Kliping Berita H Subarni, tabloid Modus, edisi 17 Juni 2007 |
H Subarni A Gani
Sosok ini kukagumi dan kuhormati karena satu alasan
di antara beberapa alasan lain, yakni anti korupsi. Aku mengenalnya sejak 1994
di stadion Cot Gapu, saat pertandingan sepak bola antara PSSB Bireuen dengan
Riau, kalau tidak salah. Kala itu Bireuen masih bahagian Kabupaten Aceh Utara. Aku
menonton bola kala itu atas ajakan Apatuk (alm) karena ianya bersikeras untuk
menyaksikan Andre, anaknya, menjadi bintang lapangan di masa itu. Di pintu
masuk yang berdesakan, Apatuk menarik lengan Bang Subar (panggilan akrab H
Subarni A Gani) dengan memperkenalkanku. “Neu keurja beu get, neu bantu ureueng
nyoe,” kata Bang Subar seketika. Aku mengangguk pelan seraya menjawab, “get
bang”. Pertemuan itu cukup mengesankan karena aku sudah lama mendengar nama
Bang Subar di seantero Aceh Utara seputar produksi udangnya yang banyak
diceritakan orang. Aku semakin tidak berani berhadapan dengan Bang Subar,
tatkala aku survei jalan kabupaten di kawasan Mon Klayu, Kecamatan Gandapura. Masyarakat
di tempat itu kerap menceritakan tentang bantuan Bang Subar bagi tambak-tambak
mereka.
Pada saat pembentukan panitia pemekaran kabupaten,
Bang Subar cukup aktif dan banyak membantu fasilitas tim. Setidaknya begitu
informasi yang aku terima dari beberapa rekan dekatnya. Dengan karakter yang
tegas, Bang Subar semakin populer di kalangan masyarakat Bireuen. Meskipun
demikian, belum sekalipun aku mendengar
pembicaraanya langsung.
Ketika pelantikan dinas dan lembaga daerah, Pebruari 2000, aku diajak
beberapa rekan untuk ngumpul di lantai dua warung kopi Bina Atakana. Di sana
aku bertemu dengan beberapa senior Bireuen untuk berbincang-bincang, termasuk
Bang Subar. Aku merasa sungkan kala itu dan tidak banyak komentar. Di tempat
itu aku pertama kali mendengar Bang Subar berbicara konsep. “Buat jalan dan
jembatan di pedalaman saja dulu,“ katanya. Pernyataannya itu cukup berbekas dan
memicu aku bersama bebeapa staf untuk membuka akses Krueng Meusaeugob ke Juli,
berikut beberapa jembatan besar di pedalaman.
Puncak kedekatanku dengan Bang Subar, tatkala
sebagian sejawat dan keluarganya mengusung aku sebagai calon Wakil Bupati
mendampinginya sebagai calon Bupati dalam Pemilukada 2007 silam lewat jalur
independen. Usia Bang Subar waktu itu 50 tahun, sedangkan aku 46 tahun. Dalam
prosesi pemilukada musim itu aku diberikan kamar untuk tinggal di rumahnya. Meskipun
gagal meraih suara terbanyak, hanya dalam posisi ke-dua, aku tetap meyakini bahwa
seluruh suara yang kami peroleh merupakan produk kharismanya. Banyak pemikiran
praktis yang aku peroleh dari diskusi bersamanya, khususnya pengelolaan
keuangan daerah berbasis efisiensi. Banyak hal baru yang aku dapati sejak
berdiskusi intens bersamanya, yang paling kuingat, melayani semua lapisan
masyarakat yang hendak menemuinya dan ketegaran prinsipnya.
Bireuen krisis tokoh yang sebenarnya tokoh
BalasHapuskrisis harus diproteksi dengan optimis, gitu Mirza.
Hapus