Ketika aku mulai menulis buku Poligami Yang Solutif Itu, tahun 2008, Ibu Zahara datang ke ruang kerjaku di Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setdakab Bireuen. Tanpa banyak cerita, Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga ini langsung saja menghujatku dengan keras. "Kalau Pak Raju menerbitkan buku ini, saya dulan yang mendemo Pak Raju," katanya. Aku diam saja sambil mengoreksi tulisan yang baru aku ketik sambil mempersilahkannya duduk. Aku cukup menyegani ibu ini, karena di samping sama sebagai pejabat eselon II di kabupaten penghasil keripik pisang itu, juga kami pernah sama sebagai dekan di masing-masing fakultas di Unimus. "Sebaiknya ibu baca dulu baru kritik dan menghujat," kataku setengah berkelakar. Dia duduk juga sambil mengomel menyesali terhadap niatku untuk mengungkap persoalan syariah yang sarat diberitakan.
Sejenak aku mampu menenangkan ibu Zahara yang berpostur tinggi besar. Beberapa staf perempuan yang datang mendampinginya diam saja tanpa berani memperotes menyambung hujatan atasannya. Tidak lama kemudian, ibu Zahara beserta staf pulang ke kantor sambil membawa beberapa bab tulisan yang selesai aku koreksi. "Awas ya," katanya sambil berlalu dan menutup pintu.
Berselang satu hari, ibu Zahara kembali lagi ke ruangku bersama beberapa staf yang lain. "Biar saya tulis kata pengantarnya," katanya sebelum aku mempersilahkan duduk. "Jangan kata pengantar kak, tapi komentar buku di kulit belakang," kataku. Dia terlihat mulai memahami tujuanku menulis buku tentang poligami. Aku menjelaskan, bahwa aku menulis buku ini tidak lebih sebagai pembelaan ajaran Islam yang aku anut. Dia juga sedikit terenyuh, tatkala aku menanyakan, kelompok mana yang bertanggungjawab terhadap wanita tak bersuami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar