Kamis, 03 Januari 2013

MEMBANGUN VISI BERSAMA


Tulisan ini pertama kali kurilis pada tahun 2000 sepulang dari Baso, Sumatera Barat dalam rangka SPAMA. Pernah kupresentasikan di depan rekan-rekan di Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada 2002, minggu pertama dalam materi Paradigma Pembangunan. Mendapat apresiasi luar biasa dari instruktur kami Ibu Endang di akhir pembelajaran setelah makan siang di Restoran Sunda di jalan Batu Belah, Jakarta. Sepulang dari Spamen (Diklatpim II) tulisan ini kusempurnakan.

Razuardi Ibrahim bersama Said Mustafa, Jakarta 2012

 Membangun Visi Bersama

 Razuardi, Ramadhan 1423 H

 Sebagai gambaran menantang tentang masa depan yang diinginkan oleh suatu komunitas,  penetapan visi dipandang penting, dan diperlukan upaya agar kehadirannya dirasakan dapat menjadi milik bersama oleh segenap individu yang bernaung  dibawahnya.  Sebuah ilustrasi dalam tulisan ringkas ini sedikit memberikan pengayaan bagi para pihak yang berkepentingan tehadap pertumbuhan Kabupaten Bireuen.

Perjalanan Kabupaten Bireuen saat tulisan ini diturunkan telah berusia 2 tahun. Ada perubahan di sana. Setidaknya dari gerakan dunia usaha, khususnya pengembang. Harga toko di Kota Bireuen sebelumnya 400 juta rupiah per unit menanjak menjadi 600 juta per unit. Ada juga barang-barang lain yang bernasip serupa. Tidak pula ketinggalan dari aspek aparatur. Di samping bertambahnya jumlah pegawai negeri sipil, perangkat aturanpun  turut bertambah, khususnya yang menuntun perjalanan pembangunan. Konsep pembangunan digiring ke suatu aturan perencanaan strategis (renstra) dengan tujuan agar pertumbuhan yang terjadi mudah diukur. Persoalan renstra sesungguhnya tidak terlepas dari pernyataan visi masing-masing daerah. Untuk memberi gambaran tentang pilihan visi, sebaiknya dilakukan sedikit deskribsi illustrasi dari episode sebuah film, seperti uraian berikut.

Adalah sebuah hamparan pulau kecil yang dikelilingi laut luas sehingga tidak terlihat daratan lain yang dapat dijadikan titik pandang untuk memberikan harapan bagi komunitas yang ada di pulau itu. Di sini berdiamlah sekumpulan manusia secara turun temurun dengan pemimpin yang berkelanjutan secara turun temurun pula. Kehidupan mereka sangat bergantung pada hasil laut dan hewan buruan yang ada di pulau itu. Keadaan ini telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Suatu ketika datanglah topan dan badai menerpa kenyamanan hidup mereka, ombak menggulung ke daratan, pondok tempat kediaman mereka porak poranda, jerit tangis dimana-mana dan pemimpin mereka pun meneriakkan perintah agar penghuni pulau melakukan penyelamatan ke tempat  yang lebih tinggi.
Beberapa hari kemudian bencanapun reda. Mereka lapar, dahaga, lemah, sakit bahkan ada yang tidak tertolong lagi jiwanya. Pemimpin mereka duduk termenung dengan pandangan hampa tanpa dapat berfikir dan bertindak untuk mengatasi keadaan yang sedang dirasakan.
Dari penghuni pulau yang tersisa tampillah beberapa pemuda menghadap pemimpin dengan penuh harapan, agar kiranya ada  pemikiran ke arah penyelamatan terhadap penghuni pulau tatkala bencana serupa kembali tiba. Sudah barang tentu para pemuda merasakan bagaimana jika bencana ini menimpa mereka di saat pemimpin   tempat mereka menggantungkan harapan telah tiada.  Dan mereka pun bertanya kepada pemimpinnya  “Ketua yang kami muliakan, . . . . .apa yang mesti kita perbuat agar  kita yang tinggal di pulau terpencil ini bisa hidup berkecukupan makan minum tanpa khawatir bencana seperti kemarin datang tiba-tiba dan kita tidak melihat ada pulau lain di sekitar kita . . . . . . .”. Dengan tarbata-bata pemimpin itu berkata, “ Kalau benar seperti apa yang kalian katakan maka pikirkanlah oleh kalian upaya apa yang mesti kita lakukan agar pulau ini dan laut yang mengelilinginya  dapat menjamin kehidupan anak cucu kita seterusnya”.
Cerita fiksi  di atas menggambarkan suatu kejadian di mana pernyataan pemimpin itu mengandung suatu visi yang lahir seketika di saat mereka tertimpa masalah yang mesti dicarikan jalan keluarnya, guna menjamin kehidupan  hari esok mereka. Betapa pernyataan visi itu begitu penting bagi mereka kendati  dirasakan relatif sederhana.
Gambaran tentang masa depan yang coba diciptakan, yang diuraikan dalam tata bahasa  bentuk masa kini (present tense), seakan-akan itu sedang terjadi sekarang. Suatu pernyataan yang menunjukkan kemana komunitas itu ingin pergi, dan menjadi seperti apakah ketika mereka sampai di sana. Banyak para pakar memberi pemahaman bahwa semakin kaya dengan detail dan visual maka visi yang dibangun tersebut akan semakin kuat.
Pada satu komunitas dalam lingkup yang relatif kecil, pernyataan visi akan lebih mudah terwujudkan oleh  karena kebutuhan serta persoalan  yang dihadapi masing-masing individu relatif sama. Pesamaan ini  adalah kekuatan yang realistis bagi komunitas itu, di mana persamaan  dapat membangkitkan karakteristik positif lainnya untuk mendorong  agar lahir suatu pernyataan dari mereka dengan harapan persoalan yang dihadapi  bersama dapat teratasi.  Dengan demikian harapan atau cita-cita yang ingin dicapai oleh masing-masing individu dalam kelompok itu lebih realistis, serta visi bersama terbangun dengan sendirinya tanpa mengalami hambatan yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa jika dalam satu komunitas  mengalami masalah yang sama serta menyadari bahwa persoalan itu adalah persoalan bersama maka visi bersama akan terbangun dengan sendirinya.

Beberapa hal yang membuat visi bersama itu terbangun dengan mudah antara lain,

§  Setiap individu atau kelompok-kelompok individu mempunyai masalah bersama yang  mengharuskan mereka selesaikan secara bersama pula. Kenyataan ini dapat dilihat dari pengalaman pengadaan suatu sarana ibadah di desa-desa.

§  Sistem yang terbatas dalam suatu komunitas, tidak melibatkan sistem yang terlalu luas sehingga hambatan mudah diperhitungkan.

§  Komitmen bersama yang kuat dalam mewujudkan visi. Oleh karena keinginan menyaksikan keberhasilan pencapaian visi begitu besar maka akan tercipta uasaha yang maksimal dari setiap individu dalam komunitas.
§  Budaya yang homogen dalam suatu komunitas akan membentuk cara pandang yang sama dalam komunitas itu.
§  Hubungan emosional yang kental dari masing-masing individu  terhadap sesamanya akan menciptakan sikap saling menghargai antara sesamanya pula.
§  Potensi sumber daya alam yang sama dalam lingkungan komunitas akan menciptakan akivitas kehidupan yang sama pula.
§  Dan lain sebagainya.
Masih banyak lagi hal-hal yang dapat menjadikan visi bersama mudah terbangun, yang dapat diindentifikasi di lapangan, mengingat beragamnya karakteristik yang dimiliki oleh tiap-tiap komunitas.     
Dilihat dari latar belakang terbangunnya suatu visi bersama dapatlah dirasakan bahwa ada visi yang dibangun dengan mudah hanya berdasarkan hubungan emosional yang kental atau hanya dengan satu budaya yang homogen, kendatipun disadari atau tidak komunitas itu relatif akan mengalami kesulitan dalam mencapai visi tersebut disebabkan sulitnya pengidentifikasian faktor-faktor lingkungan eksternal dan internal. Jika pengamatan di lapangan dilakukan,  dengan melihat  penyebab lahirnya suatu visi dari beberapa komunitas  maka bolehlah dinyatakan bahwa tingkatan visi dapat digolongkan minimal ke dalam tiga kelas yaitu, “political vision”, “intelectual vision” dan “emotional vision”.
Political vision yaitu visi yang dibangun secara terpaksa atau dipaksakan oleh subkelompok atau individu yang dominan dalam suatu  komunitas  sehingga  visi yang terbangun tidak mencerminkan aspirasi dari keseluruhan komunitas. Visi ini biasanya tidak memiliki citra “sence of belonging” dari sebahagian besar individu sehingga dalam proses pencapaian kondisi ideal yang terkandung dalam pernyataan visi tersebut sulit diwujudkan oleh karena tidak mendapat dukungan dari subsistem yang bekerja pada kelompok atau komunitas itu. Dengan demikian visi tersebut kehilangan makna dan menjadi semu bahkan tidak memiliki kharisma yang patut dibanggakan oleh individu maupun sub-sub kelompok di dalamnya.
Intelectual vision merupakan suatu visi yang dibangun berdasarkan pencermatan lingkungan yang akurat atau dengan kata lain berdasarkan perhitungan-perhitungan untung rugi terhadap keadaan yang ingin dicapai maupun proses pencapaiannya. Dalam membangun visi ini diperlukan keterampilan yang memadai dari bagian-bagian kelompok untuk memunculkan potensi kelompok, serta membaca kekuatan-kekuatan dari sistem dan subsistem yang bekerja maupun sumber daya yang mendukung sistem selama ini. Dunia usaha lebih cenderung membangun visi seperti ini mengingat  gambaran hari esok yang ingin diraih ditentukan oleh langkah-langkah yang ditempuh hari ini. Biasanya visi ini terbangun melalui suatu proses yang relatif lama karena tidak dengan serta merta diterima oleh sistem atau subsistem yang ada. Visi ini mengharuskan agar semua variabel yang mendukungnya dapat terukur dan lebih eksak guna mempermudah langkah perhitungan dan penginteraksian antar potensi.
Emotional vision dapat digambarkan berupa visi yang terbangun dengan kekuatan emosional yang telah sangat mengakar baik dalam kehidupan individu maupun dalam sistem atau subsistem yang berjalan selama ini. Ianya telah menjadi cita-cita yang agung dari kelompok atau komunitas. Pembentukan visi ini bisa disebabkan oleh keadaan yang sama yang terjadi dalam suatu komunitas dapat pula disebabkan oleh pemahaman yang telah begitu kuat terhadap kondisi yang diinginkan. Visi ini dapat memberi imej kepada komunitas karena memiliki kharisma  sehingga seringkali visi ini menjadi simbol untuk menyatukan  berbagai kepentingan dalam suatu komunitas. Jika dalam proses pembentukannya didasari oleh pencermatan yang akurat mungkin visi ini akan lebih mampu untuk meraih cita-cita.  
Dalam membangun institusi atau lembaga daerah,  katakan pada tingkat distrik,  mestinya dilakukan  berdasarkan  visi  yang telah  dibangun secara  bersama oleh  seluruh  elemen  yang terdapat dalam distrik tersebut.  Hal ini  disebabkan  untuk  menghindari adanya  institusi atau lembaga yang dibentuk tidak berfungsi  dalam  mendukung visi.  Jika hal ini terjadi  tentu  pemborosan  dari  segi  anggaran  dan  waktu  tidak  terhindarkan, dan  visipun sulit terjangkau.  Konteks  ini  tentu sangat berkaitan dengan  saat awal  pembentukan distrik, di mana visi  yang digunakanpun  ialah  visi  distrik  bukan  visi  menejer  yang  akan  memimpin  di distrik itu.  Dengan  demikian  akan terbentuk  unit-unit  kerja sesuai kebutuhan  visi  baik dalam  jangka pendek maupun jangka pangjang selama eksistensi  distrik masih dipertahankan.  Sesungguhnya  konsep ini merupakan bentuk lain dari pelayanan  terhadap konstruksi visi  yang telah  disepakati  bersama.
Konsep “Good Governance” atau  kepemerintahan yang  baik  mengajarkan, bahwa terdapat 3 domain yang mendukung keberadaannya, yaitu unsur pemerintah, masyarakat, dan pengusaha disertai batasan tanggungjawab masing-masing dalam membangun kebersamaan.  Tentu visi   yang  menjadi  cita-cita  merupakan  milik  bersama, dengan kata lain ketiga domain ini harus merasa bahwa keberhasilan visi  ini adalah  tanggungjawab  bersama.  Dalam kebersamaan ini  kedudukan antara ketiganya  juga sama,  tak ada kelebihan  yang satu dari yang lain, oleh karena itu visi  yang terbangun  haruslah mampu mengakomodir kepentingan dari ketiga unsur ini.  Akan lebih baik  pada saat  pembentukannya,  dilakukan pencermatan  serta  perhitungan  yang akurat  terhadap lingkungan internal dan eksternal visi (Intelectual Vision),  kemudian upayakan  agar  ianya memiliki kharisma,  sehingga terjadi  hubungan emosional  yang tinggi  antara ketiga unsur domain tadi  dengan visi (Emotional Vision).
Banyak  kendala yang  pasti terjadi  pada  saat awal melahirkan visi bersama ini, tetapi dapat  diperhitungkan.  Kendala terbesar  yang  mesti dicermati  sepenuhnya  adalah mencari persamaan  dalam perbedaan  karakter  masing-masing individu  dalam  satu  domain,  oleh karena  karakter ini  memiliki  banyak variabel  yang berbeda-beda, di antaranya,  kecerdasan emosional,  kepentingan, kecerdasan intelektual, dan lain sebagainya.  Selanjutnya  kendala  di antara masing-masing unsur  domain juga tak kalah  pentingnya, di  mana  masing-masing unsur akan menonjolkan kepentingan kelompoknya, misalnya saja unsur pengusaha merasa lebih penting dari unsur masyarakat dan lain sebagainya.  Namun semua ini merupakan proses  yang  harus  dilalui  jika visi   bersama  ini diharapkan akan  dapat menjadi  simbol pemersatu terhadap  semua  elemen yang  ada. 
Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam  Perencanaan Strategik Instansi Pemerintah mengemukakan bahwa visi  bersama pada umumnya bersifat ekstrinsik  yang  memberi fokus kepada pencapaian  sesuatu  dan membandingkan dengan pihak luar, seperti persaingan dalam arti positip.  Di samping itu, visi bukan merupakan jawaban dari suatu  masalah, tetapi lebih  kepada  sarana pemecahan  masalah  sehari-hari yang  dihadapi. Suatu visi yang tidak konsisten  dengan nilai-nilai  yang mendasari kehidupan sehari-hari, tidak hanya akan gagal untuk  membangkitkan antusiasme, tetapi  di lain pihak  dapat  menimbulkan sinisme.
Pembentukan Kabupaten Bireuen dalam wilayah Nanggroe Aceh Darussalam tentu tidak terlepas dari tujuan dan sasaran yang diinginkan sebagaimana layaknya pembentukan kabupaten terdahulu lainnya. Membangun visi bersama dengan melibatkan seluruh komponen terkait di berbagai potensi dengan harapan agar visi yang dibangun benar-benar dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik,  tentulah sangat diperlukan oleh suatu sistem pembangunan. Keinginan untuk melaksanakan pembangunan dengan tingkat sinerjisitas yang tinggi tentu akan sangat bergantung kepada komitmen positif dari berbagai komponen, dengan tingkat akuntabilitas yang tinggi pula.
Akhirnya sepenggal ucapan selamat melangkah kepada Kabupaten Bireuen guna memperkuat petumbuhan wilayah, Aceh khususnya serta nusantara umumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar