Batu Makam Teungku Di Anjong dan Tun Sri Lanang
Batu Nisan Makam Tgk Di Anjong Banda Aceh |
Makam
atau pusara merupakan peninggalan dari manusia yang dikebumikan atau dikubur
pada tempat tertentu. Dalam keseharian, konotasi
makam lebih di arahkan kepada kuburan sosok berjasa seperti raja, ulama, dan
lain sebagainya. Dalam aspek sejarah, keberadaan makam cukup membantu informasi
keberadaan sosok tertentu guna dikaitkan dengan kiprah masa hidupnya.
Di Aceh
banyak terdapat makam bernisan batu berukir yang tidak memiliki identitas, khususnya
di kawasan Aceh Besar. Pada makam tertentu, identitas sosok yang terbaring di
pusara dapat dikenal setelah pihak pemerintah memasang pamplet nama yang
diketahui melalui penelitian atau kesinambungan informasi dari para ahli waris.
Oleh
karenanya, penelusuran makam yang dilakukan para ahli sejarah lebih dikarenakan
keterbatasan informasi oleh berbagai hambatan. Kewajaran ini tak serta merta dapat terbantahkan, di samping hambatan baca
tulis di kalangan masyarakat terdahulu, juga kepentingan sosial politik antar
zaman kerap memupuskan keberadaan sosok tertentu dalam catatan sejarah.
Pendekatan
makam yang dipilih untuk pembuktian keberadaan sosok di suatu daerah acap
menemui hambatan, tatkala makam tersebut tidak memiliki ciri-ciri khusus
seperti batu nisan beserta identitas lainnya. Lazimnya pada batu nisan makam
sosok terpandang di Aceh dilengkapi aksara yang menjelaskan perjalanan hidup
serta status sosok tersebut. Namun tidak jarang pula tanpa identitas, selain
keasrian bentuknya yang mencirikan derajat ketokohan pemilik pusasa di tengah
masyarakat.
Batu Nisan Makam Tun Sri Lanang Samalanga, Bireuen |
Batu
nisan yang diletakkan pada bahagian kepala dan kaki pusara beraneka ragam
bentuknya. Menurut sebagian sejarawan, bentuk nisan yang melengkapi pusara
masing-masing sosok sangat tergantung kepada tingkatan status sosial sosok
tersebut semasa hidupnya, dan tidak tertutup kemungkinan terhadap tingkatan
perkembangan seni ukir terbaik kala itu. Bahkan tidak pula jarang batu nisan
bagi raja tertentu didatangkan dari luar wilayah kerajaan, seperti pada makam
Ratu nahrisyah di Pasee yang berkuasa di abad ke-13. Marmer ukiran Persia yang
menghiasi makam Sulthanah Kerajaan Pasee tersebut cukup mengisyratkan betapa
agungnya pemimpin itu sehingga patut dihargai dengan nisan pilihan terbaik pada
zamannya.
Begitupula
dengan pusara Tun Sri Lanang di Samalanga, Kabupaten Bireuen. Batu nisan di
pusara Tun Sri Lanang ini tanpa aksara yang mencantumkan namanya. Hanya
kaligrafi pujian kepada Allah dan Rasulullah menghiasi makam tersebut, di
samping dilengkapi pula dengan motif ukiran tertentu.
Secara
fisik, nisan bagian kepala sama persis dengan nisan di bagian kaki. Kedua nisan
ini dihubungkan dengan batu penutup berukir pada bahagian badan. Terkesan dua
nisan dan batu penutup badan merupakan satu kesatuan dalam rancangannya.
Indikasi ini dapat dibenarkan melalui pengamatan jenis batu yang sama persis
pada makam Teungku (Tgk) Dianjong, Banda Aceh. Dengan demikian dapat dipastikan
bahwa nisan dan penutup makam ini didesain khusus dan siap dipasang pada makam
tertentu.
Kesamaan
batu yang digunakan pada kedua makam, yakni pada pusara Tgk Dianjong dan Tun
Sri Lanang, bukanlah tanpa alasan. Kecenderungan khalayak menterjemahkan bahwa
kedua sosok ini memiliki tingkatan sama di tengah masyarakat pada zamannya. Sejarah
mencatat bahwa kedua tokoh ini hadir ke Aceh pada abad ke-17. Meskipun
berjauhan tempat, kesamaan kedua batu makam tersebut menggiring pemikiran
banyak kalangan terhadap hubungan di antara mereka.
Dalam banyak ulasan sejarah Aceh, nama Tgk Dianjong kerap
diceritakan. Perlu kiranya mengulas tentang sosok ini meskipun sepintas. Pada
masa pemerintahan Iskandar Tsani (1637-1641) didatangkan seorang habib
kharismatis yang ditugaskan untuk membimbing dan mendidik masyarakat Aceh. Utusan
Syarief Mekkah ini bernama Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H/1680
M), selanjutnya bergelar Habib Tengku Chik Dianjong yang terkenal dan dihormati
Sultan beserta masyarakat Aceh umumnya. Bukti sejarah ini masih tersisa
berupa maqam ulama kharismatis itu di
Desa Peulanggahan, Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar