Minggu, 06 Januari 2013

KETOKOHAN DI BIREUEN

Sukarno ke Aceh menerima dokumen pesawat RI 001 dari tokoh  Aceh, 1948
Perjalanan Ketokohan Di Bireuen


Bireuen merupakan daerah yang memiliki banyak tokoh di masa lalu sehingga struktur sosial kemasyarakatannya kuat. Tulisan ini sekedar mengenang dan bentuk apresiasi kepada zaman yang telah mengantarkan Bireuen ke hari ini, di samping tujuan pembelajaran publik bagi generasi kemudian. 

Kalangan masyarakat tertentu di Aceh kerap membincangkan ketokohan seseorang. Bahkan mampu mengulas ketokohan seseorang tanpa mengenal sosok yang diperbincangkan secara dekat. Contohnya, sebagian masyarakat Aceh selalu terkesan kebesaran jiwa para tokohnya terdahulu yang mampu menyumbang pesawat Seulawah RI 001 kepada republik tatkala negeri ini baru merdeka.  Kisah ini ternikmati tatkala diceritakan ulang kepada generasi kemudian dan mengundang decak kekaguman. Begitulah peranan para saudagar Aceh yang juga sebagai tokoh waktu itu. Tidak terkecuali di Bireuen, kabupaten yang baru berusia kurang lebih dua belas tahun selepas dari kabupaten induk, Aceh Utara. Banyak tokoh-tokoh Bireuen masa lalu yang telah berbuat layaknya setingkat para saudagar Aceh seperti diulas di atas. Namun tak begitu terekspose dalam berbagai cerita di kalangan masyarakat.
   
Saat ini, Kabupaten Bireuen banyak PR yang mesti diselesaikan sebagai konsekwensi dari pengaturan wilayah sendiri amanat otonomi daerah. Mulai dari soal kehandalan aparatur pemerintahan hingga soal kemasyarakatan, sebagaimana kerap diekspose media massa, tanpa saringan. Banyak kalangan berpendapat bahwa peranan ketokohan di Bireuen mulai diabaikan sehingga suasana konsultasi, kompromi, bahkan pencarian solusi, semakin jauh dari keseharian sistem masyarakat. Keberadaan tokoh di kabupaten penghasil keripik pisang ini memang mewarnai berbagai kebijakan di Aceh Utara waktu itu. Indikasi ke arah ini tidak sulit dibuktikan, mulai dari banyaknya anggota DPRK Aceh Utara berasal dari Bireuen, hingga banyaknya pejabat asal Bireuen di kabupaten petrodollar itu. Uniknya, pendefinisian tokoh di kalangan masyarakat semakin kabur dari pemakna-an akibat perubahan sosial yang terjadi, baik karena euforia pemekaran, kewenangan membentuk lembaga politik sendiri, bahkan gejala dari kehendak individu tertentu untuk tampil di level elite kabupaten. Apapun alasannya, banyak persoalan terbiarkan di Bireuen saat ini akibat peranan para tokoh yang termarjinalkan. 

Sistem ketokohan di Bireuen sudah berlangsung lama, ada yang mengatakan sejak pendudukan Belanda di kawasan itu dan tidak kurang pula yang meyakini sejak jaman ke-Sulthanan dulu. Seputar kemerdekaan Republik Indonesia, sejarah menceritakan kehadiran Radio Rimba Raya di tempat ini lebih dikarenakan banyaknya tokoh Bireuen waktu itu, seperti Kolonel Husen Yusuf, Yusuf Tank, dan lainnya. Dengan karakter ketokohan, mereka merasa bertanggung-jawab terhadap kelangsungan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Ujung-ujungnya, Soekarno, presiden Republik Indonesia pertama menyempatkan diri berkunjung ke Bireuen pada 18 Juni 1948.

Setelah generasi Husen Yusuf dan kawan-kawan tiada, karakter ketokohan ini terus berlangsung ke generasi selanjutnya dan berkembang sesuai aspek tertentu, seperti perniagaan, sosial-politik, dan pendidikan.  Tokoh perniagaan tidak kalah perannya dengan tokoh sosial-politik dan pendidikan. Selain sebagai sumber kekuatan finansial sistem sosial politik, keberadaan para tokoh niaga juga menjadikan Bireuen sebagai daerah tujuan pencari kerja. Banyak pekerja luar daerah yang datang untuk bekerja di berbagai pabrik skala menengah di sana, seperti pabrik limun, minyak kelapa, kawat berduri, korek api, dan lain sebagainya.

H Subarni, 2007
Saling memberi pengakuan sesama tokoh merupakan hal biasa dalam keseharian di Bireuen, meskipun tanpa ekspresi berlebihan. Kerap tersaksikan tokoh tertentu memohon dukungan tokoh lainnya dalam upaya penyelesaian hal-hal tertentu. Kolaborasi berbagai tokoh tersebut cukup dapat dihandalkan untuk mewujudkan berbagai harapan bersama. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika banyak saudagar-saudagar Bireuen mendukung stabilitas sosial-politik serta mendorong keberlanjutan sistem pendidikan di sana, termasuk dayah. 

Kondisi ketokohan semakin berkembang hingga banyak nama sosok di Bireuen mampu dijadikan ikon di sektor ekonomi, politik, dan birokrasi. Di era 80-an cukup dikenal sosok H Subarni (HS) yang dipercaya masyarakat Bireuen sebagai pengusaha tambak sukses sehingga ikon dunia usaha sektor riil melekat padanya. Tak pula ketinggalan, H Asyiek (HA), sosok yang tampil mewakili masyarakat pekerja kelas bawah yang mampu melindungi berbagai kepentingan kelompoknya. Banyak lagi sosok lain yang hadir mewakili kolompoknya dan diakui sebagai pemberi solusi terhadap ragam persoalan yang dialami masa itu.  Hampir dapat dipastikan, tiada persoalan masyarakat yang tidak terselesaikan dengan sentuhan para tokoh. Lazimnya, semua persoalan masyarakat  diperbicangkan bersama dalam suasana objektif dan kondusif. Tidak hanya dalam sistem masyarakat, kenyamanan kondisi cukup dirasakan pula oleh para birokrat yang dicirikan dengan maksimalnya kinerja pemerintahan sesuai ukuran masa itu. Tak mudah disangkal, kharisma para tokoh cukup besar memberi kontribusi terhadap ragam persoalan pemerintahan, seperti pengadaan lahan untuk kantor pemerintahan, penerapan norma di tengah masyarakat, penggalangan dana sosial, penetapan batas wilayah, dan lain sebagainya. Artinya, keputusan informal dari para tokoh cukup ampuh untuk menggapai tujuan dan mentradisi di kalangan masyarakat Bireuen.
H Asyeik, 2011

Peranan ketokohan di Bireuen paling mengagumkan yakni pada tahun 1980-an hingga akhir 1990-an. Di tahun 1980-an banyak kegiatan spektakuler yang diadakan di Bireuen, salah satunya apel siaga Pemuda Pancasila seluruh Aceh yang menghadirkan tokoh pemuda level nasional, yakni Yapto S dan kawan-kawan. Tak cukup dengan itu, sebuah karya besar produk tokoh Bireuen di akhir 1990-an yakni mudahnya pemekaran  Bireuen dari Kabupaten Aceh Utara tanpa membuang waktu yang relatif lama. Hal penting dari proses ini yakni penggalangan dana yang relatif mudah dari para  pengusaha tertentu serta utuhnya komitmen bersama yang terbangun lewat para tokoh.

Ketokohan di Bireuen hadir secara alamiah, yakni dari rasa ingin melindungi dalam kebersamaan komunitas wilayah perwakilan kabupaten, yang selalu perlu merebut perhatian kabupaten induk, Aceh Utara. Meskipun banyak pihak mengakui bahwa kawasan Bireuen hanya seputaran ibukota Kecamatan Jeumpa dengan titik pengenal simpang empat Jalan Takengon. Lhokseumawe sebagai ibukota kabupaten dan pusat pemerintahan waktu itu menjadi tempat tujuan kompetisi untuk merebut fasilitas niaga dan pembangunan. Dalam berkompetisi, tentu banyak hambatan yang mesti diatasi para kompetitor asal Bireuen, salah satunya membangun relasi yang membutuhkan kepercayaan. Ikon sektoral dari para tokoh sering dijadikan jaminan kompetensi dari para pelaku ekonomi lainnya untuk meyakinkan banyak pihak di ibukota itu. Tidak jarang, para pelaku pemula bidang konstruksi asal Bireuen mendapat kepercayaan besar dari para owner di pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Utara, bahkan merambah ke manajemen lima proyek vital di sana. Proses ini semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat Bireuen terhadap pentingnya sistem ketokohan yang tanpa disadari menjadikan wilayah Bireuen memiliki struktur sosial kemasyarakatan yang tangguh. 
  
Menariknya, para tokoh Bireuen memiliki komunitas tertentu dan tangguh.  Hari ini suasana serupa itu sulit didapatkan dengan berbagai alasan, sementara masyarakat tertentu merindukan kondisi masa lalu berulang. Peranan para tokoh, pemberi solusi seakan pupus tak berbekas. Tak satupun merasa bertanggungjawab atas hilangnya tradisi yang telah mampu mengantarkan Bireuen ke berbagai jenjang prestasi. Peranan ketokohan yang termarjinalkan oleh keadaan seakan menutup kontribusi para tokoh untuk membantu perjalanan sejarah kabupaten. Tentu perlu dilakukan upaya pendefinisian terhadap istilah tokoh di Bireuen, meskipun pada umumnya dari mereka tidak mengaku dirinya sebagai tokoh, melainkan sebagai orang yang dituakan. Tokoh Bireuen merupakan sosok pemberi solusi kepada masyarakat umum tanpa mengharapkan imbal jasa dari berbagai solusi yang diberikan. Dan tidak jarang pula dampak solusi dari para tokoh tersebut memberi konsekwensi finansial terhadap masing- masing diri para tokoh. Oleh karenanya, definisi sosok tokoh Bireuen masa lalu terukur dan teruji minimal dalam komunitasnya.

Banyak kalangan bersepakat bahwa keruntuhan sistem ketokohan di Bireuen yakni pada tahun ke-tiga, milenium ke-tiga, atau pada tahun 2003, tatkala Bireuen menjadi sebuah kabupaten dengan wilayah pemerintahan membentang dari bagian timur, yakni Kecamatan Gandapura hingga Kecamatan Samalanga di batas bagian baratnya. Sementara di bagian selatan dikawal Kecamatan Juli dan Selat Malaka di utaranya. Meskipun pemekarannya dilegalkan pada Oktober 1999 melalui UU No 48/1999, operasional kabupaten baru ini diselenggarakan pada awal Pebruari 2000 yang ditandai dengan pembentukan dinas, badan, dan kantor. Semula, peran para tokoh dalam merekomendasi pejabat yang akan menempati posisi tertentu cukup dominan dan objektif sehingga ukuran kualitas para pejabat dalam dua tahun pertama dapat dihandalkan. Banyak karya para birokrat masa itu yang dapat dirasakan hingga hari ini.  

Kebersamaan para tokoh dengan pemerintah daerah mulai redup di tahun ke-tiga perjalanan kabupaten. Indikasi ke arah itu mudah dicermati, masyarakat yang memerlukan solusi harus merasakan sesuatu yang hilang dalam kesehariannya. Kebiasaan berbagi persoalan kepada yang dituakan untuk mendapatkan solusi terhenti seketika. Berbagai persoalan di tengah masyarakat terambangkan tanpa jawaban. Tempat bertanya dan menggantungkan harapan seakan meninggalkan ragam komunitas yang biasa terayomi oleh sosok-sosok tertentu. Tentu banyak alasan yang dapat dijadikan jawaban sementara. Di samping situasi daerah tidak kondusif yang mengharuskan para tokoh diam tanpa solusi, juga terjadi kompetisi kepentingan antar sosok. Kemudian, pemupusan peranan ketokohan diperberat dengan pemunculan tokoh-tokoh baru produk tuntutan politis para elite yang tentunya tanpa proses alamiah. Keseimbangan sosial yang selama bertahun-tahun ternikmati oleh sistem masyarakat Bireuen tak bisa dirasakan lagi, begitu pula terhadap  kepedulian sesama yang mulai terkikis zaman.

Tokoh Bireuen, pelaku sejarah sekaligus panutan masyarakat kian pudar dari aspek popularitas. Indikasinya, banyak kalangan tidak mengenal mereka, konon lagi mencarikan solusi dari mereka.  Kalangan tertentu mengakui, sulit rasanya mencarikan solusi dari sosok tertentu untuk menyelesaikan persoalan masyarakat hari ini. Sudah semestinya berbagai pihak mengembalikan peranan sistem ketokohan ini, meskipun pengembalian kondisi tidaklah mudah. Pembangkitan kembali kharisma para tokoh terdahulu terhambat kehendak alam di mana zaman telah mendefinisikan makna lain dari suatu ketokohan. Namun demikian, tiada kata terlambat untuk mengembalikan peran ketokohan di Bireuen. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar