Mewakafkan Hutan wakaf
Kawasan kerontang di perbukitan Seulawah, 2012 |
Sore jelang Maghrib ini, Rabu (17/1/2013) aku
senang sekali. SMS dari Azhar, kerabatku di WWF meminta identitas email-ku, “untuk
diundang,” katanya. Setelah mengirim alamat e-mailku, aku menelepon Azhar,
menanyakan kapan undangan itu. “Undang di internet pak,” sahutnya, aku paham.
Tapi pikiranku terus jalan tentang pengembangan konsep “hutan wakaf,” yang
pernah kami bahas kemarin di Bireuen. Tidak kubiarkan pikiran ini melang-lang
buana tanpa arti. Terlintas konsep kerja yang aku beri judul “mewakafkan hutan
wakaf.” Maksudnya, membangun konsep mewakafkan kembali tanah wakaf, yang telah
diwakafkan kepada komunitas hutan wakaf dan setelah dihutankan, kembali
diwakafkan untuk lingkungan. Aku berpikir orang-orang akan sulit menterjemahkan
maksud itu. Tapi nyaliku keras berkata “tidak” seraya kecil berbisik, “kita
kembalikan apa yang pernah diwakafkan lingkungan untuk umat.”
Sesekali, benakku khawatir akan keberlanjutan
konsep hutan wakaf ini. Terutama, khawatir rekan-rekan yang diskusi kemarin
kecewa akibat kurangnya respon dari berbagai elemen yang selalu saja berpihak
kepada pertimbangan ekonomi. Namun melihat karakter para volounteer, aku yakin aplikasi konsep ini tidak akan lama menyembul
ke permukaan, membela lingkungan alam yang selalu diam tanpa bantah. Akupun
terdiam sebentar, menghayal kondisi yang bakal terjadi tatkala konsep ini
terwujud. Sembari menikmati alunan azan Maghrib dari Mesjid Lamprit,
kutinggalkan laptop menuju bentangan sajadah. Usai shalat kusambung lagi
khayalan yang terputus tadi. Aku mulai berfikir tentang hambatan yang bakal
dihadapi konsep mulya ini.
Secara umum yang bakal memberatkan perjalanan
konsep hutan wakaf ini, yakni intervensi pemikiran ekonomis dari manusia. Tetapi
kita tidak boleh lupa bahwa sebagian manusia memerlukan prestise dalam
melanggengkan kelas pergaulannya, kecenderungan membangun kasta. Bukankah kelompok manusia golongan ini sudah
memasuki pemikiran mempertahankan sejarah pencitraan yang baik dan
berkesinambungan dalam hidupnya. Tidak jarang pencitraan yang mereka usung
lewat kesan selaku sosok penderma. Kondisi ini merupakan peluang emas bagi
komunitas hutan wakaf. Tidak pula merupakan hal yang memalukan jika komunitas
hutan wakaf meminta lahan-lahan terbengkalai dari mereka untuk diwakafkan dan di-hutankan.
Belum lagi kita bicarakan hak-hak lingkungan di
bantaran sungai, danau, alur, laut, dan lain sebagainya sebagaimana diamanatkan
dalam aturan lingkungan. Masih banyak lagi hak-hak lingkungan yang terjebak ke dalam pertimbangan ekonomi dan
perlu pembelaan dalam upaya pengembalian fungsinya. Sesaat aku terganggu
konsentrasi, nyamuk menyerang berkelompok. Namun aku tetap menyambung pemikiran
ini ke tahap lanjutan yang lebih aplikatif. Mauku saat ini, kawan-kawan dari
komunitas hutan wakaf mau mewakafkan waktu untuk kita usung suatu pertemuan
dalam rangka membangun prosedur tetap mewakafkan hutan wakaf. 170113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar