Rabu, 10 Juli 2013

KETIKA PNS TIDAK DIMINATI

Ketika Pegawai Negeri Tidak Diminati 
 
Razuardi Ibrahim, memimpin
sidang sarjana di FT- UNIMUS
30 Juni 2013
Sepanjang sejarah yang aku ingat, Aceh pernah mendapat kucuran rahmat dalam bentuk finansial yang luar biasa. Orang-orang tidak berminat menjadi pegawai negeri yang bergaji kecil. Masa itu dalam rentang waktu 1970-an hingga 1980-an. Di awal 1970, orang-orang banyak mendapatkan uang dari aktivitas dagang di pelabuhan bebas Free Port Sabang. Kawan-kawan sebayaku waktu itu telah bekerja di Pelabuhan Uleelheu, untuk membawa barang ke pasar jengek di Jalan Ponegoro Banda Aceh. Mereka sudah mengenakan pakaian mewah seperti jam tangan, kemeja, celana dan lain sebagainya. Banyak orang-orang luar daerah yang mecari uang di ibukota Provinsi Aceh kala itu dengan status Jenggo Ekonomi (Jengek). Namun jelang tahun 1980, status pelabuhan bebas tidak diberlakukan lagi, pupuslah pusaran uang dari sektor ini.

Dalam dekade itu juga, harga cengkeh melambung tinggi. Orang-orang di pesisir barat Aceh mendapat uang yang banyak dari suatu pusaran. Kawan-kawanku asal Lhoknga, Lam lhom, Leupung dan kawasan sekitar lainnya terlihat cukup mewah dalam ukuran fasilitas sehari-hari. Sepeda motor yang relatif langka pada tahun 1978, sudah menjadi barang biasa bagi mereka. Belum lagi pakaian mewah lainnya. Aku sendiri pernah memetik cengkeh di kebun kawanku, di kawasan Lamlhom Aceh Besar dengan upah fifty-fifty. Artinya, jika aku memetik sebanyak 2 kg, upahku 1 kg dan 1 kg lagi untuk yang punya kebun. Harga cengkeh kering per-kg waktu itu mencapai Rp. 20.000,-, sementara harga sepeda motor bermerk Honda, jenis bebek hanya Rp. 475.000,- saja. Kawan-kawan dari Sinabang juga tidak ketinggalan, produksi cengkeh dan harga yang cukup melambung di daerah itu menjadikan mereka banyak bersekolah di Banda Aceh. Namun pusaran itu redup di awal tahun 1980-an.  
Suasana sidang sarjana FT-Unimus
Tidak pula ketinggalan di pesisir timur dan utara Aceh. Pada masa itu, tepatnya 1975, penerimaan karyawan besar-besaran untuk membangun kilang gas Arun. Perusahan pembangun kilang gas terkenal waktu itu adalah Bechtel International,  banyak mendidik putra-putri Aceh dalam bekerja di pabrik. Orang luar daerah-pun tidak ketinggalan untuk mengadu nasib di Lhokseumawe, ibukota Aceh Utara tempat perusahaan besar itu berdomisili. Hampir tak ada minat para sarjana menjadi pegawai negeri sipil pada masa itu, karena gaji di beberapa perusahaan lebih menjanjikan kesejahteraan yang luar biasa. Kesejahteraan ini juga pupus hingga saat ini dan sejak awal tahun 2000-an mulai redup.


Jika dikaitkan dengan keadilan Tuhan yang Maha Pemberi rejeki, dapatlah disimpulkan bahwa tanah kita pernah digilir sebagai pusaran uang. Boleh jadi pada dekade yang aku ingat merupakan giliran yang ke-sekian kalinya. Namun persoalan yang mesti dicermati bersama adalah masa pusaran uang itu tidak dapat bertahan lama. Dampaknya, pada tahun 2000-an para sarjana berbondong-bondong menjadi tenaga honor bahkan bakti pada instansi pemerintah yang belum jelas status pengangkatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar