Jumat, 04 Januari 2013

PROGRAM DAN PROYEK


Program dan Proyek



Suatu pertanyaan yang mesti dicarikan jawabannya adalah “ mengapa ada proyek yang dilakukan tumpang tindih antara satu instansi dengan instansi lainnya dalam satu distrik, bahkan setelah instansi A menutup galian hari ini lusa instansi B menggali kembali dengan lain kepentingan.”  Kejadian ini adalah Hal yang sering terjadi dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia sehingga setiap kali rapat dilakukan, kordinasi menjadi isue yang menarik untuk dibicarakan. Dalam melaksanakan pembangunan di negeri ini dikenal dengan sistem proyek yang berjalan sesuai dengan tahun anggaran. Pelaksanaan ini diatur berdasarkan peraturan yang berlaku baik petunjuk opersionalnya maupun tatacara pengadaannya. Aturan ini ada yang seragam dari pusat hingga ke daerah adapula yang spesifik menurut karakteristik dari berbagai jenis proyek. Sasaran yang diinginkan dari suatu proyek adalah penyelesaian masalah atau melayani kebutuhan hajat hidup orang banyak atau masyarakat umumnya.

Tatacara membuat usulan proyek pun telah diatur dalam mekanisme baku baik untuk tingkat nasional, maupun di tingkat daerah(propinsi,kabupaten). Biasanya usulan ini dilakukan tanpa mengukur tingkat kebutuhan dari proyek yang diusulkan dengan kebutuhan program. Indikasinya antara lain ialah belum adanya laporan dari satu institusipun yang menyatakan bahwa suatu program telah mencapai “X persen”, sehingga untuk menyelesaikannya kita memerlukan “X-Q persen” lagi. Sebagaimana diketahui bahwa suatu program didukung oleh kegiatan-kegiatan (proyek-proyek) yang perlu diukur tingkat sinerjisitasnya.

Struktur organisasi proyek yang umum berlaku selama ini terdiri dari pemimpin proyek, bendahara proyek serta unsur-unsur lain yang diperlukan untuk menunjang kegiatan proyek.   

Sistem manajemen proyek dalam sistem anggaran belanja negara atau daerah membuat para pemimpin proyek bersikap tidak begitu perduli terhadap manfaat atau sasaran yang yang ingin dicapai oleh suatu proyek yang berada di bawah tanggung jawabnya. Kecenderungan ini sangat terasa di saat pembahasan daftar isian proyek (DIP) di institusi perencana baik daerah maupun nasional, dan kebiasaan ini telah berjalan bertahun-tahun, sehuingga kondisi ini merupakan sistem yang mesti ditempuh dalam mewjudkan suatu kegiatan proyek  yang dianggarkan dalam tahun berjalan. 

Ada suatu ukuran keberhasilan proyek pada masa tahun 2002 dan sebelumnya yaitu tingkat penyerapan anggaran, yang mana suatu proyek dinyatakan berhasil jika dana yang terserap dapat mencapai 100 %. Indikasi ini dianggap penyelesaian fisik juga telah mencapai 100%. Oleh karena sistem anggaran terpusat, jika anggaran yang tidak terserap habis dalam tahun berjalan maka anggaran dianggap SIAP (sisa anggaran pembangunan). Persoalan ini membuat para pemimpin proyek pada waktu itu berlomba membuat laporan tingkat kemajuaan fisik proyek selesai 100 %, dengan tujuan agar dana dapat terserap dan tidak mengganggu pagu anggaran tahun berikutnya. Dengan demikian timbullah istilah blokir anggaran.

Dalam pengadaan suatu proyek dikenal  proses pelelangan (tender), dengan keppresnya yang sangat populer yaitu Keppres 29, kemudian diperbaharui lagi. Keppres mengatur bagaimana tatacara melaksanakan pelelangan sehingga dihasilkan pemenang dengan kriteria yang sangat ditekankan yaitu paling menguntungkan negara baik, dari segi anggaran maupun waktu pelaksanaan. Jika proses pelelangan ini sesuai dengan aturan tentu sangat baik sekali. Akan tetapi dalam pelaksaannya kerap terjadi permainan yang tidak sehat baik sesama rekanan pelaksana maupun antara rekanan dengan pemimpin proyek. Banyak lagi peluang-peluang yang dapat terjadi yang merugikan proyek dari segi proses tender ini. Begitu pula jika tender tanpa permainan atau bebas murni dengan memilih pemenang dengan harga terendah yang pada akhirnya proyek tak dapat diselesaikan oleh karena anggaran untuk hal-hal yang tak terduga begitu besar.

Pada akhirnya program yang merupakan himpunan dari proyek-proyek tidak mencapai sasaran dan sulit untuk diukur tingkat keberhasilannya, karena kalaupun ada dibuatkan rencana jaringan kerja (net work planning) prioritas kegiatan tidak lagi menurut rencana yang telah disusun, atau sulit untuk menyatakan kita telah berada di anak tangga ke berapa dalam menuntaskan program ini.
Razuardi Ibrahim meletakkan batu pertama pembangunan
Puskesmas Jeunieb  2008

Selanjutnya program sebagai instrumen untuk mewujudkan kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan harus mampu memberikan ilustrasi tentang sasaran yang akan dicapai serta terukur tingkat sinerjisitas dari seluruh kegiatan (proyek) yang dihimpunnya. Dalam satu sasaram program dengan terget grop yang jelas,  penyusunan kegiatan yang dilakukan akan relatif lebih mudah, dengan catatan jika masing-masing institusi pelaksana kegiatan tidak memperlihatkan ego sektoral yang berlebihan. Di sinilah institusi perencana  berperan penting dengan objektivitas yang tinggi  sehingga skala prioritas yang disusun nantinya dapat menggambarkan kebutuhan  bukan keinginan.

Razuardi Ibrahim bersama pengelola bantuan negara donor, Jeunieb 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar