Mesjid Kuta Blang Samalanga Warisan Tradisi Melayu
Razuardi Ibrahim
Mesjid Kuta Blang, Samalanga, dibangun 1901, foto 2009 |
Kuta Blang merupakan desa kecil yang terletak di Kecamatan
Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh. Desa tersebut cukup bersahaja dengan persawahan
membentang luas. Di sana terdapat sebuah mesjid tua yang kerap melayani para
jamaah melakukan shalat setiap waktu. Meskipun kondisi mesjid itu cukup menanti
upaya perawatan berkelanjutan, namun terlihat cukup bersih terjaga. Tak ada
yang mampu mengungkap pasti cara mesjid itu dibangun. Begitupun, nilai
arsitektur yang tersisa pada bangunan tua itu dapat membantu pendekatan sedikit
informasi tentang sosoknya.
Mesjid merupakan simbol
keberadaan Islam di suatu tempat. Biasanya pada daerah atau kawasan tertentu
yang terdapat mesjid indah, asumsi sebagian orang mengarah kepada suatu
kesimpulan tentang besarnya perhatian pengambilan kebijakan daerah atau kawasan
itu terhadap perkembangan Islam. Pengambil kebijakan daerah lebih dapat
diartikan sebagai pimpinan daerah, seperti Camat, Bupati, dan Gubernur, pada
masa sekarang. Pada masa kerajaan, pengambil kebijakan daerah berada di tangan
Hulubalang dan Raja atau Sulthan.
Keasrian suatu mesjid
ditentukan oleh nilai arsitektural sosok bangunan tempat ibadah itu ditampilkan.
Sementara, sosok bangunan dalam tinjauan arsitektural dapat dicirikan dari
aspek langgam atau style, sebagai ungkapan selera mode pada masa tertentu. Selera
itu sendiri tidak terlepas dari suasana sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat
tertentu. Kesemua suasana tersebut dapat terikat oleh jalinan emosi kerjasama,
bahkan terkuat emosi premordialisme. Oleh karenanya, pada kawasan atau daerah
yang berjauhan sekalipun komunitas tertentu dapat memiliki selera sama.
Mesjid Syekh Abu Bakar, Johor, Malaysia, 2010 |
Kesulthanan Melayu banyak
meninggalkan situs, khususnya mesjid. Tidak jarang nama
mesjid-mesjid peninggalan tersebut ditabalkan sesuai dengan nama Sulthan atau
penguasa pada masa pembangunannya. Hal ini cukup membantu informasi sejarah
sehingga pengeliminasian gemilang seni budaya masa lalu dapat bertahan
sepanjang zaman.
Mesjid warisan kejayaan
Melayu memiliki ciri khas yang jarang disamai mesjid peninggalan lainnya. Konon
lagi di Aceh, kawasan yang pernah berjaya dengan mesjid beratap piramid
bersusun tiga, seperti yang tersisa di mesjid Indrapuri, Ulee Kareng, dan
pedalaman Aceh lainnya. Masa langgam mesjid seperti itu cukup gemilang sebelum
de-Bruin memperkenalkan langgam Taj Mahal di pertengahan abad ke-20 melalui
desain Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Sesuai dengan manfaatnya
sebagai tempat shalat berjamaah dan bermusyawarah, tata ruang mesjid tradisional
Aceh relatif sederhana yang terdiri dari ruang shalat berjamaah atau biasa
disebut liwan, dan tempat imam yang dikenal dengan sebutan mihrab. Mesjid tradisional Aceh biasanya setengah terbuka pada bahagian dinding
sebelah utara, selatan, dan timur. Kondisi ini bertujuan agar terjaminnya
sirkulasi udara di dalam mesjid. Namun seiring perkembangan zaman dan peningkatan
fungsi, mesjid yang direncanakan sering dikaitkan dengan aktivitas sosial dan
ekonomi masyarakat setempat sehingga kebutuhan ruang bertambah, seperti tempat
penyimpanan barang sejenis infaq, zakat, dan sadaqah.
Kecenderungan khalayak
mencirikan langgam mesjid dengan pedekatan model kubah. Hal ini
lebih dikarenakan kubah telah menjadi simbol tempat ibadah yang telah mendunia.
Meskipun demikian, tidak semua orang paham tentang perbedaan lengkung dari
model kubah yang mencirikan asal dari kubah itu sendiri. Oleh karenanya, perbedaan
langgam mesjid tradisional Aceh yang tidak berkubah sungguh dapat dibedakan dengan
mesjid berkubah.
Lengkung kubah yang
berkembang dalam tradisi Islam dapat dicirikan dalam beberapa bentuk atau
model, seperti lengkung Turki, Persia, Arab, Gujarat, Eropa, dan lain sebagainya. Lengkung Melayu memiliki
kekhususan tersendiri. Meskipun dari pandangan samping lengkung kubah Melayu
boleh saja menyerupai lengkung Turki, Persia, Arab, Gujarat, dan Eropa, namun
dari pandangan atas atau denah kubah, langgam Melayu bersegi-segi. Kondisi ini
menjadikan kubah Melayu mudah dikenal karena berbeda dengan kubah lainnya.
Mesjid Kuta Blang Samalanga
memiliki ciri kubah bersegi menyerupai mesjid-mesjid peninggalan kesulthanan
Melayu, baik yang terdapat di Indonesia maupun di Malaysia. Meskipun jumlah
segi tidak sama, tetapi dari bentuknya dapat disimpulkan bahwa kubah tersebut
berlanggam Melayu. Begitupula terhadap ornamen yang melengkapi kubah tersebut.
Referensi lain terhadap keberadaan mesjid Melayu di Indonesia yang memiliki
kubah bersegi yakni mesjid Azizi di Tanjung Pura dan mesjid Stabat di Sumatera
Utara yang dulunya merupakan wilayah Kesulthanan Deli. Persamaan jenis kubah
dapat diasumsikan tentang kesamaan selera dari pemimpin atau masyarakat yang
berinisiatif membangun mesjid. Sementara, kesamaan selera itu sendiri terbangun
dari kebiasaan atau tradisi yang dianggap telah mewakili model pada masa
tertentu yang dipelopori budaya tertentu melalui peranan komunikasi. Oleh
karenanya, kehadiran kubah Melayu di tengah masyarakat Aceh di Samalanga
bukanlah tanpa alasan. Selain petinggi masyarakat waktu itu telah terkolaborasi
dengan arsitektur Melayu, juga model kubah baru pada masa itu mampu menciptakan
kekaguman di kalangan masyarakat. Kontribusi pewaris Tun Sri Lanang dalam
memperkenalkan kubah Melayu tentu tak dapat dikesampingkan begitu saja, sebab
melakukan perubahan di tengah kebiasaan masyarakat bukanlah perkara mudah,
konon lagi perubahan yang diharapkan merupakan simbol ke-Islaman.
Pada puncak kubah dipajang
simbol bulan sabit dan bintang, simbol yang menyatakan nuansa ke-Islaman. Simbol ke-Islaman yang tersosialisasi
menyeluruh di negara Asia Tenggara tersebut merupakan warisan Kerajaan Islam
Utsmaniah, Turki. Bahkan
dunia mengakui simbol bulan sabit dan bintang tersebut merupakan milik
komunitas Muslim secara general. Tak ada bantahan untuk klaim tersebut,
meskipun negeri Arab yang berbasis Islam tidak menggunakan simbol seperti itu.
Tersirat, budaya Islam kontribusi Utsmaniah mampu bertahan lama di dunia,
menyusup ke berbagai adat istiadat, khususnya di negeri Melayu.
Lengkung kosen pintu dan
jendela mesjid Kuta Blang menyerupai beberapa mesjid Melayu di Johor Bahru , Malaysia . Lengkung setengah
lingkaran dengan jerjak pengaman yang khas pada mesjid itu jarang dijumpai pada
mesjid lain di Aceh. Indikasi ini lebih menguatkan informasi tentang arsitektur mesjid Kuta
Blang merupakan produk desain mesjid Melayu.
Begitupula dengan relief pada
sudut-sudut tertentu di mesjid itu, di samping dinding bangunan mesjid yang
tebal. Terkesan ada upaya dari perancang
mesjid Kuta Blang tersebut membangun keasrian dengan mengekspose kekokohannya
melalui pemenuhan relief pada elemen-elemen bangunan. Sekilas tersirat ada
kemiripan antara mesjid Sulthan Abu Bakar, Johor Bahru, dengan mesjid Kuta
Blang, meskipun dalam uk uran
berbeda. Mesjid Sulthan Abu Bakar jauh lebih luas dan memiliki menara. Kesamaannya yakni nkedua mesjid tersebut
merupakan mesjid tertutup yang dimasuki melalui beberapa pintu.
Informasi masyarakat
setempat, mesjid Kuta Blang diselesaikan pada tahun 1901 M. Halamannya cukup
luas, terkesan cukup proporsional dengan luasan pertapakan mesjid. Lokasinyapun hanya berjarak sekitar 200 meter dari istana Tun Sri Lanang
yang terletak di bahagian barat mesjid. Kebiasaan sulthan atau raja Melayu
membangun mesjid berdekatan dengan istana kediamannya. Tradisi seperti ini
masih dapat disaksikan pada situs mesjid raya Medan yang letaknya berdekatan dengan istana Maimun,
Sulthan Deli yang kesohor itu. Alasan ini memperkuat informasi pewaris Tun Sri
Lanang, Pocut Haslinda, bahwa sebelum mesjid Kuta Blang dibangun, lokasi
tersebut telah difungsikan sebagai tempat Tun Sri Lanang mengajarkan agama
Islam bagi masyarakat sekitar.
Jika dilakukan rekonstruksi terhadap tata letak bangunan istana dan mesjid, dapat
dipahami desain kawasan yang diharapkan mengarah kepada pencitraan kawasan
melalui sosok mesjid Kuta Blang. Gambaran citra merupakan penghayatan atau daya tangkap
arti bagi seseorang terhadap suatu kesan yang mempunyai objek terlihat. Citra atau
image mesjid pada umumnya lebih
dominan menggambarkan kesan spiritual anggun, tenang, dan megah, serta suci
sekaligus memasyarakat atau akrab.
Nilai arsitektur yang
membangun citra terhadap mesjid Kuta Blang Samalanga ini pada hakikatnya mampu berintegrasi dengan
kondisi sosial budaya setempat sehingga nilai estetikanya yang menyajikan
langgam (style) Melayu mampu bertahan
ratusan tahun tanpa intervensi budaya
lain.
Hal ini membuktikan bahwa
masyarakat Kabupaten Bireuen, khususnya masyarakat Samalanga memberi andil besar dalam merangkai penerusan
kebudayaan dunia dari budaya masa kerajaan Aceh terdahulu hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar