Selasa, 30 Juli 2013

POLITIK BALAS DENDAM

Politik Dendam Tak Kunjung Usai

Aku teringat pada tahun 2007, usai Pilkada yang berhasil mengusung pasangan Tgk Nurdin Abdul Rahman dan Tgk Busmadar Ismail menjadi Bupati dan Wakil Bupati Bireuen, begitu pedulinya para pendukung sehingga tidak mudah ditemui karena penjagaan yang ketat. Ketika itu aku mendapat julukan ‘lawan politik’ karena aku mendampingi H Subarni A Gani (aku memanggilnya Bang Subar) dalam pemilukada musim itu. Isu lawan politik yang tentunya akibat kami menjadi kompetitor dalam pemilukada, ternyata tidak pupus usai menangnya pasangan Nurdin-Busmadar. Beberapa pejabat Bireuen asyik menginventarisir sejumlah nama aparatur untuk dilantik menjadi pejabat struktural dalam kabinet baru. Bagi aparatur yang dianggap tidak mendukung harus diistirahatkan atau dipindahkan ke tempat yang dianggap tidak menyenangkan bagi aparatur yang bersangkutan. Strategi yang diusung kelompok aparatur kala itu yakni penyelamatan pembelanjaan daerah sehingga gerakan awal yang dilakukan adalah pelaksanaan mutasi salah seorang kepala bagian di Sekretariat Kabupaten Bireuen keesokan harinya setelah Pelantikan Bupati dan Wakil pada 25 Juli 2007.
Razuardi Ibrahim dan Nurdin Abdul Rahman
dalam kerja ektra di Bireuen, 2008
Penyusunan kabinet terus berlangsung menunggu waktu yang tepat setelah orang-orang yang dirasakan cocok disetujui para elite tim sukses. Sebagian pejabat yang sibuk waktu itu melihatku tanpa sapa layaknya hari-hari kemarin. Seakan aku merupakan musuh politik yang harus dimarjinalkan. Aku tetap menikmati suasana hiruk pikuk mereka untuk sebuah pembelajaran dan selalu mengingat pesan H Subarni agar aku tetap saja di Bireuen sesuai permintaan masyarakat pendukung kami saat pembubaran tim sukses.

Suatu sore, sekira dua minggu setelah pelantikan bupati dan wakil, aku ditelepon Bang Subar untuk menemui Bupati Nurdin di Meuligoe nanti malam. Malam itu juga aku datang ke Meuligoe diantar sopir setiaku, Amran (Habib). Aku belum diperkenankan masuk, untuk sementara duduk di lokasi penantian bawah payung halaman dalam Meuligoe. Tim pengamanan Meuligoe,  asal timses Nurdin-Busmadar yang tidak mengenalku atau yang menganggap aku lawan politik hanya memandang dengan sudut mata tajam. “Saya disuruh datang Tgk Bupati,” kataku sebelum ditanya. “Tunggu sebentar,” kata pemuda bertopi di situ. Para pejabatpun banyak terlihat di sana, juga tanpa senyum. Ada yang mondar-mandir menenteng map, ada yang menunjuk-nunjuk pintu gerbang, isyarat penjagaan harus diperketat, dan aktivitas lain yang mencerminkan situasi tak boleh diganggu.
Sekira lima belas menit aku di bawah payung itu, muncul sosok muda berkacamata menghampiriku dengan ramah. Aku samar-samar pernah lihat pemuda ini, namun tidak tahu pasti namanya. “Mau jumpa teungku Bupati ?,” tanyanya bersahabat. “Iya, tadi ditelepon,” kataku singkat. Bergegas anak muda itu naik ke Meuligoe menemui Bupati. Sambil menunggu, aku tanyakan kepada beberapa orang yang duduk di situ tentang nama anak muda itu. “Anwar Ebtadi,” jawab seseorang dari mereka acuh tak acuh. Aku maklum juga seraya berfikir mereka tak boleh diganggu karena sedang mengadakan penjagaan ketat. Namun dalam benakku tertanam ekspresi penyambutan ramah Ebtadi yang kala itu aktif membenahi situasi Meuligoe.

Sejenak Ebtadi turun dari Meuligoe, “sudah boleh naik pak,” katanya seraya mempersilahkanku beranjak ke rumah panggung itu. Aku permisi kepada beberapa orang di bangku bawah payung (gazebo), sementara jawaban mereka tak terdengar olehku, kecuali desah dan bisik-bisik sesamanya. Saat di pintu masuk aku memberi salam diikuti Ebtadi dari belakang. Bupati Nurdin duduk di sofa panjang dikelilingi banyak orang. Beliau menyambut salamku dengan ramah dan mempersilahkanku duduk di sampingnya, di sofa panjang itu juga. Aku menuruti kehendaknya seraya disaksikan orang sekeliling Pak Nurdin yang baru jadi bupati itu. “Apa kabar Pak Subar,” kalimat awal yang ditanyakan kepadaku. “Baik pak,” kataku ringkas. Lantas beliau memperkenalkanku kepada orang-orang di tempat itu. Orang-orang termasuk pejabat yang ada di situ mencoba merubah mimik, berupaya bersikap ramah kepadaku.


Tidak lama aku di situ, kurang lebih tiga puluh menit. Aku permisi untuk pulang, Pak Nurdin mempersilahkan juga seraya berpesan, “mohon bantu pak Raju ya, apa-apa yang bisa dibantu”. Sambil beranjak aku menyahut pelan, “iya pak”. Pejabat yang ada di situ berdiri serentak menyalamiku, petanda mereka sudah ramah. Ekspresi dendam politik yang mereka lakonkan seketika berubah menjadi ekspresi mohon bantu. Upaya politik balas dendam gagal diusung para timses, karena sosok Bupati Nurdin tidak mewacanakan prilaku itu diberlakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar