Praktek Seumaloe
Satu lagi cara pikir masyarakat pada umumnya, yakni
mencari Seumaloe dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial. Seumaloe merupakan
kata dalam bahasa Aceh yang dapat dipahami secara umum bagi masyarakat Aceh
pesisir. Secara gamblang dapat diuraikan bahwa seumaloe merupakan pantangan
bagi pihak tertentu. Orang-orang sering bilang seumaloe merupakan sosok yang
memiliki kharisma terhadap sosok tertentu sehingga tidak boleh dilawan.
Pembentukan kharisma ini bisa terjadi akibat termakan jasa yang tak
terbalaskan, takluk dalam perselisihan, ketahuan berbuat salah, prestise
keluarga yang lebih tinggi, dan lain sebagainya.
Dalam prakteknya, tradisi seumaloe ini dirasakan
lebih ampuh dan tuntas menyelesaiakan persoalan. Mudah dicontohkan, tatkala
terjadi persengketaan antar satu pihak
dengan yang lainnya, sementara pihak yang satu merasa tertekan tanpa daya maka
serta merta pihaknya mencari pihak lain yang dapat menetralisir bahkan menekan
pihak lainnya. Pihak lain yang dicari tersebut yakni seumaloe yang merupakan
pihak dianggap mampu melakukan segala kemungkinan yang terjadi akibat dari
proses pembelaan atau pendamaian. Begitupula terhadap hal lain yang memerlukan
sosok seumaloe.
Semula, orang menggunakan teknik seumaloe ini hanya
untuk menyelesaikan persoalan sosial masyarakat kelas bawah. Karena diyakini
ampuh menyelesaikan ragam persoalan maka teknik-teknik seumaloe ini mulai
dimanfaatkan ke berbagai kepentingan. Untuk meminta proyek ke kepala dinas para
rekanan sering menggunakan jasa seumaloe seperti Bupati, wakil Bupati, Sekda
dan lain sebagainya, selaku pihak atasan kepala dinas yang bersangkutan. Jika
seumaloe setingkat ini tidak mempan, rekanan mencari seumaloe lain yang lebih
disegani bahkan ditakuti. Begitupula untuk keperluan lain seperti meluluskan
anak ke sekolah tertentu, mendapatkan jabatan di pemerintahan, menjadi calon
anggota DPR, dan banyak lagi kepentingan berbagai pihak yang menggunakan jasa
seumaloe.
Di Bireuen, peranan seumaloe sudah berlaku sejak
mekarnya kabupaten ini. Aku sendiri dipulangkan untuk bekerja di kabupaten baru ini berkat kinerja
seumaloe. Waktu itu Pak Hamdani Raden, bupati
perdana di Bireuen mengurus kepindahanku relatif sulit. Rekan-rekan
bahkan pejabat di Aceh Utara cukup berat melepaskanku, tanpa alasan yang jelas.
Namun kelihaian Pak Hamdani Raden dalam memanfaatkan Bang Mukhtar Raden sebagai
seumaloe menghadapi Bupati Aceh Utara kala itu, surat pindahku pun
ditandatangani. Secara tidak langsung aku mengenal tradisi seumaloe lewat Pak
Hamdani Raden, yang memang bijak dalam menyikapi keadaan.
Sejauh dimanfaatkan untuk kepentingan umum, tradisi
seumaloe ini relatif positif karena nilai yang terjadi kepada pemanfaatkan
kharisma seseorang. Di tahun 1970-an ke masa sebelumnya, aku merasakan guru,
guru mengaji, kepala desa, dan beberapa sosok di suatu tempat merupakan
seumaloe bagi semua warga. Tak ada masyarakat yang berani menjawab tatkala
sosok-sosok ini menegur pelanggaran yang dilakukan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar