Pekerja Dian Nadir
DIAN NADIR, 1983 |
Aku mengenal rapat sosok ini pada tahun 1983,
melalui kerjasama di luar kampus, mencari uang. Dalam setiap pekerjaan pemborongan
yang diperoleh Rachmat, Dian Nadir atau kami biasa menyebutnya Boenk, selalu ikut
serta. Keterlibatan Boenk sangat diperlukan karena dia memiliki keterampilan
pertukangan yang lebih dari kami semua. Aku mengetahui cara memasang bouwplank untuk bangunan melalui
pengarahannya. Boenk merupakan sosok paling senior di antara tim kerja kami,
yakni berasal dari angkatan 1973. Kami pernah bersama membuat taman dengan
ekspose batu artifisial di rumah dokter Burhanuddin di Lamdingin, Banda Aceh.
Tim yang dipimpin Rachmat itu terdiri dari, aku, Boenk, Maimun Bewok, Munizar,
Alel dan Sindo. Dalam bekerja Boenk lebih disiplin dari kami semua,”kalau kerja ya kerja, kalau maen-maen ya
maen-maen,” katanya setiap kali bekerja. Tatkala Parte Buruh membangun pintu gerbang Ujong Batee, aku dan Boenk
bekerja membuat rangka atap di rumah Alel di jalan Dharma, Banda Aceh. Kami mengukur,
menyetel, menggergaji dan memaku rangka atap itu berdua sambil menunggu
jemputan pengangkut dari kawan-kawan yang ramai berkumpul di Ujong Batee. Karena
kami berkerja berdua saja, jika Boenk jengkel karena kami lelah berdua saja,
tidak jarang kemarahan ditimpakannya kepadaku. Aku menuruti saja apa yang
diucapkannya seraya memperhatikan cara kerja Boenk yang belum pernah aku lihat.
Meskipun Boenk rada suka komplain kepada Rachmat, namun setiap pekerjaan yang
dibebankan kepadanya dijamin tuntas.
Aku teringat tatkala kami mengerjakan arena MTQ 19
di Lampineung, Banda Aceh, Boenk senang sekali mengusik kami tidur di lapangan
itu. Di suatu malam Maimun Bewok tidur di tribune bertangga stadion Lampineung,
Boenk dan Munizar datang mengikat celana Maimun dengan tali plastik, sementara
pada ujung lainnya diikatkannya dengan kaleng cet bekas yang diisi tanah. Lantas
kaleng tadi digelindingkan ke bawah dan celana Maimun tertarik hingga
membangunkannya. Boenk dan Munizar sembunyi di kolong panggung tanpa suara
menyaksikan Maimun jengkel sendirian. Aku ditanyai oleh Maimun,”kue ikat sek ya,” spontan aku menjawab
tidak. Maimun rebahan lagi sambil menerawang, pura-pura tidur. Boenk dan Nizar
keluar lagi untuk menjalankan aksinya, mengikat celana Maimun. Kali ini Maimun
bangkit dan marah berat, seraya beranjak pulang ke rumah tanpa mau mendengar
cegahan dari kawan-kawan lain. Dia berjalan kaki sendirian pada pukul 03.00 WIB
pagi itu menuju pintu gerbang, diikuti Hanan Fahrizal dari belakang dengan GL
pro, untuk di antar pulang. Maimun berkeras jalan kaki sendiri saja dengan
wajah merengut tanpa menggubris ajakan Hanan. Jelang pintu gerbang stadion,
Maimun dikejar beberapa anjing penduduk yang biasa mangkal di situ. Tidak lama
kemudian, kami mendengar suara balapan GL pro Hanan melaju kencang ke arah
panggung MTQ. Kemarahan Maimun beralih ke anjing penduduk dan kami bersama-sama
mengusir anjing-anjing itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar