Mindset
Kawan
Selesai
ujian sarjana sebelum wisuda, 1988, aku masih bertekad untuk menjadi pekerja
seni tanpa mencermati kelayakan hidup para seniman kala itu. Aku berkhayal,
seniman mereupakan pekerja yang memuaskan orang lain lewat hasil karyanya. Sebagian
besar para lulusan, khususnya yang se-angkatan denganku berkonsentrasi untuk menjadi
pegawai negeri sipil. Terlebih mengherankan bagiku tentang sebagian besar
kawan-kawan yang antri menunggu dibukanya testing pegawai Departemen Pekerjaan
Umum, yang nota bene pegawai negeri pusat. Artinya, mereka juga menetapkan departemen
PU merupakan lahan kerja pilihan yang cukup bergengsi di seantero negeri.
Mereka saling menyembunyikan berbagai informasi, termasuk sosok pejabat tinggi
di departemen itu yang bakal menjadi backing-nya.
Mengetahui hal itu, aku semakin tidak menyukai keadaan. Untuk menyeimbangkan
suasana hati yang lagi penasaran tentang animo kawan-kawan untuk bekerja di
institusi bergengsi di republik ini, aku melakukan riset tak formal. Dua
pertanyaan pokok aku persiapkan untuk mengungkap pola pikir yang bersemayam di
benak mereka, yakni “apa alasan kalian
jadi pegawai negeri?” dan “mengapa
mesti bekerja di PU?”. Dari sepuluh orang yang aku tanyai, delapan puluh
persen jawaban mereka rada sama. Sementara yang dua puluh persen lagi bercorak
klise, yakni “ingin mengabdi kepada
bangsa dan negara”. Jawaban yang umum dari mereka, pertama, jika menjadi
pegawai negeri jaminan hari tua mereka sudah jelas, dapat pensiun. Kedua,
tujuan mereka bekerja di Departemen PU, yakni agar suatu saat mereka dapat
dipercayakan menjadi pemimpin proyek atau jabatan fungsional proyek lainnya.
Sebenarnya, aku ingin melanjutkan pertanyaan lagi tentang, “untuk apa jadi pemimpin proyek ?”. Namun aku lupa untuk itu,
terlanjur berangkat ke Lhokseumawe pada 26 Pebruari 1989, untuk suatu rencana
bekerja di perusahaan swasta. Aku menemui Om Ridwan Mahmud berbincang tentang
kemungkinan aku bekerja di PT Arun karena beliau salah seorang dari sepuluh
manajer di perusahaan besar nasional tersebut. Beliau tidak keberatan namun
menekankan tingkat kedisiplinan tinggi di perusahaan itu. Dalam satu renungan, aku memupuskan niat itu,
khawatir terjajah sepanjang hidupku karena mendapat peluang berkat bantuannya. Keesokan
harinya, aku menemui Kepala Dinas PU Daerah Aceh Utara untuk berbakti saja di
kantor itu sambil mengajar jika memungkinkan. Tanpa proses yang panjang aku
langsung diterima pada 27 Pebruari 1989 dengan alasan di kantor belum memiliki se-orangpun
sarjana teknik sipil. Ketika testing yang aku yakini formalitas belaka dan di
tahun itu juga aku lulus karena para sarjana teknik sipil lebih tidak berkenan
menjadi pegawai PU daerah. Setelah aku menjabat pemimpin proyek, 1994, aku
mendapatkan jawaban tanpa harus me-riset lagi. Tidak kurasakan kenikmatan
cita-cita seperti yang ter-mindset di
benak kawan-kawan seperti jawaban pada riset informal beberapa tahun silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar