Kamis, 18 Juli 2013

MASA ADAPTASI BUPATI

Masa Adaptasi Bupati

Razuardi Ibrahim, 18 Juli 2013
Jakarta
Aku memahami dan peduli tentang prosesi pemilihan kepada daerah (pilkada atau pemilukada) belum terlalu lama. Hanya karena terkait dengan keberadaanku sebagai aparatur dan juga penah sebagai peserta pemilihan dimaksud. Di abad ke-20, aku saksikan dua kali masa pemilihan kepala daerah, yakni pada tahun 1993 dan 1998  ketika aku masih bekerja di Aceh Utara. Sedangkan di abad ke-21, yakni pada 2002, 2007 dan 2012 saat aku bekerja di Bireuen. Dalam sebutan abad, seakan pengamatan peristiwa tentang hal ini kualami dalam bilangan ratus tahun-an. Tentu tidak demikian, karena aku memang terlahir di paruh akhir abad ke-20, tahun 1961. Namun masa itu bukan soal, sebatas intermezo tentang  suatu gejala sosial, yakni kecenderungan hasrat orang-orang mengusung sosok calon bupati tertentu pada masa itu.

Ada perbedaan mendasar dalam pelaksanaan pemilihan dari beberapa tahun yang aku cermati. Pada tahun 1993, 1998 dan 2002, pemilihan kepala daerah dilakukan lewat suara anggota legislatif atau DPRD (K). Sedangkan pada tahun 2007 dan 2012, penentuan kepala daerah lewat suara rakyat. Perbedaan dari kedua kondisi ini yakni hadirnya kelompok berjasa berbeda terhadap pemenangan bupati terpilih. Pada tiga tahun pertama yang aku amati, kecenderungan kelompok orang berjasa utama mutlak dari anggota lagislatif. Pada 2 tahun terakhir, 2007 dan 2012 kelompok berjasa berasal dari unsur masyarakat, sebagai konsekwensi pemilukada langsung, yang biasa juga disebut dengan tim sukses atau timses.  

Dalam dunia perpolitikan kehadiran kelompok kerja, berjuluk timses ini merupakan suatu kewajaran bahkan suatu keharusan. Namun suatu pemandangan kelaziman, euforia kesuksesan menggiring psikis kebanyakan orang berjasa menjadi sosok-sosok pahlawan yang mesti diperhatikan oleh bupati terpilih secara berkelanjutan. Tidak cukup sekadar perhatian, pendapat dan saran para timses inipun seakan wajib menjadi bahan pertimbangan bupati. Tatkala bupati terpilih mulai risih dan mengabaikan ragam intervensi kebijakan dari para pendukung intinya, kondisi hubungan mulai terganggu.   

Dalam mencermati keadaan ini, aku mengingat kembali suasana pertama kali aku mengenal dunia suksesi walau kala itu aku kurang respek dan tidak merasa berkepentingan. Di tahun 1993, aku melihat beberapa anggota legislatif dan tokoh sering menemui Bupati Karimuddin Hasybullah setelah pelantikannya selaku Bupati Aceh Utara waktu itu. Kedatangan mereka silih berganti antara satu kelompok dengan yang lainnya. Biasanya mereka masuk ke ruang kerja bupati, baik di kantor maupun di pendopo tanpa harus menunggu lama. Menurut bisikan beberapa kawan di pendopo, ada keistimewaan bagi mereka karena jasanya memenangkan bupati. Tapi beberapa bulan kemudian mereka sudah mulai jarang berkunjung hingga akhirnya tidak pernah kelihatan lagi.

Setelah mengalami lima kali masa pemilihan bupati, tidak berlebihan jika aku coba mengungkap tentang masa hubungan mesra bupati terpilih dengan para pendukung dekatnya. Informasi ini boleh jadi penting bagi para pihak tertentu, khususnya bagi sosok-sosok yang cinta damai dan yang berkehendak memperbaiki keadaan. Bulan pertama hingga ke tiga suasana masih berwujud ekspresi kegembiraan dampak kemenangan. Selanjutnya, pada bulan ke-empat hingga ke-enam, kelompok berjasa mulai pecah dan membentuk kelompok-kelompok kecil untuk mengintervensi kepentingannya masing-masing. Pada fase ini mulai terjadi kompetisi antar kelompok dalam menggapai perhatian bupati. Di bulan ke-tujuh, sosok bupati mulai diperbincangkan baik dari aspek positif, terlebih lagi dalam aspek negatif yang lebih mendominir. Aku cermati, biasanya pada bulan ke-tujuh inilah bupati terkesan banyak masalah dan kurang bergairah karena merasa mulai ditinggalkan para pendukungnya. Pada bulan ke-tujuh hingga akhir tahun pertama kepemimpinannya, ketangguhan bupati dari aspek psikis benar-benar diuji. Jika ianya tegar dan bangkit sesuai karakter pribadinya maka tampillah ia dengan konsep kepemimpinan yang dicita-citakannya. Tatkala dalam proses adaptasi, ianya gagal menjadi dirinya sendiri maka perjalanan kepemimpinannya rentan pengaruh dan cenderung dijalankan dengan keragu-raguan. Meskipun begitu, biasanya dalam tahun-tahun berikutnya, pencarian jati diri tetap saja terjadi. Persoalannya, jika bupati itu menemukan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan ragam janji kampanye pada satu tahun terakhir maka dapat ditebak ekspresi seperti apa yang bakal dikumandangkan para timses di hadapan rakyat pendengar kampanye-nya empat tahun silam.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar