Sukarno ke Aceh menerima dokumen pesawat RI 001 dari tokoh Aceh, 1948 |
Perjalanan Ketokohan Di Bireuen
Bireuen merupakan daerah yang memiliki banyak tokoh di masa lalu sehingga struktur sosial kemasyarakatannya kuat. Tulisan ini sekedar mengenang dan bentuk apresiasi kepada zaman yang telah mengantarkan Bireuen ke hari ini, di samping tujuan pembelajaran publik bagi generasi kemudian.
Kalangan
masyarakat tertentu di Aceh kerap membincangkan ketokohan seseorang. Bahkan
mampu mengulas ketokohan seseorang tanpa mengenal sosok yang diperbincangkan
secara dekat. Contohnya, sebagian masyarakat Aceh selalu terkesan kebesaran
jiwa para tokohnya terdahulu yang mampu menyumbang pesawat Seulawah RI 001
kepada republik tatkala negeri ini baru merdeka. Kisah ini ternikmati tatkala diceritakan
ulang kepada generasi kemudian dan mengundang decak kekaguman. Begitulah
peranan para saudagar Aceh yang juga sebagai tokoh waktu itu. Tidak terkecuali
di Bireuen, kabupaten yang baru berusia kurang lebih dua belas tahun selepas
dari kabupaten induk, Aceh Utara. Banyak tokoh-tokoh Bireuen masa lalu yang
telah berbuat layaknya setingkat para saudagar Aceh seperti diulas di atas.
Namun tak begitu terekspose dalam berbagai cerita di kalangan masyarakat.
Saat ini,
Kabupaten Bireuen banyak PR yang mesti diselesaikan sebagai konsekwensi dari pengaturan wilayah sendiri amanat otonomi daerah. Mulai dari soal kehandalan aparatur pemerintahan
hingga soal kemasyarakatan, sebagaimana kerap diekspose media massa, tanpa
saringan. Banyak kalangan berpendapat bahwa peranan ketokohan di Bireuen mulai
diabaikan sehingga suasana konsultasi, kompromi, bahkan pencarian solusi,
semakin jauh dari keseharian sistem masyarakat. Keberadaan tokoh di kabupaten
penghasil keripik pisang ini memang mewarnai berbagai kebijakan di Aceh Utara
waktu itu. Indikasi ke arah ini tidak sulit dibuktikan, mulai dari banyaknya
anggota DPRK Aceh Utara berasal dari Bireuen, hingga banyaknya pejabat asal
Bireuen di kabupaten petrodollar itu. Uniknya, pendefinisian tokoh di kalangan
masyarakat semakin kabur dari pemakna-an akibat perubahan sosial yang terjadi,
baik karena euforia pemekaran, kewenangan membentuk lembaga politik sendiri,
bahkan gejala dari kehendak individu tertentu untuk tampil di level elite kabupaten. Apapun alasannya,
banyak persoalan terbiarkan di Bireuen saat ini akibat peranan para tokoh yang
termarjinalkan.
Sistem
ketokohan di Bireuen sudah berlangsung lama, ada yang mengatakan sejak
pendudukan Belanda di kawasan itu dan tidak kurang pula yang meyakini sejak
jaman ke-Sulthanan dulu. Seputar kemerdekaan Republik Indonesia, sejarah
menceritakan kehadiran Radio Rimba Raya di tempat ini lebih dikarenakan banyaknya
tokoh Bireuen waktu itu, seperti Kolonel Husen Yusuf, Yusuf Tank, dan lainnya.
Dengan karakter ketokohan, mereka merasa bertanggung-jawab terhadap
kelangsungan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah proklamasi
17 Agustus 1945. Ujung-ujungnya, Soekarno, presiden Republik Indonesia pertama
menyempatkan diri berkunjung ke Bireuen pada 18 Juni 1948.
Setelah
generasi Husen Yusuf dan kawan-kawan tiada, karakter ketokohan ini terus
berlangsung ke generasi selanjutnya dan berkembang sesuai aspek tertentu,
seperti perniagaan, sosial-politik, dan pendidikan. Tokoh perniagaan tidak kalah perannya dengan
tokoh sosial-politik dan pendidikan. Selain sebagai sumber kekuatan finansial
sistem sosial politik, keberadaan para tokoh niaga juga menjadikan Bireuen
sebagai daerah tujuan pencari kerja. Banyak pekerja luar daerah yang datang
untuk bekerja di berbagai pabrik skala menengah di sana, seperti pabrik limun,
minyak kelapa, kawat berduri, korek api, dan lain sebagainya.
H Subarni, 2007 |
Saling memberi
pengakuan sesama tokoh merupakan hal biasa dalam keseharian di Bireuen,
meskipun tanpa ekspresi berlebihan. Kerap tersaksikan tokoh tertentu memohon
dukungan tokoh lainnya dalam upaya penyelesaian hal-hal tertentu. Kolaborasi
berbagai tokoh tersebut cukup dapat dihandalkan untuk mewujudkan berbagai
harapan bersama. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika banyak
saudagar-saudagar Bireuen mendukung stabilitas sosial-politik serta mendorong
keberlanjutan sistem pendidikan di sana, termasuk dayah.
Kondisi
ketokohan semakin berkembang hingga banyak nama sosok di Bireuen mampu
dijadikan ikon di sektor ekonomi, politik, dan birokrasi. Di era 80-an cukup
dikenal sosok H Subarni (HS) yang dipercaya masyarakat Bireuen sebagai pengusaha tambak
sukses sehingga ikon dunia usaha sektor riil melekat padanya. Tak pula
ketinggalan, H Asyiek (HA), sosok yang tampil mewakili masyarakat pekerja kelas bawah yang
mampu melindungi berbagai kepentingan kelompoknya. Banyak lagi sosok lain yang
hadir mewakili kolompoknya dan diakui sebagai pemberi solusi terhadap ragam
persoalan yang dialami masa itu. Hampir
dapat dipastikan, tiada persoalan masyarakat yang tidak terselesaikan dengan
sentuhan para tokoh. Lazimnya, semua persoalan masyarakat diperbicangkan bersama dalam suasana objektif
dan kondusif. Tidak hanya dalam sistem masyarakat, kenyamanan kondisi cukup
dirasakan pula oleh para birokrat yang dicirikan dengan maksimalnya kinerja
pemerintahan sesuai ukuran masa itu. Tak mudah disangkal, kharisma para tokoh
cukup besar memberi kontribusi terhadap ragam persoalan pemerintahan, seperti
pengadaan lahan untuk kantor pemerintahan, penerapan norma di tengah
masyarakat, penggalangan dana sosial, penetapan batas wilayah, dan lain
sebagainya. Artinya, keputusan informal dari para tokoh cukup ampuh untuk
menggapai tujuan dan mentradisi di kalangan masyarakat Bireuen.
H Asyeik, 2011 |
Peranan
ketokohan di Bireuen paling mengagumkan yakni pada tahun 1980-an hingga akhir
1990-an. Di tahun 1980-an banyak kegiatan spektakuler yang diadakan di Bireuen,
salah satunya apel siaga Pemuda Pancasila seluruh Aceh yang menghadirkan tokoh
pemuda level nasional, yakni Yapto S dan kawan-kawan. Tak cukup dengan itu,
sebuah karya besar produk tokoh Bireuen di akhir 1990-an yakni mudahnya
pemekaran Bireuen dari Kabupaten Aceh
Utara tanpa membuang waktu yang relatif lama. Hal penting dari proses ini yakni
penggalangan dana yang relatif mudah dari para
pengusaha tertentu serta utuhnya komitmen bersama yang terbangun lewat
para tokoh.
Ketokohan di
Bireuen hadir secara alamiah, yakni dari rasa ingin melindungi dalam
kebersamaan komunitas wilayah perwakilan kabupaten, yang selalu perlu merebut
perhatian kabupaten induk, Aceh Utara. Meskipun banyak pihak mengakui bahwa
kawasan Bireuen hanya seputaran ibukota Kecamatan Jeumpa dengan titik pengenal
simpang empat Jalan Takengon. Lhokseumawe sebagai ibukota kabupaten dan pusat
pemerintahan waktu itu menjadi tempat tujuan kompetisi untuk merebut fasilitas
niaga dan pembangunan. Dalam berkompetisi, tentu banyak hambatan yang mesti
diatasi para kompetitor asal Bireuen, salah satunya membangun relasi yang
membutuhkan kepercayaan. Ikon sektoral dari para tokoh sering dijadikan jaminan
kompetensi dari para pelaku ekonomi lainnya untuk meyakinkan banyak pihak di
ibukota itu. Tidak jarang, para pelaku pemula bidang konstruksi asal Bireuen
mendapat kepercayaan besar dari para owner
di pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Utara, bahkan merambah ke manajemen lima
proyek vital di sana. Proses ini semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat
Bireuen terhadap pentingnya sistem ketokohan yang tanpa disadari menjadikan
wilayah Bireuen memiliki struktur sosial kemasyarakatan yang tangguh.
Menariknya,
para tokoh Bireuen memiliki komunitas tertentu dan tangguh. Hari ini suasana serupa itu sulit didapatkan
dengan berbagai alasan, sementara masyarakat tertentu merindukan kondisi masa
lalu berulang. Peranan para tokoh, pemberi solusi seakan pupus tak berbekas.
Tak satupun merasa bertanggungjawab atas hilangnya tradisi yang telah mampu
mengantarkan Bireuen ke berbagai jenjang prestasi. Peranan ketokohan yang
termarjinalkan oleh keadaan seakan menutup kontribusi para tokoh untuk membantu
perjalanan sejarah kabupaten. Tentu perlu dilakukan upaya pendefinisian
terhadap istilah tokoh di Bireuen, meskipun pada umumnya dari mereka tidak
mengaku dirinya sebagai tokoh, melainkan sebagai orang yang dituakan. Tokoh
Bireuen merupakan sosok pemberi solusi kepada masyarakat umum tanpa
mengharapkan imbal jasa dari berbagai solusi yang diberikan. Dan tidak jarang
pula dampak solusi dari para tokoh tersebut memberi konsekwensi finansial
terhadap masing- masing diri para tokoh. Oleh karenanya, definisi sosok tokoh
Bireuen masa lalu terukur dan teruji minimal dalam komunitasnya.
Banyak
kalangan bersepakat bahwa keruntuhan sistem ketokohan di Bireuen yakni pada
tahun ke-tiga, milenium ke-tiga, atau pada tahun 2003, tatkala Bireuen menjadi
sebuah kabupaten dengan wilayah pemerintahan membentang dari bagian timur,
yakni Kecamatan Gandapura hingga Kecamatan Samalanga di batas bagian baratnya.
Sementara di bagian selatan dikawal Kecamatan Juli dan Selat Malaka di
utaranya. Meskipun pemekarannya dilegalkan pada Oktober 1999 melalui UU No
48/1999, operasional kabupaten baru ini diselenggarakan pada awal Pebruari 2000
yang ditandai dengan pembentukan dinas, badan, dan kantor. Semula, peran para
tokoh dalam merekomendasi pejabat yang akan menempati posisi tertentu cukup
dominan dan objektif sehingga ukuran kualitas para pejabat dalam dua tahun
pertama dapat dihandalkan. Banyak karya para birokrat masa itu yang dapat
dirasakan hingga hari ini.
Kebersamaan
para tokoh dengan pemerintah daerah mulai redup di tahun ke-tiga perjalanan
kabupaten. Indikasi ke arah itu mudah dicermati, masyarakat yang memerlukan
solusi harus merasakan sesuatu yang hilang dalam kesehariannya. Kebiasaan berbagi
persoalan kepada yang dituakan untuk mendapatkan solusi terhenti seketika.
Berbagai persoalan di tengah masyarakat terambangkan tanpa jawaban. Tempat
bertanya dan menggantungkan harapan seakan meninggalkan ragam komunitas yang
biasa terayomi oleh sosok-sosok tertentu. Tentu banyak alasan yang dapat
dijadikan jawaban sementara. Di samping situasi daerah tidak kondusif yang
mengharuskan para tokoh diam tanpa solusi, juga terjadi kompetisi kepentingan
antar sosok. Kemudian, pemupusan peranan ketokohan diperberat dengan pemunculan
tokoh-tokoh baru produk tuntutan politis para elite yang tentunya tanpa proses
alamiah. Keseimbangan sosial yang selama bertahun-tahun ternikmati oleh sistem
masyarakat Bireuen tak bisa dirasakan lagi, begitu pula terhadap kepedulian sesama yang mulai terkikis zaman.
Tokoh
Bireuen, pelaku sejarah sekaligus panutan masyarakat kian pudar dari aspek
popularitas. Indikasinya, banyak kalangan tidak mengenal mereka, konon lagi
mencarikan solusi dari mereka. Kalangan
tertentu mengakui, sulit rasanya mencarikan solusi dari sosok tertentu untuk
menyelesaikan persoalan masyarakat hari ini. Sudah semestinya berbagai pihak mengembalikan peranan sistem ketokohan ini, meskipun pengembalian kondisi tidaklah
mudah. Pembangkitan kembali kharisma para tokoh terdahulu terhambat kehendak alam di mana zaman telah mendefinisikan makna lain dari suatu ketokohan. Namun demikian, tiada kata
terlambat untuk mengembalikan peran ketokohan di Bireuen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar