Tradisi Balee
Balee di Cot Nga, Peusangan, 2012 |
Balee meupakan bangunan panggung berukuran kecil
yang terletak di halaman rumah di Aceh. Pada
masa sebelumnya, di saat listrik belum merambah seluruh pelosok tanah air, balee dimanfaatkan sebagai tempat anak-anak
desa mengaji. Di samping juga dimanfaatkan sebagai tempat duduk-duduk pemilik
rumah bersama jiran dan untuk menyimpan barang-barang atau alat pertanian. Di Kabupaten
Bireuen tradisi balee masih banyak dijumpai di kawasan timur, di Kecamatan
Peusangan hingga Gandapura. Meskipun saat ini rumah masyarakat telah berganti
dengan rumah permanen, bangunan balee tetap ada di pekarangan rumah.
Aku memperhatikan dampak lain dari balee yang
dibangun masyarakat itu, khususnya di beberapa rumah saudara nenekku. Sepulang dari
sawah, para wanita paruh baya membawa pelepah dan batok kelapa, daun kelapa
kering dan kayu kering diletakkan di kolong balee. “Keu maguen (untuk masak),”
kata nenek di salah satu desa di Jangka pesisir Peusangan. Lantas pada
kesempatan lain aku melihat nenek itu menjemur belimbing, setelah sore hari gulungan
tikar berisi belimbing jemur diletakkan di lantai atau di langit-langit balee. Tidak
pun ketinggalan jika di halaman rumah terdapat melinjo, kopi, cokelat, dan komoditas
lainnya dalam kapasitas yang sedikit, dijemur dan disimpan di balee. Sepintas kegiatan ini merupakan sambilan
belaka.
Sebenarnya, ada hal menarik yang perlu dicermati
dari aspek ekonomi terhadap fungsi balee. Tanpa disadari, balee telah lama
berperan dalam tradisi masyarakat Aceh di kawasan tertentu sebagai penopang
ekonomi rumah tangga. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika di kawasan
tertentu di Bireuen terdapat rumah petani yang permanen, bersih dan menarik,
dengan balee produktif di sudut halamannya. 150113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar