Pesan Jurnalis
Berwajah Buruk
Setelah aktif menulis strait news dan opini di
media cetak dan elektronik di tahun 2000-an, aku teringat kembali latihan
singkat jurnalis yang pernah kuikuti di kampus pada awal 80-an. Tepatnya di
tahun 1982, beberapa pengelola majalah kampus diberi pembekalan oleh pihak Senat
Mahasiswa Universitas Syiah Kuala. Masa itu, jaman maraknya Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) yang diusung
pemerintah pusat lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) di
bawah Menteri Daoed Joesoef. Para seniorku mensinyalir bahwa pembekalan itu
diadakan untuk membatasi pers kampus dari upaya provokasi berita yang dapat
merugikan kampus itu sendiri. Aku tidak begitu peduli dengan sinyalemen serupa
itu dan meresponnya positif saja sebagai ajang pembelajaran.
Aku mendampingi Bang Ed, nama aslinya Nazaruddin,
mewakili majalah “Kern,” media Fakultas Teknik Unsyiah yang terbit bulanan. Ada
juga pengelola majalah lain yang ikut pencerahan waktu itu, seperti “Peunawa”
media Fakultas Ekonomi yang juga dikenal di kalangan kampus, “Premordial” milik
Fakultas Pertanian, di samping dari fakultas lain yang aku lupa namanya.
Lumayan ramai juga peserta di ruang kuliah umum (KRU), tempat pembekalan
diselenggarakan, meskipun banyak tidak aku kenal selain Bang Barlian AW yang
hadir di situ.
Karikatur di Tabloid Narit, 2011 |
Waktu itu, aku kurang serius mengikuti pembekalan karena
aku merasa bukan pada posisi redaktur di “Kern,” melainkan staf ilustrator
meskipun tidak jarang aku berperan selaku editor terhadap naskah yang masuk. Hal
serupa itu lazim bagi kelangsungan majalah mahasiswa, mengingat pengetikan
dalam rangka penyiapan majalah jelang stensil, mesin cetak kala itu, boleh
dilakukan seluruh pengelola. Tentu yang punya waktu luang, konon lagi jika tim
majalah ‘Kern” ada mahasiswa yang bermata kuliah tidak penuh seharian.
Salah seorang pemateri, kayaknya dari Jakarta,
cukup simpati dan mampu menarik perhatianku karena beberapa ungkapannya tidak
pernah kudengar sebelumnya. “Jika anjing
menggigit orang itu bukan berita,” katanya. “Karena itu tugas anjing,” sambungnya lagi. Wajahnya serius meski
ruang pembekalan gemuruh oleh peserta.
“Kalau orang gigit anjing, itu baru berita. Karena menggigit anjing bukan tugas
orang,” ungkapnya dengan nada tinggi disambut gemuruh sorak yang semakin
membahana, ukurannya mahasiswa sedang kuliah keluar mencari tau.
Wajah dan potongan tubuh pemateri itu terbilang
jauh dari menarik. Kulit hitam mati dengan permukaan tidak rata akibat tumbuh
semacam bisul kecil tak bermata. Rambutnya keriting acak yang tidak patuh arah
penyisiran. Lubang hidung lumayan besar, namun tidak sama ukuran kiri dan kanan.
Bibir atas lebih tebal dari bibir bawahnya. Terpenting, ianya mengakui semua
kekurangan itu dan lugas ia sampaikan pada saat perkenalan. Ia mampu
membuktikan bahwa kecerdasan yang ditampilkannya saat memberi materi
meningkatkan daya simpati terhadapnya. Banyak pesan yang diingatkan kepada
kami, namun beberapa saja yang aku ingat.
“Jika di antara saudara-saudara sejak mengelola majalah kampus sering
meminta-minta, tetap saja saudara menjadi jurnalis peminta-minta,” katanya
disambut hening peserta. Aku acuhkan saja petuah itu karena dalam hatiku mana
mungkin aku berprofesi jurnalis kelak, dengan bayangan kamera megelantung di
dada. Lantas, “bukan karena potongan tak menarik, anda tidak menjadi cerdas,”
katanya lagi. Setelah panjang mengulas, terselip ungkapan yang sampai hari ini
kucermati, “pancaran nuraniah lah yang
akan menentukan anda cerdas selaku jurnalis, dialah pendukung simpati para
jurnalis,” lanjutnya serius.
Semua peserta terdiam mencermati isi materi yang
semakin mengasyikkan. “Itulah mental,”
katanya sedikit terbata. Suatu hal dipesankannya, “anggap saja tampilan kita minimal, namun mental kita yang
memaksimalkannya”. Jelang makan
siang pemateri yang juga jurnalis senior itu menutup presentasinya dengan, “jangan biarkan tampilan dan wajah buruk dikuasai
iktikat hati yang buruk pula”. Diakuinya, para jurnalis berwajah buruk
membentuk komunitas sesamanya. “Celakanya,
setelah terbentuk komunitas jurnalis berwajah buruk, diperkuat pula dengan
komunitas berhati buruk,” pungkasnya sambil mewanti-wanti agar para peserta
menjauhinya.
Sekarang aku memaknai kalimat dan pesan yang
disampaikan jurnalis buruk rupa itu. Dan aku temui kebenaran dari yang
disampaikan. Semakin hari semakin tersaksikan kisah-kisah yang kudengar
darinya. Namun dia semakin simpati dalam anganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar