Atmosfir Defensif
Di pertengahan tahun 2013, aku mendengar untuk
mengamati suatu kondisi keterkaitan
antara aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha. Menurut informasi
masyarakat, ada suatu tradisi kehidupan masyarakat yang tergolong destruktif,
yakni kebiasaan adu domba sesama
(provokatif). Keadaan ini berkembang akibat kebiasaan respon yang tinggi dari
masyarakat itu sendiri terhadap berbagai isu yang muncul. Oleh karena
kepedulian ini berwujud respon
kecurigaan, kesyirikan, persaingan dan lain sebagainya maka tradisi adu
domba telah dimaklumi sebagai suatu keniscayaan. Hal ini menjadi persoalan tatkala
pemakluman tradisi sudah merambah ke dalam sistem pola pikir pemerintah berikut
aparaturnya. Tidak mustahil akibat pemakluman keniscayaan, terbentuklah
kelompok-kelompok defensif untuk penyelamatan eksistensi masing-masing. Tidak
saja di lingkup aparatur, tetapi terjadi juga di dua aktor pembangunan lainnya,
yakni masyarakat dan pelaku usaha. Biasanya, kelompok ini terbentuk atas dasar
hubungan emosional atau premordialisme. Di lingkup aparatur kelompok defensif
terus berkembang hingga memunculkan konsep senioritas. Tidak cukup dengan itu,
kreativitas pertahanan kelompok di lingkup aparatur menuntut kehadiran
doktrinasi bagi para junior. Jika kelompok ini mampu menyusup dan mempengaruhi
kebijakan para pengambil kebijakan daerah maka atmosfir birokrasi yang
terbentuk tidak mempunyai arah dan mengambang. Dampak domino dari keadaan ini
cukup kuat untuk menjadi alasan terhadap kondisi pengkotak-kotakan di tengah
masyarakat dan dunia usaha. Pemunculan sosok pemimpin di jajaran birokrasi produk
tekanan saling dukung, pada dasarnya untuk mengamankan kepentingan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar