Ketika Pegawai Negeri Tidak Diminati
Sepanjang
sejarah yang aku ingat, Aceh pernah mendapat kucuran rahmat dalam bentuk finansial
yang luar biasa. Orang-orang tidak berminat menjadi pegawai negeri yang bergaji
kecil. Masa itu dalam rentang waktu 1970-an hingga 1980-an. Di awal 1970,
orang-orang banyak mendapatkan uang dari aktivitas dagang di pelabuhan bebas Free Port Sabang. Kawan-kawan sebayaku
waktu itu telah bekerja di Pelabuhan Uleelheu, untuk membawa barang ke pasar jengek di Jalan Ponegoro Banda Aceh.
Mereka sudah mengenakan pakaian mewah seperti jam tangan, kemeja, celana dan
lain sebagainya. Banyak orang-orang luar daerah yang mecari uang di ibukota
Provinsi Aceh kala itu dengan status Jenggo
Ekonomi (Jengek). Namun jelang tahun 1980, status pelabuhan bebas tidak
diberlakukan lagi, pupuslah pusaran uang dari sektor ini.
Dalam
dekade itu juga, harga cengkeh melambung tinggi. Orang-orang di pesisir barat
Aceh mendapat uang yang banyak dari suatu pusaran. Kawan-kawanku asal Lhoknga,
Lam lhom, Leupung dan kawasan sekitar lainnya terlihat cukup mewah dalam ukuran
fasilitas sehari-hari. Sepeda motor yang relatif langka pada tahun 1978, sudah
menjadi barang biasa bagi mereka. Belum lagi pakaian mewah lainnya. Aku sendiri
pernah memetik cengkeh di kebun kawanku, di kawasan Lamlhom Aceh Besar dengan
upah fifty-fifty. Artinya, jika aku
memetik sebanyak 2 kg, upahku 1 kg dan 1 kg lagi untuk yang punya kebun. Harga
cengkeh kering per-kg waktu itu mencapai Rp. 20.000,-, sementara harga sepeda
motor bermerk Honda, jenis bebek hanya Rp. 475.000,- saja. Kawan-kawan dari
Sinabang juga tidak ketinggalan, produksi cengkeh dan harga yang cukup
melambung di daerah itu menjadikan mereka banyak bersekolah di Banda Aceh.
Namun pusaran itu redup di awal tahun 1980-an.
Suasana sidang sarjana FT-Unimus |
Tidak
pula ketinggalan di pesisir timur dan utara Aceh. Pada masa itu, tepatnya 1975,
penerimaan karyawan besar-besaran untuk membangun kilang gas Arun. Perusahan
pembangun kilang gas terkenal waktu itu adalah Bechtel International, banyak mendidik putra-putri Aceh dalam bekerja
di pabrik. Orang luar daerah-pun tidak ketinggalan untuk mengadu nasib di Lhokseumawe,
ibukota Aceh Utara tempat perusahaan besar itu berdomisili. Hampir tak ada
minat para sarjana menjadi pegawai negeri sipil pada masa itu, karena gaji di
beberapa perusahaan lebih menjanjikan kesejahteraan yang luar biasa. Kesejahteraan
ini juga pupus hingga saat ini dan sejak awal tahun 2000-an mulai redup.
Jika
dikaitkan dengan keadilan Tuhan yang Maha Pemberi rejeki, dapatlah disimpulkan
bahwa tanah kita pernah digilir sebagai pusaran uang. Boleh jadi pada dekade
yang aku ingat merupakan giliran yang ke-sekian kalinya. Namun persoalan yang
mesti dicermati bersama adalah masa pusaran uang itu tidak dapat bertahan lama.
Dampaknya, pada tahun 2000-an para sarjana berbondong-bondong menjadi tenaga
honor bahkan bakti pada instansi pemerintah yang belum jelas status
pengangkatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar