Politik Dendam Tak Kunjung Usai
Aku teringat pada tahun 2007,
usai Pilkada yang berhasil mengusung pasangan Tgk Nurdin Abdul Rahman dan Tgk
Busmadar Ismail menjadi Bupati dan Wakil Bupati Bireuen, begitu pedulinya para
pendukung sehingga tidak mudah ditemui karena penjagaan yang ketat. Ketika itu
aku mendapat julukan ‘lawan politik’ karena aku mendampingi H Subarni A Gani
(aku memanggilnya Bang Subar) dalam pemilukada musim itu. Isu lawan politik
yang tentunya akibat kami menjadi kompetitor dalam pemilukada, ternyata tidak
pupus usai menangnya pasangan Nurdin-Busmadar. Beberapa pejabat Bireuen asyik
menginventarisir sejumlah nama aparatur untuk dilantik menjadi pejabat
struktural dalam kabinet baru. Bagi aparatur yang dianggap tidak mendukung harus
diistirahatkan atau dipindahkan ke tempat yang dianggap tidak menyenangkan bagi
aparatur yang bersangkutan. Strategi yang diusung kelompok aparatur kala itu
yakni penyelamatan pembelanjaan daerah sehingga gerakan awal yang dilakukan
adalah pelaksanaan mutasi salah seorang kepala bagian di Sekretariat Kabupaten
Bireuen keesokan harinya setelah Pelantikan Bupati dan Wakil pada 25 Juli 2007.
Razuardi Ibrahim dan Nurdin Abdul Rahman dalam kerja ektra di Bireuen, 2008 |
Penyusunan kabinet terus
berlangsung menunggu waktu yang tepat setelah orang-orang yang dirasakan cocok disetujui
para elite tim sukses. Sebagian pejabat yang sibuk waktu itu melihatku tanpa
sapa layaknya hari-hari kemarin. Seakan aku merupakan musuh politik yang harus
dimarjinalkan. Aku tetap menikmati suasana hiruk pikuk mereka untuk sebuah
pembelajaran dan selalu mengingat pesan H Subarni agar aku tetap saja di Bireuen
sesuai permintaan masyarakat pendukung kami saat pembubaran tim sukses.
Suatu sore, sekira dua minggu
setelah pelantikan bupati dan wakil, aku ditelepon Bang Subar untuk menemui
Bupati Nurdin di Meuligoe nanti malam. Malam itu juga aku datang ke Meuligoe
diantar sopir setiaku, Amran (Habib). Aku belum diperkenankan masuk, untuk
sementara duduk di lokasi penantian bawah payung halaman dalam Meuligoe. Tim
pengamanan Meuligoe, asal timses
Nurdin-Busmadar yang tidak mengenalku atau yang menganggap aku lawan politik hanya
memandang dengan sudut mata tajam. “Saya
disuruh datang Tgk Bupati,” kataku sebelum ditanya. “Tunggu sebentar,” kata
pemuda bertopi di situ. Para pejabatpun banyak terlihat di sana, juga tanpa
senyum. Ada yang mondar-mandir menenteng map, ada yang menunjuk-nunjuk pintu
gerbang, isyarat penjagaan harus diperketat, dan aktivitas lain yang
mencerminkan situasi tak boleh diganggu.
Sekira lima belas menit aku
di bawah payung itu, muncul sosok muda berkacamata menghampiriku dengan ramah.
Aku samar-samar pernah lihat pemuda ini, namun tidak tahu pasti namanya. “Mau jumpa teungku Bupati ?,” tanyanya
bersahabat. “Iya, tadi ditelepon,”
kataku singkat. Bergegas anak muda itu naik ke Meuligoe menemui Bupati. Sambil
menunggu, aku tanyakan kepada beberapa orang yang duduk di situ tentang nama
anak muda itu. “Anwar Ebtadi,” jawab
seseorang dari mereka acuh tak acuh. Aku maklum juga seraya berfikir mereka tak
boleh diganggu karena sedang mengadakan penjagaan ketat. Namun dalam benakku
tertanam ekspresi penyambutan ramah Ebtadi yang kala itu aktif membenahi
situasi Meuligoe.
Sejenak Ebtadi turun dari
Meuligoe, “sudah boleh naik pak,”
katanya seraya mempersilahkanku beranjak ke rumah panggung itu. Aku permisi
kepada beberapa orang di bangku bawah payung (gazebo), sementara jawaban mereka
tak terdengar olehku, kecuali desah dan bisik-bisik sesamanya. Saat di pintu
masuk aku memberi salam diikuti Ebtadi dari belakang. Bupati Nurdin duduk di
sofa panjang dikelilingi banyak orang. Beliau menyambut salamku dengan ramah
dan mempersilahkanku duduk di sampingnya, di sofa panjang itu juga. Aku
menuruti kehendaknya seraya disaksikan orang sekeliling Pak Nurdin yang baru
jadi bupati itu. “Apa kabar Pak Subar,”
kalimat awal yang ditanyakan kepadaku. “Baik
pak,” kataku ringkas. Lantas beliau memperkenalkanku kepada orang-orang di
tempat itu. Orang-orang termasuk pejabat yang ada di situ mencoba merubah
mimik, berupaya bersikap ramah kepadaku.
Tidak lama aku di situ,
kurang lebih tiga puluh menit. Aku permisi untuk pulang, Pak Nurdin
mempersilahkan juga seraya berpesan, “mohon
bantu pak Raju ya, apa-apa yang bisa dibantu”. Sambil beranjak aku menyahut
pelan, “iya pak”. Pejabat yang ada di
situ berdiri serentak menyalamiku, petanda mereka sudah ramah. Ekspresi dendam
politik yang mereka lakonkan seketika berubah menjadi ekspresi mohon bantu. Upaya politik balas dendam
gagal diusung para timses, karena sosok Bupati Nurdin tidak mewacanakan prilaku
itu diberlakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar