Kamis, 24 Januari 2013

SERI FAKULTAS TEKNIK-8


Parte Buruh Pengusung Solidaritas Sesama

Gejala solidaritas di lingkungan Fakultas Teknik dapat dicermati sudah berlaku sejak lama, meskipun tersamar dan tidak terungkapkan. Saling bantu atau saling memberi info khusus sesama kelompok tertentu merupakan hal biasa yang disinyalir hanya membantu percepatan pelayanan kerabat yang baru datang dari daerah tertentu. Aku sering mengunjungi tempat tinggal kawan-kawan di asrama, rumah cost, dan tempat lainnya yang dihuni rekan-rekan asal satu daerah. Namun kekuatan solidaritas yang terbangun tidak sampai terjebak ke dalam suatu pemahaman tendensius yang mempertahankan premordialisme.  

Aku, Ucok Gedabak (M Nasir), Maimun dan Pondi (T Zahedi)
berkumpul di Lhokseumawe mencari peluang kerja, 1990
Hingga tahun 1980, suasana keakraban dalam sistem pembelajaran cukup kentara dan jarang terdengar adanya friksi antar elemen baik sesama pengajar, mahasiswa dan lain sebagainya. Solidaritas yang terjadi mampu mengikis berbagai sikap tendensius, konon lagi premordialisme yang dapat membangun friksi berkepanjangan yang tidak menguntungkan. Pemanfaatan premordialisme ini berpeluang muncul tatkala diadakannya event pemilihan pimpinan fakultas, jabatan strategis di lingkungan kampus, dan lain sebagainya. Pergantian pimpinan fakultas di masa itu tidak pernah dipersoalkan karena pengakuan terhadap sosok yang layak untuk memimpin, terukur dari berbagai aspek, khususnya tingkat ke-insinyurannya. Tidak mengherankan, tatkala peralihan pimpinan fakultas dari Ir M Ali Ismail M Eng, ke Ir Imran A Rahman Eng, pada 1980, sambutan mahasiswa dan para dosen cukup hangat. Begitu pula tatkala terjadi peralihan pimpinan dari Ir Imran A Rahman M Eng kepada Ir Buchari RA M Eng, di tahun 1984. Contoh baik ini semakin menjadi episode terkagumi dan manjadi mindset kebersamaan bagi segenap civitas akademika.

Di kalangan mahasiswa juga serupa itu, tak ada friksi berarti dalam peralihan pucuk pimpinan mahasiswa, yakni Senat Mahasiswa. Pengakuan terhadap sosok aktivis tertentu teruji dalam unjuk kepiawaian berinteraksi antar elemen, baik di lingkungan fakultas maupun di pergaulan antar fakultas. Solidaritas terlahir benar-benar mampu menghadang konsep premordialisme yang rentan terjadi saban waktu. Namun demikian, pemikiran keberpihakan terhadap sosok pemimpin mahasiswa melalui konsep premordialisme selalu mendesak dengan ragam alasan. Perpecahan dampak usungan premordialisme itu terjadi di tahun 1982. Tahun itu merupakan masa pertukaran Senat Ketua Mahasiswa yang sedang dijabat Bang Nasruddin. Dari pihak mahasiswa mengusung satu nama, kalau tidak salah Hasbi Armas atau Mohd Sanusi, keduanya mahasiswa angkatan 1976. Namun, pihak fakultas mengharuskan nama lain yang tidak sesuai dengan aspirasi mahasiswa. Sejak saat itu, terbentuklah kelompok mahasiswa yang termarjinalkan dalam sistem kepengurusan Senat Mahasiswa dengan sebutan Parte Buruh. Suatu sebutan spontan dari para aktivis mahasiswa teknik tanpa makna yang mendalam selain ungkapan kejengkelan. Banyak kegiatan mahasiswa yang formal yang diprogramkan senat baru, namun gagal terlaksana akibat boikot kelompok ini. Waktu itu, setiap mahasiswa baru yang masuk ke kampus Fakultas Teknik, dapat dipastikan simpati dan ikut bergabung ke Parte Buruh. Kebersamaan berkolaborasi antar mahasiswa tiga jurusan, sipil, mesin dan kimia, cukup padu akibat satu rasa ketidak-puasan dampak kebijakan fakultas. Di sisi lain banyak kalangan beranggapan, Parte Buruh dilebelkan sebagai kelompok hura-hura, brutal yang kontra disiplin dan berpotensi drop-out akibat renggang dengan elite mahasiswa di kampus itu.

Dalam membangun kebersamaan berkelanjutan, komunitas ini kerap melakukan kegiatan spontanitas, ekspresi  unjuk rasa positif dan produktif. Dukungan finansialpun tidak sulit didapat dari sesama mahasiswa, bahkan dari pengusaha yang bersimpati kepada kreativitas Parte Buruh. Namun yang lebih penting dari sekadar finansial yakni kesiapan tenaga dan ide untuk dilaksanakan.  Pada tahun 1985, banyak rekan-rekan dari kelompok ini selesai kuliah dan diwisuda. Parte Buruh mengusung pelepasan wisudawan dengan kegiatan Peusijuk Wisudawan yang dilaksanakan di Ujong Batee, pantai di lintasan jalan ke Krueng Raya, dengan tujuan menyaingi kegiatan formal yang diadakan di fakultas. Beberapa dosen senior turut hadir menyahuti kehendak kelompok mahasiswa  yang berlebel hura-hura. Semua urusan lancar, baik dari aspek formal pemerintahan maupun dukungan donatur yang prihatin atas kondisi keretakan antar mahasiswa teknik. Melihat kemudahan perizinan menggunakan pantai yang diberikan Pemerintah Daerah Tingkat II Aceh Besar tersebut,  mudah ditebak, pada tahun 1986 komunitas Parte Buruh mengusulkan pembenahan pantai tersebut untuk kenyamanan dan ketertiban warga berwisata di sana. Semua kerabat dalam komunitas bekerja menyukseskan hasrat menggebu siang dan malam. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, beberapa bangunan sederhana terwujud di kawasan wisata itu, sepeti pintu gerbang masuk beserta loket, balai tempat shalat, balai istirahat, toilet dan sumur dangkal, dan beberapa fasilitas lain. Pemerintah Daerah Aceh Besar waktu itupun memberi apresiasi luar biasa yakni dengan sebuah kebijakan, bahwa mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah bebas mengadakan acara tahunan di lokasi itu. Bagaikan gayung bersambut, Parte Buruh membangun konsep lanjutan dengan membuat rencana dan seminar Bhakti Sosial Pembangunan Desa (BSPD) yang awalnya dipimpin oleh Alfiansyah YBC, di samping kegiatan sukses lain di tahun itu, seperti penghijauan Kota Jantho. Penggalangan kebersamaan yang dilakukan Parte Buruh relatif sederhana, yakni  camping  rutin tanpa jadwal yang mesti terbenah seketika.

Pernah suatu ketika sekira tahun 1983, Senat Mahasiswa mengadakan acara Leha-leha, suatu acara yang menjadi simbol pesta seni mahasiswa teknik yang sukses di tahun 1979 dan 1981, usungan para senior angkatan 1970-an, di Gedung Olah Raga Banda Aceh. Acara yang bertujuan menggalang kebersamaan mahasiswa itu tidak mendapat dukungan dari kelompok Parte Buruh, tak lama kemudian Band Fakultas Teknik yang sempat melegenda di Banda Aceh, vakum beberapa tahun. Pada tahun 1986, Fakultas Hukum mengadakan ulang tahun dan menyusun beberapa agenda acara, salah satunya festival band. Menyikapi hal ini, para elite Parte Buruh terjebak dalam suatu kondisi mempertahankan opini sebagai fakultas handal, dengan satu jawaban “kita harus tampil.” Pada saat kritis dari aspek dana, waktu dan personil, aku dan Wesli mahasiswa angkatan 1981, diperintahkan untuk mengkoordinir soal ini. Dengan segala keterbatasan, aku dan Wesli menghubungi beberapa rekan dalam komunitas Parte Buruh dari semua angkatan. Dalam 2 hari kelompok band dadakan terbentuk dengan formasi, Wesli selaku drummer dan Nova Iriansyah, mahasiswa sipil angkatan 1982 membetot bass.  Sementara pada posisi keyboard dimainkan oleh Hilman, mahasiswa baru jurusan mesin tahun 1986. Sasmita, mahasiswa sipil angkatan 1982 berposisi sebagai pengiring melodi. Setelah formasi disepakati sesama musisi group band dadakan tersebut, pertanyaan mengarah kepada sosok vokalis dan lagu yang akan dibawakan. Tersebutlah Herman, mahasiswa teknik sipil 1982 dan aku dari mahasiswa sipil 1980, atas tekanan Wesli untuk mempertanggung-jawabkan persetujuan tampil atas permintaan elite Parte Buruh. Tidak mudah bagiku untuk menghafal lagu-lagu baru masa itu berbarengan dengan kesibukanku menyusun proposal tugas akhir yang sudah ditunggu oleh Pak Ali Ismail. Wesli meyakinkanku agar aku nyanyikan saja lagu-lagu yang aku hafal meskipun lagu lama. Tak lama berdiskusi tentang itu, terkondisilah desain musik yang akan kami tampilkan dalam festival Sabtu depan dengan tiga lagu, yakni lagu baru “kamu”  dinyanyikan oleh Herman, sementara aku membawakan “sepasang mata bola” dan “jambo-jambo” yang diaransir dalam tempo jazz. Pada hari festival yang diadakan di halaman bagian utara kampus Fakultas Hukum, para komunitas Parte Buruh telah hadir sejak jam 09.00 WIB pagi, membuktikan benar-tidaknya aku dan Wesli komit terhadap misi kelompok.

Kekuatan Parte Buruh yang sebenarnya adalah belenggu kebersamaan dalam mengusung kreativitas pendukung nama besar Fakultas Teknik. Ketidak-relaan terhadap imej bahwa mahasiswa teknik merupakan mahasiswa abadi, cengeng dan kampungan, harus terpupus di lingkungan kampus. Komplain terhadap opini berkembang harus dijawab dengan setiap kreativitas yang diusung tidak boleh gagal. Dengan kekuatan ini pula konsep Parte Buruh mampu mengeliminir konsep-konsep premordialisme yang lazim berkembang dalam trend mahasiswa saat itu. Tidak sulit membuktikan keberadaan premordialisme pada mahasiswa teknik waktu itu. Sebagai contoh, mahasiswa asal daerah tertentu berusaha mendapatkan dukungan dari para senior yang berasal dari asal yang sama. Namun, keberadaan Parte Buruh mampu mengatasi banyak hal di kalangan mahsiswa kala itu, khususnya penyelesaian materi tugas rumah seperti perancangan yang menyita waktu bulanan, yang berpeluang mengancam mahasiswa tertentu drop-out.  Tidak mengherankan, jika di rumah Adam, mahasiswa sipil angkatan 1981, banyak rekan-rekan dari berbagai angkatan, yang belum menyelesaikan tugas rancangan berkumpul di situ untuk di”keroyok” tugasnya beramai-ramai.

Jika dicermati, di dalam kelompok inipun, interes mashasiswa terbagi lagi ke dalam tiga sub-kelompok, yakni kelompok pekerja, kelompok simpatisan fanatik dan yang numpang popularitas. Struktur yang terbentukpun berbasis talenta yang ada pada sosok tertentu. M Nazaruddin (Bang Edt) mahasiswa sipil angkatan 1976 merupakan sosok pemberi alasan kegiatan boleh dilakukan. Maimun Js (Bewok) mahasiswa sipil angkatan 1977, cukup berperan dalam menggiring massa untuk membantu berbagai kegiatan parte. Rachmatsyah Nusfi, angkatan 1977 dan aku yang digelar mereka Essex asal angkatan 1980, tanpa surat keputusan sudah jelas dibebani urusan spanduk dan desain tempat kegiatan. Tidak pula ketinggalan, Dian Nadir (Boenk) dan Amir Hasan (Paman), sama-sama dari sipil 1974 memposisikan diri dalam pengukuran lokasi kegiatan. Banyak lagi rekan-rekan senior lain yang tidak terdokumentasi dan teradministrasi dengan baik. Dari angkatan 1982 teknik sipil, tersebut pula Anton Kamal, Abustian, dan beberapa yang lain. Dari jurusan teknik mesin 1980, ada Elwi Susanto yang berperan sebagai pelipur lara, Bakaruddin (Koa) yang berperan pemantau kesiapan konsumsi. Takpun ketinggalan Ralizar (Jal Sabang) dari teknik mesin 1979, mahasiswa ahli pemasangan listrik dan sound sistem yang mempertahankan talenta dengan cukup berani. Pemasangan antena Radio Kampus pada tahun 1981, setinggi lebih dari 60 meter dipanjat dan dipasangnya seorang diri dengan peralatan sederhana, tali pengikat badan, balok 2 inci sepanjang 2 meter sebagai penyangga dan sebuah kunci Inggris. Adalagi rekan dari sipil angkatan 1979, seperti Munizar Yahya dan Suryanto (Anto Kribo) yang selalu bertindak sebagai surveyor awal lokasi kegiatan. Dari angkatan 1984 yang aktif saat itu, salah satunya Alfiansyah YBC, bersama beberapa rekannya yang lain.

Mencermati sebagian kisah, bahkan masih banyak lagi prestasi Parte Buruh yang belum teringat untuk ditulis, yang dapat dikemas ke dalam suatu definisi, yakni sekumpulan mahsiswa fakultas teknik yang mampu membangun solidaritas sesamanya melalui pemupusan sekat jurusan, asal dan angkatan. Begitulah sekilas suasana mahasiswa Fakultas Teknik dalam memperthankan solidaritas antar elemen, mahasiswa, dan terpenting mempertahankan imej sebagai kampus kreative yang dihuni komunitas macho. Jelang hari wisuda, 2 September 1988, Pak Ali Ismail berujar kepada Bewok, “setelah kalian tamat apakah ada anak-anak teknik seperti kalian,”  katanya dengan mata sedikit berkaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar