Selasa, 26 Maret 2013

POLA PIKIR

Tatkala menghindar dari Pola Pikir
Menyergap Pola Pikir

Menurut pasangan peramu kehidupan yang menjadi ikon bagi khalayak sekitar kota pesisir dalam kisah Sisilia,  Deborah Stefaney dan Rudolf Illinois,  2007,  pola pikir merupakan”suatu proses olah akal yang terbentuk melalui suatu penilaian pada diri seseorang sehingga melahirkan kebiasaan yang membentuk perspektif dalam menyimpulkan sesuatu. Penemuan mereka yang semakin diyakini semakin memaknai kondisi kekinian, kian menempuh aspek teoritis proses belajar mengajar di lingkungan publik.

 Islam telah mampu membangun tiga konsep besar yang membumi pada era keemasannya dahulu. Konsep self ideal (diri ideal) yang  terbangun melalui sosok idola Muhammad SAW  menjadikan Islam sebagai suatu cita-cita kebenaran  dan mendapat pengakuan dari berbagai pihak baik kalangan Muslim maupun non-muslim sehingga sulit terpisahkan dari informasi sejarah bahwa kegemilangan pada masa itu merupakan produk kinerja sebuah kharisma Rasul yang sempurna itu. Seperti disaksikan hingga saat ini, kebesaran nama Muhammad tak tertandingi dengan jumlah pengikut yang kian bertambah. Indikasi ini jelas terlihat pada peningkatan jumlah jamaah haji dan umrah dari tahun ke tahun. Hasrat berziarah ke kota kelahiran manusia agung itu ditambah dengan ziarah ke maqamnya cukup memperkuat argumen bahwa sosok Muhammad dicintai ummatnya sepanjang waktu.  Begitu yang tersirat dari kondisi itu tentang keberhasialan Muhammad mejadikan dirinya sebagai sosok ideal bagi seluruh ummat manusia.

Selanjutnya pada strata konsep self image (citra diri) yaitu suatu kondisi di mana komunitas muslim mampu bercermin kepada dirinya sendiri atau dengan kata lain kehadiran ajaran ini menjadi alat ukur terhadap perilaku ummat. Sejarah membuktikan bahwa konsep ini telah merubah cara pandang komunitas jahiliyah masa itu menjadi suatu bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Eksistensi Islam yang dibawa Muhammad mampu mengungguli berbagai peradaban terdahulu dan menjadi tempat perlindungan kaum tertindas kala itu. Persoalan cukup mendasar, menganggap rendah kaum wanita yang mewarnai seluruh  peradaban dunia, seperti peradaban jahiliyah, Persia, Romawi, Yahudi, dan lain lain, dapat dipupuskan dengan ajaran baru itu, yaitu Islam. Masih banyak lagi perubahan berbasis kepentingan ummat yang terjadi  di tengah masyarakat saat itu. Kondisi ini semakin mengharumkan ajaran Islam dan mampu meyakinkan ummat bahwa kelahirannya sebagai solusi dalam menjalani kehidupan. Kepercayaan berbagai negeri terhadap kehandalan peradaban Islam meningkatkan daya tarik tersendiri bagi penyesuaian konsep peradaban yang telah mentradisi. Indikasi ini tercermin dengan maraknya kegemilangan wilayah kekuasaan Islam yang mewarnai sejarah dunia. Begitulah pencitraan ajaran Islam yang terbangun masa itu.

Tidak hanya itu, yang ke-tiga adalah konsep self esteem (harga diri), yaitu suatu kondisi di mana ajaran Islam menjadi alat ukur kelayakan berbagai ajaran. Sebagai suatu ajaran yang mengutamakan rahmat bagi semesta alam, tanpa perbedaan, menyeluruh, dan dapat diterapkan ke berbagai komunitas, tak jarang nilai-nilai ke-Islaman diakomodir untuk memperkuat ajaran tertentu meskipun tanpa mengimaninya. Lebih dari itu, Islam mengajarkan seluruh komponen alam mendapat porsi dalam perlindungannya yang dibangun berdasarkan konsep bahwa, “tiada yang sia-sia dari cipta-an Allah”. Dengan pemahaman terhadap penghargaan bagi seluruh komponen alam ini, nilai ajaran Islam secara otomatis  tergiring  ke dalam suatu penilaian di mana ajaran ini memiliki nilai tinggi di mata ajaran lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar