulung ke daratan, pondok tempat kediaman
mereka porak poranda, jerit tangis dimana-mana dan pemimpin mereka pun
meneriakkan perintah agar penghuni pulau melakukan penyelamatan ke tempat yang lebih tinggi.
Beberapa hari kemudian bencanapun reda. Mereka lapar,
dahaga, lemah, sakit bahkan ada yang tidak tertolong lagi jiwanya. Pemimpin
mereka duduk termenung dengan pandangan hampa tanpa dapat berfikir dan
bertindak untuk mengatasi keadaan yang sedang dirasakan.
Dari penghuni pulau yang tersisa tampillah beberapa
pemuda menghadap pemimpin dengan penuh harapan, agar kiranya ada pemikiran ke arah penyelamatan terhadap
penghuni pulau tatkala bencana serupa kembali tiba. Sudah barang tentu para
pemuda merasakan bagaimana jika bencana ini menimpa mereka di saat
pemimpin tempat mereka menggantungkan
harapan telah tiada. Dan mereka pun
bertanya kepada pemimpinnya “Ketua yang kami muliakan, . . . . .apa yang
mesti kita perbuat agar kita yang
tinggal di pulau terpencil ini bisa hidup berkecukupan makan minum tanpa
khawatir bencana seperti kemarin datang tiba-tiba dan kita tidak melihat ada
pulau lain di sekitar kita . . . . . . .”. Dengan tarbata-bata pemimpin itu
berkata, “ Kalau benar seperti apa yang
kalian katakan maka pikirkanlah oleh kalian upaya apa yang mesti kita lakukan
agar pulau ini dan laut yang mengelilinginya
dapat menjamin kehidupan anak cucu kita seterusnya”.
Cerita fiksi di
atas menggambarkan suatu kejadian di mana pernyataan pemimpin itu mengandung
suatu visi yang lahir seketika di saat mereka tertimpa masalah yang mesti
dicarikan jalan keluarnya, guna menjamin kehidupan hari esok mereka. Betapa pernyataan visi itu
begitu penting bagi mereka kendati
dirasakan relatif sederhana.
Gambaran tentang masa depan yang coba diciptakan, yang
diuraikan dalam tata bahasa bentuk masa
kini (present tense), seakan-akan itu sedang terjadi sekarang. Suatu pernyataan
yang menunjukkan kemana komunitas itu ingin pergi, dan menjadi seperti apakah
ketika mereka sampai di sana. Banyak para pakar memberi pemahaman bahwa semakin
kaya dengan detail dan visual maka visi yang dibangun tersebut akan semakin
kuat.
Pada satu komunitas dalam
lingkup yang relatif kecil, pernyataan visi akan lebih mudah terwujudkan
oleh karena kebutuhan serta
persoalan yang dihadapi masing-masing
individu relatif sama. Pesamaan ini
adalah kekuatan yang realistis bagi komunitas itu, di mana
persamaan dapat membangkitkan
karakteristik positif lainnya untuk mendorong
agar lahir suatu pernyataan dari mereka dengan harapan persoalan yang
dihadapi bersama dapat teratasi. Dengan demikian harapan atau cita-cita yang
ingin dicapai oleh masing-masing individu dalam kelompok itu lebih realistis,
serta visi bersama terbangun dengan sendirinya tanpa mengalami hambatan yang
berarti. Hal ini menunjukkan bahwa jika dalam satu komunitas mengalami masalah yang sama serta menyadari
bahwa persoalan itu adalah persoalan bersama maka visi bersama akan terbangun
dengan sendirinya.
Beberapa hal yang membuat visi bersama itu terbangun
dengan mudah antara lain,
§ Setiap individu atau
kelompok-kelompok individu mempunyai masalah bersama
yang mengharuskan mereka selesaikan
secara bersama pula. Kenyataan ini dapat dilihat dari pengalaman pengadaan
suatu sarana ibadah di desa-desa.
§ Sistem yang terbatas dalam
suatu komunitas, tidak melibatkan sistem yang terlalu
luas sehingga hambatan mudah diperhitungkan.
§ Komitmen bersama
yang kuat dalam mewujudkan visi. Oleh karena
keinginan menyaksikan keberhasilan pencapaian visi begitu besar maka akan
tercipta uasaha yang maksimal dari setiap individu dalam komunitas.
§ Budaya yang
homogen dalam suatu komunitas akan membentuk
cara pandang yang sama dalam komunitas itu.
§ Hubungan
emosional yang kental dari masing-masing individu terhadap sesamanya akan menciptakan sikap saling menghargai antara sesamanya pula.
§ Potensi sumber
daya alam yang sama dalam lingkungan komunitas
akan menciptakan akivitas kehidupan yang sama pula.
§
Dan
lain sebagainya.
Masih banyak lagi hal-hal yang dapat
menjadikan visi bersama mudah terbangun, yang dapat diindentifikasi di
lapangan, mengingat beragamnya karakteristik yang dimiliki oleh tiap-tiap
komunitas.
Dilihat dari latar belakang
terbangunnya suatu visi bersama dapatlah dirasakan bahwa ada visi yang dibangun
dengan mudah hanya berdasarkan hubungan emosional yang kental atau hanya dengan
satu budaya yang homogen, kendatipun disadari atau tidak komunitas itu relatif
akan mengalami kesulitan dalam mencapai visi tersebut disebabkan sulitnya
pengidentifikasian faktor-faktor lingkungan eksternal dan internal. Jika
pengamatan di lapangan dilakukan, dengan
melihat penyebab lahirnya suatu visi
dari beberapa komunitas maka bolehlah
dinyatakan bahwa tingkatan visi dapat digolongkan minimal ke dalam tiga kelas
yaitu, “political vision”, “intelectual vision” dan “emotional
vision”.
Political vision
yaitu visi yang dibangun secara terpaksa atau dipaksakan oleh subkelompok atau
individu yang dominan dalam suatu
komunitas sehingga visi yang terbangun tidak mencerminkan
aspirasi dari keseluruhan komunitas. Visi ini biasanya tidak memiliki citra “sence
of belonging” dari sebahagian besar individu sehingga dalam proses
pencapaian kondisi ideal yang terkandung dalam pernyataan visi tersebut sulit
diwujudkan oleh karena tidak mendapat dukungan dari subsistem yang bekerja pada
kelompok atau komunitas itu. Dengan demikian visi tersebut kehilangan makna dan
menjadi semu bahkan tidak memiliki kharisma yang patut dibanggakan oleh
individu maupun sub-sub kelompok di dalamnya.
Intelectual vision
merupakan suatu visi yang dibangun berdasarkan pencermatan lingkungan yang
akurat atau dengan kata lain berdasarkan perhitungan-perhitungan untung rugi
terhadap keadaan yang ingin dicapai maupun proses pencapaiannya. Dalam
membangun visi ini diperlukan keterampilan yang memadai dari bagian-bagian
kelompok untuk memunculkan potensi kelompok, serta membaca kekuatan-kekuatan
dari sistem dan subsistem yang bekerja maupun sumber daya yang mendukung sistem
selama ini. Dunia usaha lebih cenderung membangun visi seperti ini
mengingat gambaran hari esok yang ingin
diraih ditentukan oleh langkah-langkah yang ditempuh hari ini. Biasanya visi
ini terbangun melalui suatu proses yang relatif lama karena tidak dengan serta
merta diterima oleh sistem atau subsistem yang ada. Visi ini mengharuskan agar
semua variabel yang mendukungnya dapat terukur dan lebih eksak guna mempermudah
langkah perhitungan dan penginteraksian antar potensi.
Emotional vision
dapat digambarkan berupa visi yang terbangun dengan kekuatan emosional yang
telah sangat mengakar baik dalam kehidupan individu maupun dalam sistem atau
subsistem yang berjalan selama ini. Ianya telah menjadi cita-cita yang agung
dari kelompok atau komunitas. Pembentukan visi ini bisa disebabkan oleh keadaan
yang sama yang terjadi dalam suatu komunitas dapat pula disebabkan oleh
pemahaman yang telah begitu kuat terhadap kondisi yang diinginkan. Visi ini
dapat memberi imej kepada komunitas karena memiliki kharisma sehingga seringkali visi ini menjadi simbol
untuk menyatukan berbagai kepentingan
dalam suatu komunitas. Jika dalam proses pembentukannya didasari oleh
pencermatan yang akurat mungkin visi ini akan lebih mampu untuk meraih
cita-cita.
Dalam membangun institusi atau lembaga
daerah, katakan pada tingkat
distrik, mestinya dilakukan berdasarkan
visi yang telah dibangun secara bersama oleh
seluruh elemen yang terdapat dalam distrik tersebut. Hal ini
disebabkan untuk menghindari adanya institusi atau lembaga yang dibentuk tidak
berfungsi dalam mendukung visi. Jika hal ini terjadi tentu
pemborosan dari segi
anggaran dan waktu
tidak terhindarkan, dan visipun sulit terjangkau. Konteks
ini tentu sangat berkaitan
dengan saat awal pembentukan distrik, di mana visi yang digunakanpun ialah
visi distrik bukan
visi menejer yang
akan memimpin di distrik itu. Dengan
demikian akan terbentuk unit-unit
kerja sesuai kebutuhan visi baik dalam
jangka pendek maupun jangka pangjang selama eksistensi distrik masih dipertahankan. Sesungguhnya
konsep ini merupakan bentuk lain dari pelayanan terhadap konstruksi visi yang telah
disepakati bersama.
Konsep “Good Governance”
atau kepemerintahan yang baik
mengajarkan, bahwa terdapat 3 domain yang mendukung keberadaannya, yaitu
unsur pemerintah, masyarakat, dan pengusaha disertai batasan tanggungjawab
masing-masing dalam membangun kebersamaan.
Tentu visi yang menjadi
cita-cita merupakan milik
bersama, dengan kata lain ketiga domain ini harus merasa bahwa
keberhasilan visi ini adalah tanggungjawab
bersama. Dalam kebersamaan
ini kedudukan antara ketiganya juga sama,
tak ada kelebihan yang satu dari
yang lain, oleh karena itu visi yang
terbangun haruslah mampu mengakomodir
kepentingan dari ketiga unsur ini. Akan
lebih baik pada saat pembentukannya, dilakukan pencermatan serta
perhitungan yang akurat terhadap lingkungan internal dan eksternal
visi (Intelectual Vision), kemudian
upayakan agar ianya memiliki kharisma, sehingga terjadi hubungan emosional yang tinggi
antara ketiga unsur domain tadi
dengan visi (Emotional Vision).
Banyak
kendala yang pasti terjadi pada
saat awal melahirkan visi bersama ini, tetapi dapat diperhitungkan. Kendala terbesar yang
mesti dicermati sepenuhnya adalah mencari persamaan dalam perbedaan karakter
masing-masing individu dalam satu
domain, oleh karena karakter ini
memiliki banyak variabel yang berbeda-beda, di antaranya, kecerdasan emosional, kepentingan, kecerdasan intelektual, dan lain
sebagainya. Selanjutnya kendala
di antara masing-masing unsur
domain juga tak kalah pentingnya,
di mana
masing-masing unsur akan menonjolkan kepentingan kelompoknya, misalnya
saja unsur pengusaha merasa lebih penting dari unsur masyarakat dan lain
sebagainya. Namun semua ini merupakan
proses yang harus
dilalui jika visi bersama
ini diharapkan akan dapat
menjadi simbol pemersatu terhadap semua
elemen yang ada.
Lembaga Administrasi Negara (LAN)
dalam Perencanaan Strategik Instansi
Pemerintah mengemukakan bahwa visi
bersama pada umumnya bersifat ekstrinsik
yang memberi fokus kepada pencapaian sesuatu
dan membandingkan dengan pihak luar, seperti persaingan dalam arti
positip. Di samping itu, visi bukan
merupakan jawaban dari suatu masalah,
tetapi lebih kepada sarana pemecahan masalah
sehari-hari yang dihadapi. Suatu
visi yang tidak konsisten dengan
nilai-nilai yang mendasari kehidupan
sehari-hari, tidak hanya akan gagal untuk
membangkitkan antusiasme, tetapi
di lain pihak dapat menimbulkan sinisme.
Pembentukan Kabupaten Bireuen dalam
wilayah Nanggroe Aceh Darussalam tentu tidak terlepas dari tujuan dan sasaran
yang diinginkan sebagaimana layaknya pembentukan kabupaten terdahulu lainnya.
Membangun visi bersama dengan melibatkan seluruh komponen terkait di berbagai
potensi dengan harapan agar visi yang dibangun benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan di hadapan publik,
tentulah sangat diperlukan oleh suatu sistem pembangunan. Keinginan
untuk melaksanakan pembangunan dengan tingkat sinerjisitas yang tinggi tentu
akan sangat bergantung kepada komitmen positif dari berbagai komponen, dengan
tingkat akuntabilitas yang tinggi pula.
Akhirnya sepenggal ucapan selamat
melangkah kepada Kabupaten Bireuen guna memperkuat petumbuhan wilayah, Aceh
khususnya serta nusantara umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar