Seputar
Kisah Menjadi Sekda
“Tulisan ini
kurilis, pada 31 Desember 2011, sebagai apresiasi kepada kinerja tim anggaran
yang menutup buku tepat hari ini”
Azhari Usman |
Aku merupakan
Sekda Bireuen ke-tiga setelah Hasan Basri Djalil dan Nasrullah Muhammad.
Pelantikan jabatan tertinggi aparatur itu diselenggarakan pada Jum’at, 09
September 2011, di Aula Setdakab Bireuen lama di belakang Meuligoe Bupati.
Proses pen-Sekda-an diriku relatif singkat namun dinamikanya yang sedikit
menarik. Jabatan ini dianggap cukup bergengsi bagi kalangan aparatur karena mindset berbagai kalangan Sekda
merupakan orang ke-tiga di kabupaten setelah Bupati dan Wakil, bergelimang
wewenang termasuk pengaturan fasilitas yang cukup. Dari sebagian ucapan selamat
yang kuterima dapat kupahami, jabatan itu secara umum diartikan sebagai sebuah
kenikmatan tanpa memahami sisi-sisi sulit mengatasi keadaan daerah.
Aku sudah
memahami kesulitan posisi Sekda karena pada saat Pak Hasan Basri Djalil
menjabat, aku kerap dinota-dinaskan sebanyak tidak kurang empat kali dalam
kurun waktu 2001-2002. Ketika itu aku menjabat sebagai Asisten Ekonomi dan
Pembangunan Setdakab Bireuen menggantikan Pak Maimun Rasyid yang bergeser ke
Asisten Pemerintahan dan Tatapraja.
Berbagai
pengalaman itu membuat aku resah, tatkala Bupati Nurdin Abdul Rahman menggiring
pembicaraan tentang aku akan diposisikan sebagai Sekda Bireuen, di awal 2011. Aku
yakin bahwa jika isu itu terkuak, para peminat Sekda akan melakukan manuver isu
yang kurang baik terhadapku. Di samping itu aku juga meperhitungkan kesulitan
yang bakal kuhadapi seputar sistem keuangan daerah yang kerap diperbincangkan
di kalangan masyarakat. Pada diskusi awal, aku menyarankan agar ditunjuk Pak
Hamdani, Asisten Pemerintahan dan Tatapraja saja sebagai Sekda karena,” pak Ham
mantan inspektorat dan senior jadi cocok untuk membenahi administrasi derah,”
kataku bersemangat. Di samping itu aku menambahkan juga bahwa Pak Hamdani tidak
memiliki pola pikir politis kecuali teknis administratif.
Pak Nurdin
tertarik tatkala aku menyinggung tentang pola pikir politis dalam bahasan
usulan calon Sekda. “Tapi Sekda kan sesekali mengadakan rapat-rapat tertentu
dengan DPRK, kan politis sifatnya,” tanya Pak Nurdin. “Betul Pak, pola pikir
politis pada seseorang pejabat yang dimaksudkan, yakni penyelesaian masalah
teknis administratif daerah tidak boleh diupayakan selesai melalui cara-cara
politis, karena keputusan teknis yang diperlukan pasti mengambang,” kataku.
Bupati Nurdin paham maksudku, seraya menjelaskan banyak orang yang datang
mengusung beberapa nama untuk jadi Sekda. “Iya, tidak apa-apa Pak, diuji aja
pola pikir orang-orang itu,” kataku singkat.
Hari
berikutnya, Pak Nurdin mengutarakan agar aku dapat menyebut nama lain sebagai
alternatif. Aku langsung saja menyebut nama Pak Zulkifli, Asisten Keuangan dan
Kepegawaian, yang juga mantan auditor di BPKP Aceh. “Beliau ahli pemeriksaan
keuangan dan akan pensiun, bersahaja, jadi
tidak punya kepentingan apa-apa,” kataku memberi alasan. Bupati diam saja
sambil mencatat, seakan berharap aku mau menerima tawarannya jadi Sekda
Bireuen.
Kira-kira
masih di awal tahun 2011, Bang Subar menelponku menanyakan hal itu. Aku
menjawab, “nanti saya ke rumah abang aja,” kataku, karena kebiasaan yang
kulakukan mengunjungi beliau setiap menerima telepon. Bersama Bang Subar
dirumahnya, aku biasa membahas banyak hal seputar pelayanan publik dan rencana
pembangunan karena aku masih sebagai Kepala Bappeda Bireuen. Suatu ketika Bang
Subar berbicara keras kepadaku, “sekarang abang izinkan Razuardi pindah dari
Bireuen karena banyak sekali laporan keburukan Razuardi kepada abang,” katanya
dengan suara tinggi. Aku diam saja karena kebiasaanku juga jarang membantah apa
yang dikatakan Bang Subar, terlebih lagi untuk aku membela diri. Lalu, “tidak
mungkin Razuardi sendiri memperbaiki Bireuen ini sementara yang lain
menggerogoti kayak gurita sudah,” sambungnya lagi. Kali ini aku coba menjawab,
“kalau disuruh pindah saya pindah bang,” kataku dalam pembicaraan empat mata
habis Ashar.
Tidak jauh
berselang dari adegan di atas, aku juga mendapat telepon serupa dari Pak
Hamdani Raden. “Apa ada masalah Razuardi, kok saya dengar Razuardi bukan
seperti yang dulu lagi ketika saya bawa pulang,” katanya, seraya menyebutkan
informasi itu diperolehnya dari beberapa jurnalis. “Kalau bapak percaya kepada
isu seperti itu, saya tidak membantah pak,” jawabku sambil menjelaskan kondisi
Bireuen waktu itu. “O, gitu,” sela Pak Ham rada mengerti.
Berdekatan
juga dengan waktu pembicaraan di atas, Pak Nurdin memanggilku ke Meuligoe untuk
suatu tugas. Di sela penjelasan, Pak Nurdin bercerita tentang kehadiran dua
pejabat penting Setdakab bersama seorang anggota DPRK Bireuen khusus meminta
agar aku digeser dari Ketua Bappeda. “Yang bicara anggota DPRK,” kata Pak
Nurdin sedikit heran. Aku juga tidak membantah dan berusaha mengalihkan
pembicaraan ke hal pokok, yakni tugas tadi. Namun Pak Nurdin tetap melannjutkan, ”saya
bilang sama anggota dewan itu, ‘itu tugas saya’”. Panjang lebar Pak Nurdin
mengungkap kejadian itu dan aku tetap diam tanpa respon.
Beberapa hari
berselang Pak Nurdin bercerita lagi tentang datangnya dua orang mantan anggota
DPRK Bireuen untuk menyatakan agar dipertahankan pejabat Sekda lama saja.
“Sampai habis masa jabatan saya, karena tinggal beberapa waktu lagi,” jelas Pak
Nurdin sesuai arahan orang-orang tua itu. Tanpa aku bertanya, Pak Nurdin mengulas
panjang lebar tentang berbagai bahasan dengan ke-dua orang itu. “Orang yang
lebih tua berbicara lebih muslihat, tapi maksudnya sama dengan yang lebih muda,”
kata Pak Nurdin menjelaskan tentang adegan ‘gayung bersambut’ yang dimainkan
dua sosok senior di tengah malam itu.
Aku semakin
merasa aneh, tatkala suatu malam, aku, Pak Nurdin dan Ibu Fathimah, pergi minum
bandrek ke Matang Geulumpang Dua, “Pak Raju memotong uang Dekranas dua ratus
juta untuk acara Tun Sri Lanang ya?,” tanya Ibu kepadaku. Spontan aku
jawab,”tidak, acara Tun Sri Lanang sumber dananya dari Jakarta,” kataku. “Jadi
kok orang ini bilang Pak Raju yang potong,” lanjut Ibu fathimah lagi. Aku
terdiam seraya memaknai situasi yang sedang menerpa.
Suatu malam
aku berkunjung ke Rumah Sakit Telaga Bunda, tempat aku biasa memeriksa darah. Di
sana aku menemui dokter Mursyidah yang biasa mengajakku diskusi ragam kegiatan
remaja dan orang tua-tua. Tak lama kemudian datang bergabung Nurdin Birton,
suami dokter Mursyidah, yang juga biasa diskusi pelayanan masyarakat denganku. Di
sela-sela bahasan, dokter Mursyidah mengungkap tentang beberapa hal yang
dilaporkan orang-orang tertentu kepadanya, tentunya seputar citra buruk seperti
beberapa adegan di atas. Aku menjelaskan kepada mereka tentang berbagai kisah
yang kualami dan aku yakin sosok-sosok tulus dan ta’at seperti mereka tidak mudah
terpengaruh dengan isu-isu negatif. “Saya bersyukur kepada Allah, kebetulan
saya dianugerahi sebagai orang yang bisa menikmati berbagai suasana dengan
keindahan,” kataku mengimbangi keta’atan mereka dan disambut tawa.
Di antara
kisah-kisah di atas, Samsul Juli sudah berhari-hari sibuk mencariku. Setiap
kali menelepon ia minta aku berjumpa dengannya empat mata. Namun karena
kesibukan masing-masing, pertemuan aku dan Samsul sulit terwujud. Suatu malam,
Samsul berusaha meluangkan waktu agar dia bisa menjemputku dan bicara di suatu
tempat. Aku dijemputnya di Meuligoe dan dibawanya ke rumah Sayed Baka di
seputaran Pulo Kiton. Di tempat itu, Samsul bicara panjang lebar tentang isu
negatif seputarku persis sama seperti pembicaraanku dengan Bang Subar, Pak Hamdani
Raden, dokter Mursyidah dan Nurdin Birton. Aku lihat Samsul cukup gelisah
karena pertemananku dengannya tidak dalam urusan proyek. Tetapi lebih dari itu,
aku dan Samsul banyak membahas peraturan-peraturan organisasi dan teknik-teknik
kepemimpinan. Aku menjelaskan semua kisah-kisah yang aku alami kepadanya dan
Samsulpun mahfum terhadap keadaan. “O, saya kira apa yang terjadi,” katanya.
“Hanya interes orang-orang tertentu,” ungkapnya seraya kami beranjak pulang
meninggalkan markas Sayed Baka. Aku berpesan kepada Samsul, jika pelaku
pembunuhan karakter itu dari kalangan intelektual atau pejabat, aku memohon
disediakan suatu ruang sidang untuk diskusi, debat, atau apapun namanya. “Karena
debat dengan jelas dan memberi solusi yang jelas, akan membangun nuansa
elegan,” pesanku pada Samsul.
Waktupun laju
bergulir hingga suatu hari di pertengahan tahun 2011, Pak Nurdin memanggilku
lagi sepulangnya dari Jakarta. Kali ini beliau sedikit menekankan agar aku
bersedia jadi Sekda, sementara aku juga sedikit gugup tatkala beliau memberi
beberapa alasan dari narasumber tertentu tentang dua nama yang kusebutkan
terdahulu, Pak Hamdani dan Pak Zulkifli. Aku hampir kehilangan argumen tatkala
Pak Nurdin berkisah panjang lebar tentang perlunya pembenahan administrasi
daerah. Tapi pikiranku tetap menerawang tentang nama lain yang mesti aku
sebutkan saat itu. Sekejab aku munculkan nama Pak Azhari Usman, Kepala Badan
Dayah Aceh, yang dulu pernah menjabat Asisten Pemerintahan dan Tatapraja dan Kepala
Dinas Perhubungan Bireuen. Banyak alasanku tentang kompetensi Pak Azhari
diterima Pak Nurdin, seraya Pak Nurdin memintaku menghubunginya dalam waktu
selekas mungkin.
Tanpa menunggu
waktu panjang, malam itu segera kuhubungi Pak Azhari, kerabat yang sering
berkelakar denganku sewaktu kami sama-sama menjabat Asisten di sekretariat. Pak
Azhari diam saja sa’at aku telepon hingga menutup pembicaraan, “nanti saya
kabari dalam dua hari ini Pak Raju ya,” katanya. Aku tidak yakin dengan jawaban
itu sambil mencari dukungan dari para senior lain di Bireuen. Teringat aku sosok
Bang Saifannur, pengusaha yang punya hubungan baik dengan Pak Azhari. Kudatangi
rumah Bang Saifannur di Paya Meuneng besok malam setelah ketelepon terlebih
dahulu. Kuutarakan pembicaraanku dengan Pak Azhari kepadanya dan kudapati
respon yang cukup positif. “Bagus besok sudah ada jawaban dan Pak Azhari harus
mau kalau saya minta,” kata Bang Saifannur berapi-api.
Keesokan malamnya,
aku bergesas ke tempat Bang Saifannur.
Beliau sudah bersiap menungguku di teras depan rumah yang megah itu. Wajahnya
sedikit murung seakan berat mengutarakan jawaban Pak Azhari kepadaku.
“Bagaimana bang jawaban Pak Azhari,” tanyaku buru-buru. “Tidak mau dia dek,”
kata Bang Saifannur seraya menambahkan ramalan kemungkinan Pak Azhari menolak
permintaan kami. “Mana mau dia, sudah hancur-hancuran kita kasih ke dia,” gumam
Bang Saifannur. Ketika itu aku minta Bang Saifannur menjelaskan juga kepada Pak
Nurdin karena aku malu juga karena Pak Azhari yang aku yakini mau dan mampu,
ternyata menolak.
Hari
selanjutnya aku mencoba menemui Pak Nurdin untuk menjelaskan bahwa Pak Azhari
tidak bersedia diajak pulang ke Bireuen dan beliau memakluminya. Aku jelaskan
juga bahwa Bang Saifannur juga sudah membantu menanyakan hal itu ke Pak Azhari,
sementara aku tidak menelepon Pak Azhari. Kupikir cukup Bang saifannur saja
yang mendengar jawaban Pak Azhari. Pak
Nurdin diam saja mendengar penjelasanku sambil mengalihkan pembicaraan tentang
buku seraya memberikan kepadaku. Kami bercerita sedikit lama selepas ashar di
ruang kerja Meuligoe.
Beberapa hari
selepas itu, Pak Nurdin sibuk ke Jakarta memenuhi berbagai undangan. Suatu hari
kira-kira di bulan Juli 2011, jelang puasa, Pak Nurdin tiba dari Jakarta dan
berpesan kepada Ebtadi agar aku menemuinya di Meuligoe nanti malam. Pada malam
itu aku di rumah Haji Fauzi, adik Bang Subar, karena Ismunandar menyuruh aku
singgah di rumahnya, kebetulan serumah dengan Haji Fauzi. Ebatadi menelponku,
menanyakan keberadaanku. “Saya di tempat Haji Fauzi, di Cot Ketapang” kataku
singkat. “Nggak apa, biar kami ke situ aja,” kata Ebtadi seraya menjelaskan
bahwa ianya bersama Pak Nurdin akan meluncur ke tempat Haji Fauzi. Dalam waktu
kurang dari lima belas menit, Pak Bupati dan Ebtadi muncul dengan mengendarai
mobil dinas yang platnya ditukar hitam.
Setelah turun
dari mobil, Pak Nurdin mengomentari halaman rumah Haji Fauzi yang luas,
pohon-pohon mangga yang baru disiram di halaman itu, dan gelapnya malam. Aku
membuntuti gerakan Pak Nurdin untuk melayani berbagai komentarnya. Usai
mengelilingi halaman depan rumah, Bupati Nurdin berhenti seraya bersandar di
mobilnya. Beliau memperlihatkan SMS dari gubernur tentang perlu disegerakan
mutasi Sekda. “Nampaknya harus segera,” kata Pak Nurdin. Aku tidak membaca isi
SMS itu, hanya mengiyakan apa yang diceritakan Pak Nurdin kepadaku. Pembicaraan
itu juga didengar oleh Ismunandar dan Ebtadi yang berada dekat dengan kami. Sesekali
mereka ikut berkomentar juga.
Saat itu juga
Pak Bupati menelpon Bob Miswar, Kabag Kepegawaian untuk mempersiapkan
administrasi usulan Sekda atas nama diriku dan dua pendamping. Dengan cekatan
Bob Miswar beserta beberapa anak buahnya mempersiapkan bahan-bahan yang
diperlukan untuk penetapan Sekda Bireuen oleh Gubernur Aceh, malam itu juga. Semalaman
aku tidak bisa tidur mengenang aktivitas aktor yang mengharapkan agar aku
terkesan jelek di mata Pak Nurdin, sementara aku sendiri tidak menyenangkan
dalam jabatan itu, mengingat kondisi keuangan Bireuen yang devisit
berkelanjutan. Tentu mereka lebih paham terhadap tindakan yang mereka lakukan.
Ada sepenggal doa dalam hatiku, “semoga
mereka kembali menjadi Muslim yang layak sesuai tampilannya”. Tidak cukup
dengan doa itu, kutambahkan lagi, “semoga
tahun 2012, keuangan Bireuen bisa balance,” doaku dalam diam. (311211)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar