Meng-atmosfirkan
Syariat Islam
Sebagai
Muslim aku tak rela agamaku, Islam dijadikan bahan perbincangan negatif,
meskipun aku dalam diam. Aku menyadari, Islam yang terbangun belum mencapai strata
atmosfir, menyeluruh atau kaffah. Setidak-tidaknya begitu tersirat dalam
informasi yang diutarakan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh. Artinya, nuansa
kehidupan secara keseluruhan belum Islami. Hal ini tanggung jawab kita semua
selaku umat Islam, meskipun tingkatan tanggung-jawab itu berbeda-beda sesuai
status masing-masing.
Di
bulan Ramadhan 1434 H, hari ke-14, terlintas direnungku tentang suatu
kesimpulan, bahwa jika kita ingin terlindungi dalam Islam yang kaffah, tentu
konstruksi atmosfir dari nilai-nilai luhur haruslah dikokohkan. Aku teringat
salah satu media yang meberitakan tentang kondisi pelanggaran syariat di Banda
Aceh. Setelah beberapa saat mebolak-balik tumpukan koran, kudapati berita yang
kumaksud seraya aku mencoba mengomentari kondisi pemberitaan Islam di Banda
Aceh untuk sekadar melakukan pembelaan awam meski kurang berarti karena terlalu
jauh dari atmosfir yang kaffah itu.
Sejak
belajar di sekolah lanjutan atas, aku sudah meyakini Islam merupakan agama yang
mengajak manusia untuk berfikir. Kabarnya, berbeda dengan agama-agama yang lain
yang memisahkan antara agama dan logika. Semakin kita berfikir, semakin bergetarlah hati kita untuk mengakui
tanda-tanda kebesaran Allah. Oleh karenanya, Islam meninggikan derajat orang-orang
berilmu atau ilmuawan. Dalam satu definisi, ilmuwan adalah orang yang bekerja
dan mendalami ilmu pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh. Mereka bekerja
berdasarkan fakta, bukan sekedar menebak-nebak atau menggunakan perasaan dan dari
hasil penelitian itulah mereka dapat menyimpulkan sesuatu.
Kembali
ke media yang aku baca, menurut ekspose berita Modus Aceh edisi 13-19 Mei 2013,
total kasus pelanggaran mesum atau khalwat di seluruh kabupaten-kota di Aceh,
sesuai Qanun no. 14 tahun 2003, mencapai 1981 kasus. Data ini didasarkan
rekapitulasi jumlah penyelesaian kasus Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul
Hisbah Kabupaten-Kota, Provinsi Aceh. Angka ini merupakan terbesar kedua
setelah pelanggaran Qanun 11/2002, Qanun 13/2003 dan Qanun 12/2003.
Modus, edisi 13-19 Mei 2013 |
Dalam
berita itu disebutkan, “pernyataan
mengejutkan disampaikan Wakil Walikota Banda Aceh, Hj Illiza Sa,aduddin
Djamal,SE saat menerima Ormas Islam, Rabu, 23 Maret 2013. Dia mengaku telah
menemukan kasus free sex (seks bebas)
yang melibatkan anak-anak usia sekolah yang berasal dari luar Banda Aceh, tapi
masih anak Aceh juga”.
Selanjutnya,
menurut Sekjend HUDA Aceh, Tgk Faisal Aly, “
‘kalau jenis kemaksiatan akhir-akhir ini diangkat, dalam penilaian kami
sebenarnya bukan muncul sekarang, tapi sudah duluan ada’ “. “Yang membedakan
sekarang,’cuma nilai dan cara mereka yang sudah terang-terangan. Dulu, mereka
malu-malu. Tapi sekarang tidak lagi, usaha mereka terpampang secara bebas dan
tidak ada lagi skat-skat. Jadi itu yang membedakan antara sekarang dengan yang
dulu’ “.
Di
samping itu, Direktur P3KI IAIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Yusni Saby MA, mengungkap
bahwa, “yang jadi problemnya, secara
formal kita deklarasikan qanun syariat Islam, tapi dalam praktiknya, syariat
Islam kita laksanakan tidak tuntas”. “Artinya,
‘keteladanan pemimpin yang sangat perlu. Sering kita dengar pemimpin yang
berbuat maksiat,......’ ”.
Aku
mengilas balik tentang buku karanganku yang diseminarkan, bertajuk “Poligami Yang Solutif Itu,” tahun 2010,
di Lhokseumawe, beberapa komentar peserta menyangsikan kasus mesum akan berkurang
setelah qanun pelanggaran mesum diberlakukan. Komentar itu dominan diutarakan peserta
pria, namun peserta wanita lebih memilih diam, rada malu mengutarakan. Di bulan
Ramadhan kali ini, aku bersyukur kepada pemilik segala atmosfir, Allah SWT,
tentang pemberian inspirasi untuk mengevaluasi buku yang kutulis pada 2009
silam. Ada kesimpulan dan harapan khusus dalam pemikiranku, bahwa kondisi penyelesaian yang tersaksikan masih dalam tingkat penyelesaian membangun komentar dari para pihak. Semoga dalam tahun mendatang terjadi perubahan terhadap solusi aplikatif di daerah Syariat Islam ini.
Serambi Indonesia, 2010 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar