Kota Mini
Beureunuen
Kota Mini Beureunuen, Januari 2013 |
Pertengahan Januari 2013, aku mampir di Beureunuen
dalam perjalanan ke Banda Aceh. Perhatianku selalu saja ke kota mini yang
pernah dibangun masa sebelumnya. Ketertarikanku dimulai pada tahun 2006 ketika
aku menjabat Kepala Bappeda Bireuen. Hal ini dikarenakan dalam setiap rapat musyawarah
rencana pembangunan (Musrenbang), kawan-kawan dari Bappeda kabupaten tertentu
sering bercerita tentang gagalnya kawasan di tempat mereka. Kerabat dari
Lhokseumawe menuding pembangunan rumah sakit umum di Bukit Rata salah konsep
sehingga tidak ada pasien yang mau ke situ. Tak pun ketinggalan, kawan dari
Kota Langsa bercerita tentang tidak berfungsinya terminal bus di kota itu. Begitupula
cerita kawan lain tentang kota mini di Beureunuen. Sebenarnya, aku risih juga
cerita berbagai kegagalan itu tanpa solusi dari mereka selain tudingan belaka.
Namun, aku mengambil hikmah untuk dapat mengetahui sebab musabab kegagalan itu
terjadi.
Sebelum kuliah, sekira tahun 1978, aku sering
berpergian ke wialayah Pidie bersama kawan-kawanku yang berasal dari kabupaten
itu. Mereka umumnya cerdas dan tekun dalam mengikuti materi pelajaran. Ada
Mahdi Syahbuddin, Fachruddin dari Meureudu, ada juga M Yusuf dan beberapa yang
lain yang berasal dari Ulee Gle. Setelah kira-kira dua tahun kuliah, kisaran
tahun 1982 atau 1983 aku mendengar dari rekan-rekanku asal Pidie juga tentang akan
dibangunnya kota mini di Beureunuen, Kecamatan Mutiara. Aku cukup bangga dengan
konsep itu, karena belum ada di Aceh kabupaten yang berani melaksanakan konsep
pemekaran kota serupa itu. Kebanggaanku cukup berasalan karena kami mahasiswa
teknik sipil relatif sulit mendapatkan lokasi kerja peaktek (KP) untuk memenuhi kewajiban matakuliah. Secara
kedaerahan, aku berbesar hati karena kulihat kota lama Beureunuen sudah cukup
padat, dari ukuran gangguan orang-orang berlalulintas. Sekira tahun 1985, aku sering ke kantor Pak
Nur Djalil, konsultan pengembang di jalan Teuku Umar Seutui, Banda Aceh. Para
petinggi Kabupaten Pidie sering ngumpul
di situ main domino, termasuk Bupati Pidie Drs Nurdin Abdurrahman. Aku
mendengar konsep-konsep besar pembangunan Pidie waktu itu dari Pak Nur Djalil,
salah satunya pembangunan Universitas Jabal Ghafur yang sukses menggalang dana
dari para donatur pusat dan daerah. Tidak ketinggalan, pengusaha nasional
Sudono Salim (Lim Sio Liong) turut membantu bangunan gedung di universitas itu.
Selaku dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, Nurdin Abdurrahman (populernya, Bupati
Nurdin AR) yang memimpin Pidie selama dua priode, yakni 1980-1985 dan 1985-1990,
aku yakini sebagai sosok berani dalam melakukan terobosan terhadap pengembangan
kota. Artinya, Pak Nurdin AR berupaya untuk menyahuti kebutuhan masyarakatnya
dalam memenuhi fasilitas perdagangan, yakni lokasi pertokoan yang tertata. Tak
terbantahkan bahwa Kota Beureunuen merupakan kota dagang yang memang menjadi outlet produk kawasan pedalaman di
wilayah Pidie.
Kota lama Beureuenuen yang kian tumbuh, Januari 2013 |
Dalam priode kedua kepemimpinannya, kota mini selesai.
Aku yang mondar mandir Banda Aceh-Lhokseumawe belum melihat tanda-tanda orang
akan berjualan di kota mini. Tahun 1989 aku menetap di Lhokseumawe, perhatianku
tetap kepada bangkitan ekonomi di kota mini itu. Namun, apa yang kuharapkan
tidak terjawab, bangunan itu hanya berfungsi sebagai sarang walet. Aku tdak
pernah hitung berapa jumlah toko-toko di situ yang secara kasat mata berkisar
di atas seratusan. Di tahun-tahun ini, Pak Nur Djalil sudah sering ke Lhokseumawe karena menangani oproom kantor b
Bupati Aceh Utara dan aku sering diajak gabung
untuk berbagai diskusi. Ada juga kawan-kawan lain yang ikut bergabung dengan
kami, umumnya orang-orang dekat Pak Nur dari Ulee Gle. Dalam diskusi informal
saban pagi di depan Hotel Kuta Karang baru, Lhokseumawe, kerabat Pak Nur
bercerita tentang kegagalan kota mini tersebut. Aku mendengar saja apa-apa yang
mereka bahas karena aku paling junior di antara mereka. Meskipun dalam hati aku
tidak setuju kegagalan itu dialamatkan kepada Pak Bupati yang salah mengambil
kebijakan. Memang keberpihakanku kepada Bupati Nurdin AR cukup subjektif,
karena aku mengagumi beliau dilatarbelakangi sebagai pemimpin yang seniman dan
merakyat.
Jembatan penghubung antara kota lama dan kota mini Beureunuen, Januari 2013 |
Setelah kucermati bahasa dari kerabat Pak Nur, aku
mulai meyakini ada hal yang tidak diperhitungkan dalam metode pengembangan
wilayah. Di tahun 1996, aku pernah bertanya kepada beberapa pedagang kerupuk
mulieng di Beureunuen karena setiap pulang ke Banda Aceh, aku biasakan membeli
di tempat berbeda. Dengan alasan toko-toko mereka yang relatif sesak, “mengapa tidak pindahkan saja sebagian ke
kota mini,” tanyaku. Secara umum mereka memberi jawaban sama, yakni “sulit laku,” katanya.
Mendengar jawaban itu, aku berusaha mencari
penyebab “sulit laku” itu. Sebagian
pedagang yang lain mengatakan, bahwa orang-orang sudah terbiasa mengunjungi
kota lama yang berjarak sekitar 200 meter saja dari kota mini. Memang ada
pemisah jembatan antara dua lokasi pasar ini, kota lama Beureunuen dengan kota
mini. Sekitar tahun 2000-an, bangunan baru tumbuh pesat di kota lama, bahkan
lokasi yang sebelumnya sebagai terminal atau pesinggahan bus antar kota telah
dibangun pertokoan yang asri dan megah. Aku mencoba mencari keterkaitan antara
alasan pedagang dengan kondisi pertumbuhan yang terjadi.
Seperti kusampaikan di atas, 11 Januari 2013, aku
kunjungi lagi kota mini untuk melihat orang-orang berjualan di situ.
Kesimpulanku masih seperti diceritakan para pedangang di kota lama. Padahal di
sekitar kawasan kota mini telah tumbuh perkantoran, pertokoan lain di lintasan
jalan Medan-Banda Aceh. Aku coba memberi kesimpulan sementara terhadap kondisi
yang kulihat, bahwa kota mini yang siap beroperasi sejak 1990 bahkan mungkin
beberapa tahun sebelumnya, belum mampu menarik konsentrasi keramaian di kota
lama Beureunuen. Artinya, dalam waktu 13 tahun konsep pengembangan kota masih
sulit terealisir. Pertokoan di situ digunakan sebagai gudang dan ada juga
difungsikan sebagai tempat tinggal. Sementara, aku mencermati dalam waktu
sepanjang itu, akan ternagun imej baru terhadap kota mini yang menghambat
perhatian orang-orang berinvestasi di pertokoan tersebut. Pesan perjalanan
pembangunan kota mini sudah semestinya dijadikan pertimbangan dalam mendesain
kota-kota baru lainnya di Aceh. Peranan besar aspek sosial lebih mampu
membangun imej dalam banyak hal, termasuk pusat pertumbuhan kota sekalipun.
Namun perlu kontribusi dari para planolog untuk mengungkap variabel penghambat
pusat pertumbuhan yang dapat dikontribusikan ke dalam aspek perencanaan. Ada kinerja imej di sana, yang semakin dibiarkan semakin terjadi penurunan citra kawasan. Apapun
ceritanya, aku berterima kasih kepada Bupati Nurdi Abdurrahman yang telah
berupaya membangun pusat pertumbuhan di Aceh, meskipun belum terlihat
tanda-tanda keramaian, semoga karya Pak Nurdin menjadi amal shalih di hadapan
Allah SWT. (180113)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar