Tradisi
Meugang dan Imej Pejabat
Meugang di Batuphat, 24 Oktober 2012 |
Meugang merupakan tradisi yang berkembang puluhan
bahkan, menurut sebagian orang, telah ratusan tahun di Aceh. Tradisi ini
sebenarnya perkuatan terhadap kultur Islam yang telah menjadi bahagian syiar
dan telah ter-mindset dalam masyarakat
Aceh. Meugang dalam aplikasinya adalah mengkonsumsi daging pada hari
sebelum puasa, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha.
Di tahun 60-an hingga pertengahan tahun 70-an,
orang-orang di Aceh menyambut meugang dengan mengumpulkan dana untuk membeli
hewan seperti lembu, kerbau, kambing, ada juga biri-biri, disembelih
bersama-sama dan dibagikan kepada anggota pengumpul dana tadi. Tidak lupa pula
dibagikan kepada kolega yang kurang mampu, dengan tujuan agar pada hari itu
mereka bisa juga menikmati meugang. Kebiasaan itu merambah ke sekolah-sekolah,
instansi pemerintah, desa-desa, dan komunitas lain sebagainya. Di tahun 80-an,
tradisi ini masih tersisa, seperti di Fakultas Teknik Unsyiah tempat aku
kuliah. Para dosen dan pegawai mengumpulkan dana untuk memotong beberapa ekor
lembu di halaman laboratorium. Aku ikut membantu merebahkan lembu bersama
beberapa rekan, dan oleh karena keterlibatanku, aku juga diberikan daging
meugang satu tumpuk.
Di Kota Banda Aceh, tempat penyembelihan meugang
yang cukup terkenal di tahun-tahun itu adalah di Pinto Khop, yakni Taman Putro
Phang sekarang. Penyembelihan biasa dilakukan pada pukul tiga dini hari. Pagi
hari, sekira pukul sembilan daging meugang sudah di tumpuk-tumpuk menunggu para
anggota datang untuk mengambil haknya. Pemandangan
serupa itu hampir dapat disaksikan di seluruh tempat di Aceh.
Dalam perjalanannya, meugang yang telah mentradisi
itu berubah menjadi tempat penjualan daging. Di banyak tempat dapat disaksikan
lapak-lapak dipersiapkan untuk menjual daging. Harganya pun kadang kala
bervariasi antara satu tempat dengan yang lainnya. Tradisipun mulai bergeser
dari kebutuhan kebersamaan menyembelih hewan kepada perlunya dana untuk membeli
daging. Mindset orang-orang pun mulai berubah, dari langkah kerja penyembelihan
hewan secara bergotong-royong menjadi upaya mendapatkan uang untuk membeli daging
meugang.
Aku mulai merasakan pergeseran ini di saat menjadi
pegawai pada tahun 1990. Ketika itu aku mendapat jatah uang meugang dari kantor,
Dinas PU Aceh Utara, sebanyak lima puluh
ribu rupiah. Terparah pada tahun 1995,
saat aku telah setahun menjabat pemimpin proyek inpres peningkatan jalan
kabupaten. Banyak orang datang menagih uang meugang kepadaku, di samping
bawahanku sendiri. Pernah seorang wartawan marah-marah kepadaku karena uang meugang yang mampu kuberikan
hanya sebesar lima belas ribu saja. Dia memulangkan uang itu dengan menulis,
“serahkan saja ke panti asuhan”. Aku teruskan permintaannya dengan menyetor
uang tadi ke Panti Asuhan Muhammadiah Lhokseumawe, sementara kwitansinya kuserahkan
ke wartawan pemarah itu. Dia terdiam manakala aku menyampaikan bahwa, “abang
dapat pahala besar dari pemberian ini”.
Tahun selanjutnya, 1996, aku mulai mempersiapkan
diri dalam menghadapi tiga kali meugang di setiap tahunnya. Kegiatanku beberapa
minggu sebelum menghadapi hari itu, yakni memohon bantuan dari para rekanan
sekadarnya, menghitung honor, dan insentif, untuk memenuhi harapan orang-orang
yang pasti datang menemuiku. Pejabat atasan, baik yang di dinas maupun di
Kantor Bupati Aceh Utara waktu itu, juga tak luput dari catatanku untuk
mendapat jatah meugang. Tapi aku mulai heran tatkala sehari sebelum meugang
mereka telah duluan hengkang ke luar daerah. Mereka menghindar dari para tamu
yang mengharapkan uang meugang, namun, “mengapa aku sok-sok bertahan ?,” tanyaku
dalam hati.
Sejak menjadi pejabat di Bireuen, aku juga tidak
menghindar dari orang-orang yang meminta uang meugang dariku, meskipun jumlah
uang yang ku-amplopkan seadanya. Pernah ada yang memulangkan uang tersebut
setelah diketahuinya hanya cukup membeli setengah kilo daging, aku diam dan
sedikit tersinggung juga. Namun aku sikapi dengan menyerahkan uang itu kepada siapa
saja yang ada di dekatku, biasanya ada kelompok dhuafa tempat aku serahkan.
Hari ini, 18 Juli 2012 jelang puasa yang jatuh pada
21 Juli 2012, saat aku tidak lagi menjabat Sekda, ada beberapa SMS yang menagih
uang meugang kepadaku. Seakan mereka merasa ada kewajibanku untuk memenuhi
suasana hari meugangnya. Aku mencoba menelpon kerabatku kepala dinas, namun HP
mereka pada tutup semua, bahkan beberapa dari mereka di luar daerah. Tidaklah
salah kalau kita simpulkan bahwa para pejabat, khususnya kerabatku, telah
mengambil ancang-ancang untuk hengkang beberapa hari sebelum meugang. Tenyata
meugang telah menjadi hal yang merisaukan bagi sebagian pejabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar