Pengenalan Not Balok
di Aceh
Diceritakan Muhammad Hasan Usman, pria kelahiran
Banda Aceh, 1930, bahwa permainan musik
dengan menggunakan alat petik dan gesek di Aceh mulai dikenal luas oleh
masyarakat pada awal tahun 1950-an. Sosok pelopor musik ini, yakni Max
Sapulette, seorang pemuda Ambon yang menetap di Koetaradja (nama Banda Aceh
dulu), mengikut orang tuanya yang bekerja di Djawatan Kereta Api sejak sebelum
Republik Indonesia merdeka. Max merupakan pemuda yang cukup dikenal di Koetaradja
berkat keterampilannya memainkan berbagai alat musik dan menulis not balok, di
samping pergaulannya sesama seniman yang supel. Banyak pemuda Aceh berbakat
yang diajarinya untuk memainkan alat musik dengan baik, termasuk Muhammad Hasan
yang akhirnya direkrut Kodam I Iskandar Muda menjadi pemusik. Sebagai peniup
saxsophone di Satuan Sikdam, Hasan banyak belajar dari Max, khususnya membaca
notasi.
Muhammad Hasan Usman, 2013 |
Pada masa itu, kemampuan para komponis Aceh hanya
sebatas membuat notasai angka yang juga dapat dihitung dengan jari, “seperti Anzib Lamnyong, T Johan, dan
beberapa yang lain,” kata Hasan Usman. Menurutnya, pada masa sebelum
kemerdekaan dalam bermain musik, mereka berkumpul di kampung tertentu yang ada
pemusiknya, salah satunya di Kampung Ateuk, Banda Aceh. “Jika
ada nada atau irama baru, mereka menyanyikan di hadapan Max, untuk dibuatkan
not baloknya,” kata Hasan. “Setelah
itu kami nyanyikan bersama-sama melodi baru itu, seperti lagu Ta Ek U Glee,” jelasnya
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar