Mengapa Alumni Kita
Mahasiswa Teknik camping lintas angkatan dan jurusan 1983 |
Di tahun 2005, sebelum Rachmat hijrah ke Jakarta,
aku pernah berbincang kepadanya tentang kebersamaan pasca kuliah di teknik. Waktu
itu aku sering ketemu Rachmat di Mediatama Konsultan, milik Nazaruddin, atau
populernya Bang Edt, mahasiswa angkatan 1976. Di ruang meeting yang
representatif, aku sampai sore melihat Rachmat mendesain bangunan atas
permintaan Bang Edt. Tidak jarang kawan lain datang membawa kopi dan pisang
goreng ke tempat kami berkumpul, seperti Erick Kethang dan beberapa yanga lain.
Aku kagum kepada Bang Edt meski tidak ku-ungkap, karena dia banyak mengajak
kawan-kawanku bekerja di tempatnya. Dia kuakui
sebagai simbol mahasiswa Fakultas Teknik yang berani bertindak atas nama
kebenaran. Wajar aku pikir, konsultan Bang Edt bertahan dengan mamajemen yang
cukup baik. Selain itu, Bang Edt tidak
pernah enggan memberi data yang diperlukan kawan-kawan lain untuk keperluan perencanaan
yang tiada sangkut pautnya dengan Bang Edt. Pada hari pertemuan itu juga aku berkesimpulan
bahwa Bang Edt masih seperti tatkala berstatus mahsiswa dulu.
Selepas corat-coret kertas, Rachmat memulai membuka
diskusi kecil seputar keberadaan alumni. “Ada
yang pongah juga, dan ada yang aku minta tampar,” kata Rachmat seraya
menjelaskan kondisi tempat ia bekerja di Aceh Barat. Lalu Rachmat mengulas
panjang lebar tentang kondisi alumni yang seakan acuh tak acuh terhadap kondisi
kawan-kawan. Bang Edt diam saja sambil
senyum tanpa kata dan memang sosok Bang Edt tidak pernah memanaskan suasana. Namun
demikian, para mahasiswa di bawah lettingnya banyak yang segan bahkan takut
kepada Bang Edt, kecuali mahasiswa senior seperti Rachmat, mahasiswa angkatan
1977 .
Aku mencatat apa yang dikeluhkan Rachmat tentang
kondisi alumni saat itu dan kusimpan untuk kubuktikan apa yang disampaikannya
dulu. Meskipun apa yang diungkapkan Rachmat merupakan hal biasa di dalam lapangan
kerja. Lantas Rachmat memerintahkan aku mengingat apa yang disampaikannya, “bila perlu kau catat,” katanya keras
seperti biasa dia berbicara kepadaku. “Pertama,
berebut jabatan sesama alumni, kedua tidak tampil dalam suatu desain
engineering yang spektakuler,” katanya sambil mengatakan padaku,”coba tunjuk insinyur kita yang mana yang
muncul dalam desain monumental.” Sebab mereka selalu, “mengagungkan kemewahan tertentu,” katanya berapi-api. Dalam kaitan
dengan kampus, Rachmat lebih pesimis dan tidak terlalu banhyak berharap,
karena, “tidak terkemas dalam satu ikatan
yang pro produktivitas kampus dan tidak peduli almamater,” lanjutnya. “Sudah itu mana ada alumni kita yang komentar
tentang kondisi konstruksi,” sambungnya.
Aku menyimak tanpa bantah, memang aku tidak pernah
membantah Rachmat sejak di kampus dulu. Namun dalam hati aku berharap ada
ungkapan Rachmat yang mesti didiskusikan beberapa tahun mendatang. Bang Edt
yang sesekali keluar masuk ruang tempat kami bertemu mendengar saja ocehan
Rachmat juga tanpa bantah. Pemandangan serupa ini kerap aku saksikan tatkala
kami masih tergabung dalam Parte Buruh,
di mana Rachmat menghujat sosok tertentu Bang Edt mendinginkan bahkan memilih
diam. Nopember 2012, aku berjumpa Rachmat di Jakarta untuk mengajaknya berpameran
seni di Taman Sari, Banda Aceh. Dia diam dan berkomentar kecil,”ya jaman sudah berubah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar