terjemahan sastra
Yesterday
Kemarin
Cuaca Kota Barcelona cerah
hari itu. Hari Sabtu itu aku libur, tidak bekerja lembur seperti biasa memberi
kuliah di Special College Barcelona.
Pekerjaan tambahan itu aku jalani dengan senang hati, setidak-tidaknya untuk
mengulang kaji keahlianku di bidang landscape.
Namun sejak kemarin aku sudah rencanakan ke kota itu untuk bercengkerama dengan
cintaku, Sefney.
Pagi-pagi sekali kutelepon
Sefney tanya tentang kesehatannya, ”sehat Zel”, katanya. Aku senang bukan
kepalang. Mana lagi ia mencoba bercanda lewat telepon dengan ku. ”Ah Sef,
mestinya kau tidur bersamaku tadi malam”, kataku dalam hati.
Kuhidupkan mesin mobil
sendiri, santai. Lalu lintas hari itu tidak seramai hari biasanya. Memang
banyak anak muda yang bersepeda motor ugal-ugalan, mengganggu. Tapi tak mampu
memancing aku marah, tertutupi bayang-bayang Sefney tersenyum cerah. Kunikmati
perjalanan itu sambil bernyanyi-nyanyi kecil, lagu kesukaanku yang pernah
kunyanyikan untuk Sefney via telepon. Kata-kata Diana Rosse dalam nyanyian itu
sulit kulupakan, begitu juga Sefney. ”Karena kita tak mampu untuk selalu pergi
menjauh,” begitu terjemahan kalimat romantis dalam alunan nada
itu.
Perjalanan yang biasa
menghabiskan waktu sampai satu jam tak lagi terasa menjemukan. Penggalan kata dalam lagu Diana Rosse cukup menghibur hati dan menjanjikan
masa depan, setidak-setidaknya dalam anganku. Kusempatkan berhenti sebentar di
kota kecil yang berada di lintasan perjalanan ke Barcelona. Di situ aku
menikmati hidangan Starbuck, kopi
kegemaranku. Sekira dua jam aku tawa riang bersama beberapa kenalanku di tempat
itu.
Aku bergegas untuk
melanjutkan perjalananku ke Barcelona. Kutelpon
Sefney untuk ketahui posisinya. ”Aku di rumah saja Zel, buat laporan”, jelasnya
tentang posisi rumah yang dia maksud. Kutancap gas lebih dari sebelumya,
berharap dapat waktu banyak bersenda gurau bersama wanita tercinta itu. ”Ah,
biar kubeli beberapa buah-buahan kesenangannya”, bisik hatiku. Kuhentikan mobil
di depan sederetan super market di pinggir jalan. Tak lama aku di situ, mobil
kulajukan lagi. Bayangan wajah Sefney semakin jelas di pelupuk mataku seiring semakin pendek jarak tempuh ke kediaman
Sefney.
Tak berbilang jam, aku tiba
di gerbang kediaman wanita rupawan itu. Kuparkir mobilku agak jauh, agar tidak
mengganggu lalulintas yang lewat. Kupercepat langkahku agar aku lebih awal
melihat keceriaannya pagi menjelang siang itu. Dia cantik sekali dengan senyum
manja sembari mengadu kenikmatan suasana hati semalaman. Lama aku di tempat itu
tertawa riang bersamanya. Sesekali dia mencubitku, dan sesekali pula dia
mencuri menciumku dari belakang. ”Uhh”, aku terkejut, dia tertawa lebar, ”Aku
kangen sekali”, ungkapnya.
Siang itu kami makan siang
bersama berdampingan, ”Ini masakan beli semua”, katanya mengomentari hidangan
nikmat di meja. Aku melahapnya dengan tenang, nikmat ditambah jarinya yang
sesekali mencubit pahaku. Libidoku mulai terusik sesekali. Apalagi dia
memandangku dengan tatapan manja dan tajam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar