Sosok Solider Anto Kribo
Anto Kribo, 1983 |
Namanya
Suryanto, mahasiswa teknik sipil angkatan 1979. Dia merantau kuliah di Unsyiah,
“tanpa bekal yang cukup,” katanya
suatu ketika kepadaku di tahun 1984. Di saat itu aku diajaknya ke desa
tempatnya ber-kuliah kerja nyata (KKN) di kawasan Aceh Besar. Tentu dengan
tujuan membantunya membuat papan pengumuman desa, peta, nama jalan, dan
beberapa tugas seni lainnya. Aku kerap diboncengnya dengan sepeda motor
bermerek Honda Kijang, produk tahun
1960-an yang kondisinya kalau dilihat hanya
tinggal rangka, mesin dan roda saja. Anto sering bercerita kepadaku tentang
masa lalunya di bidang pendidikan. Aku sendiri banyak diajarnya dalam konsep
mata pelajaran tertentu seperti, beton, kayu, dan beberapa yang lain. Karena rambutnya
keriting total dia dikenal sebagai sosok Anto Kribo dan semua mahasiswa di
tahun itu mengenalnya. Wajahnya berkumis tebal dilengkapi jenggot yang tidak
teratur. Kelebihan Anto yang kulihat di antara kawan-kawan, dia pantang
membantah tatkala diajak berkegiatan, khususnya camping. Pernah suatu kali di saat aku menemani Anto membuat caption, bahan presentasi sarjananya, dia
malu tidak bisa mengajak aku makan siang, namun tidak diucapkannya. Tetapi
karena ada pesta perkawinan di komplek kampus utara, lapar kami tertangani
siang itu. Aku dan Anto bersikap layaknya undangan lainnya walau tampilan
kurang mendukung. Aku mengajak Anto bersikap ramah kepada tamu lainnya dan
sedikit menyapa. “Jangan panjang-panjang
kita cerita To, nanti banyak salah,” kataku di barisan antri menuju piring
makan. Tapi orang-orang bergaun serba batik itu, kurang respon juga tanpa kami
ketahui alasannya. “Tidak apa-apa To,”
bisikku,”mungkin aroma kita yang beda,” lanjutku
seraya menjelaskan udara sekitar kami cenderung ber-aroma tupai tersengat
matahari. Tiba giliran kami di wadah nasi putih, tak sulit diduga, kami
membumbungkan nasi di piring ceper yang bertuliskan Sango. Selanjutnya, berbagai lauk lezat mengelilingi kedua piring
kami, seperti para ibu-ibu sedang mengikuti lomba masak antar kecamatan. Kami memilih
duduk di sudut tenda yang rada sepi dari para tamu ber-minyak wangi. Tidak lama
kami menyelesaikan tugas itu, kedua piring kami hanya bersisa duri ikan yang
tajam. Anto menyodorkan sebatang rokok JI
Sam Soe yang memang kami sepakati untuk penampilan usai makan kenduri. Beberapa
tamu di sebelah mulai ramah menanyakan hubungan kami dengan mempelai atau
keluarga. Aku menyela, “pengantin pria
sepupu saya,” seraya disambut angguk-angguk oleh beberapa yang mendengar. Sekira
beberapa menit kemudian, kami beranjak lagi ke kampus. Anto juga simbol
mahasiswa yang selalu “oke,” dalam
berbagai kegiatan kampus dan tidak pernah mengeluh selain protes kecil. Aku mendengar
istilah Parte Buruh pertama kali dari
Anto, kalau tidak salah di tahun 1984 itu juga. Banyak lagi cerita lain antara
aku dan Anto yang hanya teringat dalam penggalan singkat saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar