Detik-detik Bireuen Beroperasi
02052000 (catatan
awal perjalanan Bireuen)
Hmdani Raden, Bupati Bireuen Pertama |
Menurut cerita
sebagian orang tua-tua, sudah sejak lama Bireuen ingin dan layak menjadi
kabupaten yang mandiri. Terlepas dari ragam kisah itu, Bireuen sukses
dimekarkan menjadi kabupaten mandiri pada tahun
1999 yang disambut gembira berbagai kalangan di
sana. Betapa tidak, wilayah perwakilan pembantu Bupati bagian barat Kabupaten
Aceh Utara itu terlepas dari kebijakan pimpinan daerah yang kerap berubah-ubah.
Meskipun sikap berubah-ubah itu lebih dikarenakan kebutuhan politis, namun
tidak jarang mempengaruhi kebijakan pembangunan. Sebagai gambaran, mindset terbangun
kala itu, jika Bupati terpilih berasal dari wilayah barat (wilayah pembantu Bupati Bireuen), sekertaris
wilayah daerah (Sekwilda) diharuskan berasal dari wilayah timur (wilayah
pembantu Bupati Lhoksukon). Begitupula sebaliknya. Ketentuan tak tertulis ini
cukup merepotkan berbagai kalangan, karena rentan terhadap pembentukan
kelompok-kelompok, atau sindikasi dalam mendapatkan peluang usaha dari
pemerintah kabupaten. Tentunya kegembiraan yang dirasakan tidak lebih
dikarenakan memperoleh hak mengatur kebutuhan masyarakat sendiri.
Namun di balik itu
semua, terdapat hal penting untuk diperhatikan. Kabupaten induk, Aceh Utara, terlepas dari beban melayani masyarakat
hampir mencapai 40 persen. Jika sebelumnya Kabupaten Aceh Utara harus melayani
kurang lebih 1 juta penduduk, saat pemekaran Bireuen, tinggal melayani 600 ribu
penduduk saja. Begitupula dalam hal pelayanan infrastruktur,
khususnya jalan dan irigasi. Kondisi ini cukup membuat kabupaten induk
memperoleh peluang besar dalam mempercepat pembangunannya.
Nasib Bireuen,
akibat penerapan Undang-undang No 48/Tahun 1999, yang beroperasi awal tahun
2000 itu boleh dikata cukup memprihatinkan. Kabupaten muda ini harus berpuas
diri dengan anggaran belanja daerah sekitar di bawah 100 milyar
rupiah, dalam tahun pertama itu. Artinya, Bireuen memperoleh hak mengatur diri
sendiri yang menggembirakan, namun harus berpuas diri dengan anggaran minim.
Begitulah kisah senang-susah dari suatu pemekaran wilayah.
Hari ini Bireuen
telah mengatur dirinya sendiri, tidak ada yang mesti dirisaukan. Bahwa biaya
pembangunan, pelayanan, bukan hanya terukur dari besaran nilai nominal dalam
bentuk rupiah. Lebih berarti dari itu semua, kekuatan finansial yang berada
dalam usaha masyarakat, etos kerja, kebersamaan, dan lain sebagainya, dapat
dikerahkan menjadi modal pembangunan. Selamat bekerja Bireuen.
Hari
itu tanggal 5 Pebruari 2000, kondisi daerah masih tidak kondusif, masih sering
terjadi mogok transportasi antar kota kabupaten. Sementara, di Kota Bireuen
berlangsung upacara pelantikan para kepala instansi di lingkungan Pemerintah
Kabupaten, sebagai tuntutan pemekaran
kabupaten yang dipesankan UU No. 48/1999. Sebelum tanggal 5 Pebruari itu,
perangkat daerah yang baru dilantik adalah Penjabat Bupati dan Sekretaris Daerah, masing-masing Drs Hamdani
Raden dan Drs Hasan Basri Djalil. Di
tangan mereka berdua hari demi hari aktivitas kabupaten baru ini terlihat
menggeliat, termasuk penyusunan dan pelantikan perangkat daerah, meskipun
secara diam-diam. “………..saya bekerja mengetik surat saja harus berpindah-pindah,……….waktu
itu saya lebih sering menginap di Hotel Kuta Karang Baru Lhokseumawe,…………., dan
dengan dibantu beberapa teman saya menyusun struktur dinas, kantor dan
lembaga daerah Kabupaten
Bireuen………………..”, ungkap Sekda Hasan Basri mengenang.
Hasan Basri Djalil, Sekda Bireuen Pertama |
Selepas pelantikan
para kepala dinas, kantor, dan lembaga, semua pejabat serta hadirin sekalian
diundang Bupati untuk snack di
Pendopo. Dalam ramah tamah dengan para hadirin itu, Bupati berpidato sambil
berkelakar, “…………manusia diciptakan Tuhan
sebagai khalifah di muka bumi,……, oleh karenanya, kantor tolong diusahakan
sendiri,……….anggaran juga mohon diupayakan sendiri…………, kabupaten belum
memiliki anggaran,……….”, demikian Pak Bupati, dengan disambut gelak tawa
para hadirin yang mendengar. Kayaknya inilah kalimat operasional pertama yang
mengantar perangkat daerah untuk bergerak menjalankan roda organisasi secara
alamiah. Tak ada seorangpun yang membantah kalimat pengantar kerja itu, Pak
Hamdani menutup pertemuan itu, “……….minggu
depan kita bahas laporan masing-masing kepala dinas, kantor dan lembaga,………….,
siapa yang sudah memiliki kantor, di mana, dan siapa yang belum,………………”,
lanjutnya mengakhiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar