Sabtu, 05 Januari 2013

KETIKA WANITA DI BALI


Fenomena Wanita di Pantai Kute
Catatan Razuardi di Pantai Kute, 280710

Negosiasi untuk foto dengan bule berjemur, Pantai Kute 2010

Dalam suatu kunjungan luar daerah Tim Rumah Sakit Umum Bireuen, mendampingi tim DPRK Bireuen ke Bali, banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk wisata. Rekan-rekan banyak yang berkeinginan mengunjungi pantai, khususnya Pantai Kute yang kesohor itu. Aku menuruti saja kehendak dominan dari para rekan, namun tidak begitu antusias. Karena banyak informasi yang menceritakan tentang kebebasan orang-orang mempertontonkan tubuh telanjang, khususnya bule.

Sejenak aku duduk santai menikmati rayuan perempuan tua penjaja kain khas bali di bawah bayangan pohon ketapang yang rindang. Angin lumayan sejuk berhembus sekira pukul sepuluh pagi,  pada 28 Juli 2010. Cukup menyenangkan pantai itu, ditandai cengkerama banyak pasangan di sana.

Semakin siang semakin banyak saja pengunjung ke situ, dengan ragam kendaraan. Suatu kendaraan sempat menyita perhatianku, bus pariwisata yang disesaki para wanita paruh baya dari daerah tertentu. Mereka berjilbab, menutup aurat mencirikan asal komunitas itu, muslimah. Dari dialog, debat, diskusi, saat melintas samar  kudengar tujuan dan basis kelompok wanita tersebut.

Dugaanku tepat, mereka dari kelompok majelis taklim yang asal daerah tidak kuketahui. Kuperhatikan gerak gerik mereka yang penuh tawa lepas. Sesekali terdengar penggalan dialog dari mereka,”....kepingin juga mandi kayak gitu....,” kata seseorang yang lebih senior di antaranya sambil menunjuk ke arah wanita bule sedang berjemur di bibir pantai dengan pakaian celana dalam dan beha, seadanya.

Sekejab kupanggil perempuan penjaja kain Bali untuk kupilih satu dari sekian banyak pilihan kain warna-warni untuk kulilitkan di kepalaku, layaknya ustad juga. Kudekati kerumunan wanita taklim tanpa curiga, dengan harapan menyimak hasrat mereka lebih lanjut. Dialog simpang siur dengan ekspresi gemuruh para kaum ibu tersebut semakin menguatkanku tentang apa yang mereka inginkan. Tak lama berselang perempuan senior memanggil lelaki muda bule yang baru usai selancar  di pantai itu. “Saya kepingin foto sama perempuan bule itu boleh...?,” tanyanya, “Ya kan tidak mungkin mandi bebas kayak dia, foto aja jadilah,” sela yang lain. Lelaki muda itu mengangguk dan disikapi dengan berlarinya seorang wanita taklim ke pantai untuk menanyakan kesediaan wanita bule berfoto bersama mereka.

Selesai foto rebutan dengan perempuan bule setengah telanjang itu, mereka tertawa kegirangan dan bergumam masing-masing, “Kita bisa juga kayak bulek itu tapi ini pergi rombongan ya gak mungkin lah,” kata seseorang dari mereka.

Menyaksikan ekspresi kelompok wanita taklim usai berpose dengan wanita bule tadi dan kukaitkan dengan ocehan mereka, dapatlah kusimpulkan sementara, bahwa kaum wanita juga akan bahagia sekali jika memiliki tubuh yang indah dan dikagumi banyak orang. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika sebagian artis menerima tawaran berpose telanjang di depan kamera. Tidak jauh berbeda bahwa sebagian wanita bertubuh elok yang tidak berkeberatan jika seorang pelukis ingin mengabadikannya di atas kanvas.

Dalam strata hukum, sebagian orang mempersoalkan tentang ekspose foto, lukisan, patung, tarian, dan karya seni lainnya yang menyerempet aspek pornografi. Banyak juga yang tidak setuju dengan pengklusteran masalah seni ke dalam pornografi. Namun para seniman lebih memilih diam tanpa kata menanggapi kontroversi orang-orang yang suka debat tanpa karya. Mudah dicermati bahwa, pornografi juga terjadi akibat dari semua elemen, secara umum berhasrat untuk menikmatinya. Upaya penolakannya pun cenderung terjebak ke dalam suasana ke-berpura-puraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar