Bergerombol Ke Geoteknik
Identitasku di Lab Mektan, 1987 |
Jelang
akhir memenuhi materi kuliah di
jurusan teknik sipil, banyak mahasiswa
rada bingung mengusulkan judul tugas akhir (TGA), skripsi pada fakultas lain. Karena
persyaratan objek penulisan dari proyek bidang-bidang tertentu relatif sulit,
seperti perencanaan gedung harus dengan jumlah lantai tertentu, untuk jembatan
harus dengan bentang tertentu, jalan juga begitu dan irigasi apalagi. Waktu itu
proyek-proyek berskala besar relatif jarang di Aceh, kalaupun ada relatif jauh
ke pedalaman sehingga butuh banyak dana untuk itu. Namun berbagai kesulitan
mahasiswa dipahami oleh para dosen senior yang memang mengharapkan adanya
peningkatan jumlah lulusan.
Identitas Maimun Bewok yang disandra Bang Saleh akibat ke-usilan kami, 1987 |
Razuardi Ibrahim saat menemui Maimun untuk berkisah tentang Lab Mektan 22101012 |
Angkatan pertama yang melamar ke bidang studi ini antara
lain, Ir Yuhanis, Ir Banta Chairullah, M Eng, Ir Ruslan Abdul Gani, M Sc, Ir
Bustami AB dan Ir Husaini Muin. Berikutnya, muncul peminat baru untuk bidang
ini dalam jumlah yang lebih banyak. Di smester genap tahun 1996, datang
gerombolan aku dan kawan-kawan memenuhi ruang Pak Ali di Laboratorium Mektan. Gerombolan
kami, angkatan ke-4 bidang Geoteknik, terdiri dari aku sendiri (Razuardi),
Rachmatsyah Nusfi, Maimun Js, Ruzuardi (Ibenk), Alif Adil, Syamsir Alam, Maimun
Umar, Marwan, dan Rizal.
Maimun Bewok saat bercerita ulang tentang Bang Saleh, di Lhokseumawe 22102012 |
Gerombolan kami cukup mewarnai suasana penelitian,
yang dipimpin oleh Maimun Js. Aku harus tunduk atas aturannya karena selain
senior dia juga bertampang sangar dengan berewok memenuhi wajah. Meskipun
demikian, dia tidak serta merta dapat mengacaukan suasana laboratorium tanpa
aku. Petugas sering marah kepada aku dan Maimun, namun kesalahan itu mampu
dilimpahkannya ke kawan lain. Bang Saleh, petugas kebersihan laboratorium
Mektan setiap saat siap “menghajar” dengan
sapu tatkala kami memasukkan sepatu berlumpur ke tempat itu. Namun, aku dan
Maimun selalu merayunya dengan janji-janji masa depan menyenangkan. “Kalau kami sudah insinyur, pokoknya Bang
Saleh tenang aja,” ungkap kami
disambut senyum pria pengisap rokok daun nipah ini. Kami sering minta tolong
Bang Saleh untuk amankan benda uji milik kami, “kalau ada yang ganggu sampel kami, Bang Saleh gebuk aja pake sapu,” kata Maimun Bewok. “Pokoknya Bang Saleh kami anggap preman kami,” kataku. “Tapi jangan kalian lapor Pak Ali,” pinta
Bang Saleh. “O, jelas mana boleh ada yang
tau,” sambutku. “Jangan-jangan Bang
Saleh yang lapor Pak Ali bahwa Bang Saleh sudah jadi premean,” cetus Bewok.
“O, jangan gitu kau Mun, “ kata Bang Saleh sambil mengangkat gagang sapu
ijuk ke atas punggung Bewok. “Eps, ha kan
baru ada jabatan udah beraksi,“ kata Maimun. “Kita angkat preman lain aja Mun, Bang Nu kan ada, payah kali
sikit-sikit marah preman kita ini, “ kataku sambil melerai. “Bukan gitu, kalian jangan pancing-pancing
emosi aku,” ungkap Bang saleh membela diri. Beberapa menit dari insiden
itu, kami bertiga rehat di bawah batang asam depan laboratorium sambil
melanjutkan cerita indah kami. “Mun,
kalau kita udah insinyur, waktu Bang Saleh sakit kita rawat dimana ya?,”
tanyaku disambut senyum Bang Saleh. “O,
kalau aku sek, kita bawa ke rumah sakit Pertamina aja,” jawab Maimun. Pria
yang jadi objek berita kami sesekali nyeletuk dengan suara parau dan sengau, namun kami tidak merespon apa yang
dia sampaikan. Jelang pukul sebelas siang tatkala kami mulai kepingin kopi,
Maimun nyeletuk, “ngapain tunggu Bang
Saleh sakit Sek, kita ketok aja kepalanya,
udah itu kita antar ke rumah sakit Pertamina.” “Iya juga Mun, cepat kita lepas
utang kan,” sambungku. Orang bertubuh pendek rada tambun ini terdiam
sebentar sambil mencermati dialog terakhir dari kami. “Kurang ajar, sekarang aja ketok, biar kugebuk kalian pakai sapu ini,” responnya
cepat sambil berdiri. “Tenang bang, itu
kan misalnya,” kata kami berdua sambil bangkit menuju kantin fakultas. Bang
Saleh menatap kami lama, hingga tidak kelihatan lagi. Keesokan harinya, Bang Saleh melapor bahwa
dia sudah menyandera identitas kami untuk dilaporkan ke Pak Ali. Waktu itu kami
diam aja dengan wajah memelas, agar dia melunak sambil menyatakan, “abang tetap preman kami ya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar