Bubble Planning
090806
Catatan ini aku tulis saat aku menjabat sebagai Kepala
Bappeda Bireuen, pada tanggal 9 Agustus 2006. Ide tulisan ini lebih kepada
mengevaluasi besarnya anggaran yang terserap untuk suatu perencanaan akibat
intervensi berbagai kalangan di luar Musrenbang.
Berbicara perencanaan
di level kabupaten, sering dikaitkan dengan institusi perencanaan kabupaten
yang biasa disebut dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
(BAPPEDA), suatu institusi yang berperan menghasilkan perencanaan umum dengan
berbagai alasan tujuan. Lembaga ini sering dijadikan alasan tentang maju
mundurnya pembangunan suatu daerah. Tak jarang pula media massa memberitakan tentang terjadinya
pembangunan tumpang tindih, tidak
bermanfaat, dan imej negatif lainnya yang pada dasarnya terpulang pada proses
perencanaan itu sendiri.
Kekeliruan mendasar dalam
proses perencanaan adalah terlalu besar memberi peluang kepada pertimbangan
interes tertentu untuk dijadikan parameter atau variabel perencanaan sehingga
usalan masyarakat melalui mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan
(Musrenbang) terabaikan. Tidak
mengherankan, jika pembahasan anggaran menyita waktu yang relatif lama dan
tidak jarang pemerintah atasan memberi warning atas keterlambatan pengesahkan
anggaran.
Pada akhirnya, kondisi seperti ini
mempersulit pengukuran tingkat kemajuan program
pembangunan
yang dicapai karena intervensi hal-hal non teknis cukup kuat
mempengaruhi waktu pembahasan yang jelas-jelas berdampak terhadap waktu
pelaksanaan kegiatan.
Jika ditelusuri lebih lanjut, proses sedemikian rupa tidak memberi jawaban terhadap
masalah apa yang ingin diselesaikan oleh perencanaan itu.
Bagi komunitas tertentu,
perencanaan berindikasi seperti kecenderungan di atas membangkitkan gairah untuk memberi judul
terhadap kondisi perencanaan itu. Mereka menyebutnya sebagai tindakan “bubble planning”, bolehlah meminjam
istilah ekonomi, “bubble economic”. Ungkapan bahasa Inggris ini
sebenarnya berarti perencanaan busa,
yang masih perlu diterjemahkan lagi ke dalam makna sesungguhnya. Untuk memudahkan pengertian dan tidak
memerlukan definisi panjang katakan
saja bubble
planning ini berarti perencanaan sia-sia, perencanaan yang hanya sebatas
perencanaan. Secara tidak langsung perencanaan sia-sia ini dapat mempengaruhi
pembangunan ekonomi alamiah yang menjadi salah satu sasaran perencanaan itu.
Seorang pegawai Bappeda salah
satu kabupaten di Aceh berujar, “……….di
kantor kami banyak sekali rencana tataruang,………..tapi saya sendiri tidak tahu
untuk apa rencana itu dibuat…………………paling-paling memenuhkan lemari
sajalah………………” .
Begitupula dengan kegiatan
pembangunan fisik di lapangan, sering terjadi seperti diungkapkan salah seorang pemuda desa di satu
kabupaten di Aceh, “………katanya jalan
ini direncanakan sampai dengan aspal, tapi sudah beberapa tahun tetap saja
jalan berbatu…………, kami sudah tanyakan kepada bapak pe-u katanya tahun depan
kita rencanakan kembali aspalnya………”. Keadaan ini menggambarkan betapa perencanaan
awal tidak dimanfaatkan sehingga mengharuskan dilakukan perencanaan berulang
yang berkonsekwensi memerlukan energi lain dalam pelaksanaannya sehingga perencanaan awalpun
menjadi sia-sia.
Dari beberapa kasus perencanaan
yang diamati, setidak-tidaknya ada beberapa hal yang mencirikan bubble planning ini antara lain,
- Tidak diketahui tujuan dari perencanaan itu;
- Kehadirannya secara tiba-tiba dan tidak terkait
dengan dokumen perencanaan lainnya;
- Tidak dapat diimplementasikan dan terbiarkan begitu
saja dengan berbagai alasan;
- Jika kegiatan perencanaan ini dapat dilakukan namun
tidak dapat dimanfaatkan;
- Tidak berkelanjutan;
- Dan lain-lain sebagainya.
Di sisi lain, perencanaan yang dilakukan setelah diketahui
besaran pagu anggaran cenderung akan menghasilkan kegiatan yang mengakomodir
keinginan, sementara perencanaan yang tidak diketahui besaran anggaran yang
akan terserap lebih mengarah kepada menjawab kebutuhan.
Tentunya ada paradigma berkembang di aspek perencanaan ini yang
dilakoni oleh aparatur perencanaan baik tingkat provinsi maupun kabupaten. Indikasi yang ada memperlihatkan telah
terjadi ketidak-adaan akuntabilitas dari aspek perencanaan ini sehingga sulit
diukur tingkat keberhasilan perencanaan itu sendiri serta
tingkat
kewajaran finansial yang dialokasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar