Goresan Otodidak
“Sesungguhnya sekecil apapun karya anak manusia akan bernilai
tak terhingga tatkala ternikmati oleh semua” (razuardi 2010)
Sekilas
Biografi
Razuardi Ibrahim bin Razali bin Mahmud bin Ibrahim, 1962 |
Razuardi Ibrahim, 1973 |
Razuardi Ibrahim,
pria kelahiran 9 Desember 1961 merupakan generasi
kedua dari Mahmud bin Ibrahim, atau lebih populer dipanggil Teungku Mud
Perindra. Panggilan akrab itu diperoleh
karena Mahmud mengelola perusahaan industri rakyat dan dagang umum yang bernama
Firma Perindra, di Matang Geulumpang Dua, Kabupaten Bireuen sekarang. Seluruh
penghidupan keluarga besarnya dibiayai oleh usaha perdagangan di daerah ini.
Razuardi Ibrahim, Sigli, 1966 |
Sejak berumur 5 tahun Razuardi
berstatus yatim setelah ayahanda Razali bin Mahmud wafat sehingga pembinaan
beralih ke tangan Binsari bin Budiman Lhoksukon, wali perkawinan sebelah
ibunya. Di tangan Pakwa inilah talenta lelaki humanis itu ditempa, dan dengan
bekal motivasi Pak Ben (semasa hidupnya orang sering menyapa begitu) pulalah
magister teknik sipil dapat diraih.Tidak berbeda dengan keluarga masyarakat
Aceh pesisir
lainnya, generasi Mahmud ke atasnya masih berperawakan import,
dikarenakan Abu Syik ini masih kental berciri komunitas asalnya, Turki
Seljuk. Cerita ini sedikit perlu untuk
menggambarkan masa assimiliasi lehuhur Razuardi di daratan Serambi Mekah ini,
di samping untuk mengurangi tendensi sejarah di lingkungan keluarganya.
Diceritakan leluhurnya, bahwa setelah
Perang Salib I (1095-1099) yang berhasil mendirikan Kerajaan Jerussalem,
komunitas Bani Seljuk hijrah ke berbagai penjuru dunia, dengan pelayaran
tentunya. Di Aceh, salah satu tempat pendaratan terbesar adalah Kampung Pande,
ujung pulau Sumatera, yang terjadi dalam banyak gelombang dan berkelanjutan
hingga masa Kerajaan Aceh Darussalam. Aktivitas mereka kala itu adalah sebagai
perajin perca, logam, dan keramik.
Penyusupan kaum pendatang berjalan relatif lambat, dikarenakan kendala
transportasi, kondisi lahan, dan lain sebagainya. Begitu
pula dengan Nek Tu dari Nek Tu Teungku Mud Perindra.
Komunitas Seljuk kecil
berpencar dan menetap di desa-desa seperti di Aceh Besar dan Pidie. Leluhur
Teungku Mud Perindra yang berassimilasi membangun komunitas baru di berbagai
tempat pedalaman dan pesisir Aceh tersebut.
Sementara Teungku Mud terus berjalan mengakhiri penyebaran kaum
pendatang itu dengan memilih tempat mengembangkan usaha di wilayah Ampon Syik
Peusangan, Matang Geulumpang Dua. Berbekal keterampilan warisan leluhur, di
sini beliau membangun pabrik genteng, batu bata, dan industri berbasis rakyat
lainnya. Dalam perjalanannya, kondisi berceritera lain. Sekitar tahun 1953 di
saat kondisi Aceh tengah sulit, lagi-lagi Teungku Mud harus hijrah ke Kota
Medan dengan meninggalkan ragam asset usaha yang telah berkembang itu.
Meskipun sebagian besar
keluarga telah membangun penghidupan baru di Medan, Razuardi masih bertahan
untuk mengecap pendidikan di Aceh dan pernah bercita-cita melanjutkan usaha
yang dirintis Abu Syik. Kenyataan menentukan lain, khayalan kandas dikarenakan
banyak hal, hingga akhirnya ia harus berpuas hati dengan predikat seorang
pegawai negeri sipil.
Setelah mencermati asal-usul
dan profesi keluarganya, tersirat bahwa tidak satupun yang beraktivitas di
bidang seni sehingga mitos tentang memilih profesi sebagai pekerja seni hanya
berlaku bagi sosok bergenetika seni kerap memupuskan keberaniannya berkarya.
Sekedar Berbagi Kisah
Selepas pendidikan strata-1
teknik sipil yang notabenenya
menjadi ahli konstruksi tahun
1988, pernah dihadapkan kepada beberapa pilihan yakni, ingin berkarir di
perusahaan swasta, pegawai negeri dalam arti sebagai dosen, atau sebagai
pekerja seni. Hatinya kala itu cenderung berpihak ke profesi sebagai pekerja
seni. Namun tidak cukup waktu satu hingga dua bulan untuk memutuskan soal itu.
Betapa kondisi telah memberi banyak pelajaran tentang oran g-orang berkarir. Tak satupun seniman
Aceh yang mendapat apresiasi layak dari sistem sosial setelah mereka tidak
produktif lagi. Konon lagi apresiasi yang memberi peluang untuk menikmati
kesejahteraan hidup seadanya. Bekerja pada perusahaan swastapun jadi renungan
yang sulit terbantahkan, khususnya pada perusahaan besar nasional yang tengah
mekar-mekarnya di Aceh Utara. Tetapi kendala waktu untuk berinteraksi dengan lingkungan
cukup memupuskan cita-cita memilih profesi di bidang ini. Perhatian beralih
untuk menjadi pegawai negeri sipil di sektor birokrasi. Pilihan ini didasari
atas pertimbangan bahwa prestasi berkarir akan ditentukan oleh kompetensi
individu, waktu interaksi sosial dan lingkungan cukup tersedia, paradigma
masyarakat masih menempatkan sosok pegawai negeri sipil sebagai terseleksi, dan
beberapa pertimbangan lain. Meskipun berat, pilihan itu menuju final. Tepatnya
pada 26 Pebruari 1989, Razuardi bergegas menuju kota gas Lhokseumawe, dengan
meninggalkan pekerjaan pembuatan taman di seputaran Bandar Baru, Banda Aceh.
Dengan proses relatif cepat, keesokan harinya pada 27 Pebruari 1989, ianya
resmi menjadi pegawai bakti di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh Utara. Pengangkatannya
sebagai pegawai negeri sipil juga tidak terlalu lama, hanya berselang setahun,
yakni pada Maret 1990.
Om Ridwan Mahmud dan Ayahanda Razali Mahmud, di Matang Geulumpang Dua 1959 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar