Sabtu, 09 Maret 2013

NAMA TRADISIONAL MASYARAKAT ACEH


Nama sosok tradisional Aceh Pesisir

Masyarakat Aceh pesisir masa lalu juga memiliki nama-nama yang khas. Pada masa aku kecil, sekira tahun 1967, sering aku mendengar nama orang-orang di Banda Aceh yang memang tidak aneh dalam keseharian. Nenekku saja  menggunakan nama Aceh tradisional yang tertera dalam kartu tanda penduduk (KTP) dan identitas lainnya. Bagi orang perempuan nama yang ditabalkan, yakni Maneh, Buleuen, Keumangan, Meulu, Jeumpa, Meutia, Keumala, Puteh, Banteing, Nabeut dan lainnya yang aku lupa. Untuk anak laki-laki, Bintang, Itam, Puteh, Syahkubat, Ubiet dan juga mungkin masih ada yang lain. Kadang kala nama-nama tertentu dapat digunakan bagi laki-laki dan perempuan, seperti Puteh, Maneh dan mungkin masih ada yang lainnya. Hanya saja bagi orang perempuan biasanya ditabalkan sebutan Nyak sebelum nama itu, seperti Nyak Puteh (salah satunya nenekku), Nyak Buleun dan lain sebagainya. Bagi laki-laki juga begitu, penabalan nama sebutan biasanya berupa sebutan populer dari keluarganya atau profesi yang dilakoninya, seperti Apa (paman), Syeh, Pawang dan sebagainya. Contohnya, Apa Bintang, Apa Itam, Syeh Ubiet, Pawang Syahkubat dan sebagainya. Jika mereka dari kalangan bangsawan, sebelum nama-nama itu ditabalkan gelar kebangsawanannya, seperti Teuku dan Cut.  Waktu aku sudah sekolah di SMP, tahun 1974, masih ada anak-anak perempuan sebayaku yang bernama Cut Maneh dan  Teuku Ubiet, bagi rekanku yang laki-laki.

Penamaan untuk profesi terhormat, biasanya menggunakan nama tempat ianya mengabdi. Contoh dekatnya kakek buyutku, seorang perantau guru mengaji Alqur’an yang bernama sebenarnya Hasan. Beliau tinggal di kebun kosong di desa Lambaet, Aceh Besar sekira tahun 1890 M. Dalam bahasa Aceh, kebun kosong berarti lampoih soh maka orang sekampung mengenal nama beliau bukan Teungku Hasan, melainkan Teungku Lampoih Soh.  Begitupula gelar tempat untuk imam shalat rawatib atau imam besar di mesjid-mesjid tertentu, seperti Imuem Chik Lambaro, Imuem Meusijid Lamkuta dan lain sebagainya. Lambaro dan Lamkuta merupakan nama tempat di mana beliau menjalankan aktivitas keagamaannya.  

Aku banyak bertemu dengan orang-bernama seperti ini pada masa itu dan usia mereka relatif lanjut. Namun pada dekade 1980-an, nama-nama serupa ini semakin langka dan jarang aku dengar.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar