Jumat, 18 Januari 2013

KOTA MINI BEUREUNUEN


Kota Mini Beureunuen

Kota Mini Beureunuen, Januari 2013
Pertengahan Januari 2013, aku mampir di Beureunuen dalam perjalanan ke Banda Aceh. Perhatianku selalu saja ke kota mini yang pernah dibangun masa sebelumnya. Ketertarikanku dimulai pada tahun 2006 ketika aku menjabat Kepala Bappeda Bireuen. Hal ini dikarenakan dalam setiap rapat musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang), kawan-kawan dari Bappeda kabupaten tertentu sering bercerita tentang gagalnya kawasan di tempat mereka. Kerabat dari Lhokseumawe menuding pembangunan rumah sakit umum di Bukit Rata salah konsep sehingga tidak ada pasien yang mau ke situ. Tak pun ketinggalan, kawan dari Kota Langsa bercerita tentang tidak berfungsinya terminal bus di kota itu. Begitupula cerita kawan lain tentang kota mini di Beureunuen. Sebenarnya, aku risih juga cerita berbagai kegagalan itu tanpa solusi dari mereka selain tudingan belaka. Namun, aku mengambil hikmah untuk dapat mengetahui sebab musabab kegagalan itu terjadi.

Sebelum kuliah, sekira tahun 1978, aku sering berpergian ke wialayah Pidie bersama kawan-kawanku yang berasal dari kabupaten itu. Mereka umumnya cerdas dan tekun dalam mengikuti materi pelajaran. Ada Mahdi Syahbuddin, Fachruddin dari Meureudu, ada juga M Yusuf dan beberapa yang lain yang berasal dari Ulee Gle. Setelah kira-kira dua tahun kuliah, kisaran tahun 1982 atau 1983 aku mendengar dari rekan-rekanku asal Pidie juga tentang akan dibangunnya kota mini di Beureunuen, Kecamatan Mutiara. Aku cukup bangga dengan konsep itu, karena belum ada di Aceh kabupaten yang berani melaksanakan konsep pemekaran kota serupa itu. Kebanggaanku cukup berasalan karena kami mahasiswa teknik sipil relatif sulit mendapatkan lokasi kerja peaktek (KP) untuk  memenuhi kewajiban matakuliah. Secara kedaerahan, aku berbesar hati karena kulihat kota lama Beureunuen sudah cukup padat, dari ukuran gangguan orang-orang berlalulintas.  Sekira tahun 1985, aku sering ke kantor Pak Nur Djalil, konsultan pengembang di jalan Teuku Umar Seutui, Banda Aceh. Para petinggi Kabupaten Pidie sering ngumpul di situ main domino, termasuk Bupati Pidie Drs Nurdin Abdurrahman. Aku mendengar konsep-konsep besar pembangunan Pidie waktu itu dari Pak Nur Djalil, salah satunya pembangunan Universitas Jabal Ghafur yang sukses menggalang dana dari para donatur pusat dan daerah. Tidak ketinggalan, pengusaha nasional Sudono Salim (Lim Sio Liong) turut membantu bangunan gedung di universitas itu. Selaku dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, Nurdin Abdurrahman (populernya, Bupati Nurdin AR) yang memimpin Pidie selama dua priode, yakni 1980-1985 dan 1985-1990, aku yakini sebagai sosok berani dalam melakukan terobosan terhadap pengembangan kota. Artinya, Pak Nurdin AR berupaya untuk menyahuti kebutuhan masyarakatnya dalam memenuhi fasilitas perdagangan, yakni lokasi pertokoan yang tertata. Tak terbantahkan bahwa Kota Beureunuen merupakan kota dagang yang memang menjadi outlet produk kawasan pedalaman di wilayah Pidie.
Kota lama Beureuenuen yang kian tumbuh, Januari 2013

Dalam priode kedua kepemimpinannya, kota mini selesai. Aku yang mondar mandir Banda Aceh-Lhokseumawe belum melihat tanda-tanda orang akan berjualan di kota mini. Tahun 1989 aku menetap di Lhokseumawe, perhatianku tetap kepada bangkitan ekonomi di kota mini itu. Namun, apa yang kuharapkan tidak terjawab, bangunan itu hanya berfungsi sebagai sarang walet. Aku tdak pernah hitung berapa jumlah toko-toko di situ yang secara kasat mata berkisar di atas seratusan. Di tahun-tahun ini, Pak Nur Djalil  sudah sering ke Lhokseumawe karena menangani oproom kantor b
Bupati Aceh Utara dan aku sering diajak gabung untuk berbagai diskusi. Ada juga kawan-kawan lain yang ikut bergabung dengan kami, umumnya orang-orang dekat Pak Nur dari Ulee Gle. Dalam diskusi informal saban pagi di depan Hotel Kuta Karang baru, Lhokseumawe, kerabat Pak Nur bercerita tentang kegagalan kota mini tersebut. Aku mendengar saja apa-apa yang mereka bahas karena aku paling junior di antara mereka. Meskipun dalam hati aku tidak setuju kegagalan itu dialamatkan kepada Pak Bupati yang salah mengambil kebijakan. Memang keberpihakanku kepada Bupati Nurdin AR cukup subjektif, karena aku mengagumi beliau dilatarbelakangi sebagai pemimpin yang seniman dan merakyat.  
Jembatan penghubung antara kota lama dan kota mini
 Beureunuen, Januari 2013

Setelah kucermati bahasa dari kerabat Pak Nur, aku mulai meyakini ada hal yang tidak diperhitungkan dalam metode pengembangan wilayah. Di tahun 1996, aku pernah bertanya kepada beberapa pedagang kerupuk mulieng di Beureunuen karena setiap pulang ke Banda Aceh, aku biasakan membeli di tempat berbeda. Dengan alasan toko-toko mereka yang relatif sesak, “mengapa tidak pindahkan saja sebagian ke kota mini,” tanyaku. Secara umum mereka memberi jawaban sama, yakni “sulit laku,” katanya.

Mendengar jawaban itu, aku berusaha mencari penyebab “sulit laku” itu. Sebagian pedagang yang lain mengatakan, bahwa orang-orang sudah terbiasa mengunjungi kota lama yang berjarak sekitar 200 meter saja dari kota mini. Memang ada pemisah jembatan antara dua lokasi pasar ini, kota lama Beureunuen dengan kota mini. Sekitar tahun 2000-an, bangunan baru tumbuh pesat di kota lama, bahkan lokasi yang sebelumnya sebagai terminal atau pesinggahan bus antar kota telah dibangun pertokoan yang asri dan megah. Aku mencoba mencari keterkaitan antara alasan pedagang dengan kondisi pertumbuhan yang terjadi.

Seperti kusampaikan di atas, 11 Januari 2013, aku kunjungi lagi kota mini untuk melihat orang-orang berjualan di situ. Kesimpulanku masih seperti diceritakan para pedangang di kota lama. Padahal di sekitar kawasan kota mini telah tumbuh perkantoran, pertokoan lain di lintasan jalan Medan-Banda Aceh. Aku coba memberi kesimpulan sementara terhadap kondisi yang kulihat, bahwa kota mini yang siap beroperasi sejak 1990 bahkan mungkin beberapa tahun sebelumnya, belum mampu menarik konsentrasi keramaian di kota lama Beureunuen. Artinya, dalam waktu 13 tahun konsep pengembangan kota masih sulit terealisir. Pertokoan di situ digunakan sebagai gudang dan ada juga difungsikan sebagai tempat tinggal. Sementara, aku mencermati dalam waktu sepanjang itu, akan ternagun imej baru terhadap kota mini yang menghambat perhatian orang-orang berinvestasi di pertokoan tersebut. Pesan perjalanan pembangunan kota mini sudah semestinya dijadikan pertimbangan dalam mendesain kota-kota baru lainnya di Aceh. Peranan besar aspek sosial lebih mampu membangun imej dalam banyak hal, termasuk pusat pertumbuhan kota sekalipun. Namun perlu kontribusi dari para planolog untuk mengungkap variabel penghambat pusat pertumbuhan yang dapat dikontribusikan ke dalam aspek perencanaan. Ada kinerja imej di sana, yang semakin dibiarkan semakin terjadi penurunan citra kawasan. Apapun ceritanya, aku berterima kasih kepada Bupati Nurdi Abdurrahman yang telah berupaya membangun pusat pertumbuhan di Aceh, meskipun belum terlihat tanda-tanda keramaian, semoga karya Pak Nurdin menjadi amal shalih di hadapan Allah SWT.  (180113)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar