Selasa, 12 Maret 2013

WAJAN BOBOL

Razuardi Ibrahim, Hasanuddin, M Yusuf
dan Khaidir (alm), setelah wajan bobol 1980
Aku teringat masa itu jelang akhir tahun 1980, di mana aku dan beberapa teman sekelas masih saja bergaul dalam keseharian. Padahal, beberapa dari kami sudah berlainan fakultas, seperti M Yusuf yang kuliah di fakultas Perternakan. Namun kebiasaan cengkerama di SMA beberapa bulan lalu tak mudah pupus begitu saja. Untuk mengatasi kesunyian batin masing-masing dari kami, tak jarang setiap malam Minggu, aku dan beberapa teman pergi ke pantai untuk melanjutkan kebiasaan bergurau seperti dulu. Di samping itu ada Hasanuddin, yang sama kuliah di Fakultas Teknik kerap menyediakan mobil barang untuk kami pergi bersama ke mana saja yang kami inginkan. Mobil itu bermerek Hiace, yang dipakai untuk mengangkut cincin sumur dan produk pabrik berbasis semen, usaha ayah Hasanuddin di Desa Beurawe, Banda Aceh. 

M Yusuf, Wahyudi (alm), aku dan Hasanuddin
sebelum wajan bobol, 1980
Jelang malam tahun baru 1981, aku, Hasanuddin, M Yusuf, Khaidir (alm) dan Wahyudi (alm), pergi ke pantai Lhoknga. Ramai juga anak-anak muda dengan tujuan sama di pantai itu dan tidak jarang mereka menyembelih kambing serta menenggak minuman keras. Ketika itu terjadi friksi antara kelompok kami dengan kelompok desa lain yang kemahnya tidak terlalu jauh. Suasana seperti itu merupakan hal biasa, apalagi mereka sudah tidak waras dampak minuman keras. Lantas mereka melempar botol minuman ke arah kami, secara cekatan Hasanuddin menangkis dengan wajan alumnium yang kami bawa. Punggung wajan itu bobol dan kami khawatir tidak mendapatkan jawaban kepada ibu Khaidir, pemilik wajan itu. Hasanuddin marah berat dan hendak menyerbu kelompok itu untuk minta ganti wajan yang bolong, tapi aku cepat menyergah. "Jangan Cut Bit, masak pereman lawan pereman minta ganti wajan," kataku kepada Hasanuddin yang biasa kami panggil Cut Bit. Dia diam marah, memang karakter Hasanuddin pantang menyerah kalau belum selesai. Aku dan Yusuf coba menahan amarahnya, namun dia tetap memandang ke arah pereman yang membobolkan wajan kami. Tersirat, Hasanuddin tengah mempertahankan gengsi kelompok kami yang tertdiri dari lima orang saja. Lantas, aku berembuk kepada Yusuf untuk mengecat pipi kami dengan wajan untuk foto bersama. Semuanya setuju, termasuk Hasanuddin sendiri. Tidak lama upaya itu kami lakukan, semua dari kami sudah berjambang hitam pekat. Dan berfotolah kami, layaknya bajak laut, "minimal jika mereka menyerbu kita, mereka tidak bisa sembarangan melawan bajak laut," kataku.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar