Minggu, 06 Januari 2013

PENGALAMAN SEBAGAI PNS


Pengalaman Sebagai Pegawai Negeri Sipil

Om Ridwan Mahmud, 1997
Berbagi pengalaman juga suatu pembelajaran. Aku menjadi pegawai negeri, setelah tiada pilihan lain untuk bekerja seraya membina generasi anak negeri. Semula aku berkeras ingin jadi pekerja seni, namun terhalang jaminan hidup yang kulihat tidak menentu dari rekan-rekanku yang seniman. Lantas, adik ayahku, Ridwan Mahmud yang ketika itu salah seorang manajer di PT Arun leluasa menerima karyawan, aku ditawarkan untuk kerja di situ. Tapi aku lebih berfikir kalau diterima dengan konsep KKN, alangkah sayangnya rekan-rekanku yang lebih mampu dan lebih hebat terhalang oleh cara-caraku. Om Ridwan arif dan tidak memaksa aku untuk memperoleh hak dengan cara begitu.  Meskipun kala itu aku lihat banyak saudara-saudaraku dari Matang Geulumpang Dua, Peusangan datang mengurus pekerjaan melaluinya. Banyak juga hasil kebun dibawa mereka, seperti jeruk bali, asam sunti, pliek u, dan lain sebagainya.

Razuardi Ibrahim, 2009
Aku lulus testing pegawai negeri pada 1989 dan diangkat pada 1990. Dalam perjalanannya, banyak pengalaman di luar tugas yang kudapat, khususnya dalam hal berinteraksi dengan lain staf, instansi, organisasi dan lain sebagainya. Namun tak jarang rekan-rekan senior di dinasku mengajarkan lobi dan melakukan hubungan baik bahkan berlebihan dengan pejabat tertentu di sekretariat daerah. Aku juga merasa tidak punya banyak waktu untuk melakukan hal seperti anjuran para senior karena tugasku di Dinas PU cukup banyak, selaku penanggung jawab laboratorium pengujian bahan. Aku juga merasa aneh tatkala tiba musim mutasi pegawai. Rekan-rekan senior sibuk melakukan pendekatan dengan kepala dinasku melalui aku karena Pak Suadi, Kepala Dinas PU Aceh Utara waktu itu cukup respon kepadaku.

Aku tidak pernah meminta atau mengirim orang untuk  meminta jabatan tertentu pada para pengambil kebijakan daerah.  Hal ini tabu kulakukan karena bakal menjadi beban yang tak pernah terlepaskan selama aku masih berstatus pegawai negeri. Jasa pemberian atas permintaanku kuramalkan pasti mendera berbagai sikap kreativitasku.  Kurasa aku relatif berhasil dalam aspek ini mengingat aku mampu bertahan selama 21 tahun bertugas.

Namun demikian, banyak para kelompok-kelompok tertentu yang lebih berpredikat organisatoris baik di partai politik maupun di organisasi masa lainnya, datang menawarkan jasa untuk mempertemukan aku dengan orang-orang yang dianggap tokoh daerah. Sering kutolak cara-cara seperti itu, meskipun dengan simpati. Tak jarang di antara para broker tersebut bercerita bahwa ada orang-orang tertentu tengah membangun isu negatif seputar diriku. Biasanya aku diamkan saja komentar mereka seraya mengalihkan pembicaraan ke topik lain.

Aku menilai bahwa para broker tersebut berupaya mendapatkan sesuatu dari pemerintah daerah melalui peranku dengan bermodalkan ketangkasan bertutur dan olah isu. Sering aku menjadi korban secara  finansial, yang sejak awal aku sudah paham tentang maksud pendekatan yang dilakukannya. Kupikir agar tidak membuang waktu yang panjang biarlah kuselesaikan maksud tersirat dari mereka, yakni rejeki. Dalam konsep pelayanan seperti ini, aku lazim memerankan diri sebagai orang yang sedang kedatangan para tuna sosial yang butuh uluran tanganku, dan dengan mindset ini pula aku merasa nyaman selalu.

Termarjinal dan Terpakai

Perlu kuulangi lagi, aku menjadi pegawai negeri berawal di Dinas Pekerjaan Umum Daerah Aceh Utara, tahun 1990 dengan masa honor selama satu tahun. Kelulusan testing pegawai-negeriku pada tahun 1989 tidaklah merupakan hal yang istimewa, karena permintaan jurusanku, teknik sipil, kurang pesaing. Para insinyur teknik sipil kala itu lebih tertarik ikut testing di propinsi, sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum, yang notabenenya pegawai negeri pusat.   Perbedaan pegawai negeri daerah yang nomor induk pegawainya diawali angka 39, dengan pegawai pusat yang diawali angka 11, cukup sering dibicarakan di berbagai  lingkungan kantor pemerintahan, khususnya menyangkut prestise pusat dan daerah.
Masa pengangkatanku sebagai pegawai, Bupati Aceh Utara waktu itu adalah Bapak Ramli Ridwan, SH. Oleh karena kepala dinas-ku, H Suadi, BIE, hanya berpredikat sarjana muda, aku kerap dihadirkan dalam setiap rapat-rapat teknis di pendopo kabupaten maupun tingkat propinsi di Banda Aceh. Oleh karena keadaan ini pula, aku merasa mendapat apresiasi yang luar biasa karena Pak Suadi selalu mengajakku menemui Pak Ramli untuk menyusun proposal berbagai infrastruktur daerah meskipun aku masih berpredikat calon pegawai negeri sipil. Singkat cerita, banyak pekerjaan teknis dikonsultasikan kepadaku oleh bupati dan kepala dinas dan  yang tersukses adalah program peminjaman dana dari Departemen Keuangan RI sejumlah Rp 12,5 milyar untuk percepatan pembangunan.

Aku merasakan saat itu, Pak Ramli dan Pak Suadi senang kepadaku karena aku tidak pernah membantah terhadap apa saja yang diperintahkan mereka. Kadangkala ada proposal infrastruktur yang tidak pernah ditangani di tingkat kabupaten namun harus kusiapkan untuk presentasi Pak Ramli di Jakarta dua hari ke depan. Kesulitan ini biasanya kuatasi dengan menghubungi rekan-rekanku sesama sarjana teknik sipil yang ada di Politeknik Lhokseumawe.

Tahun 1993 masa jabatan Pak Ramli berakhir dan digantikan dengan Bapak Karimuddin Hasybullah, SE. Sebagian pejabat bermuram durja, sementara yang lain bersukaria. Aku tidak mahfum tentang keadaan yang berubah. Banyak orang membicarakan jadwal pelantikan, isu jabatan, dan lain sebagainya. Sosok swastapun tidak ketinggalan, khususnya kontraktor. Kulihat banyak pahlawan baru yang selalu menakut-nakuti setiap pegawai yang dijumpai. Apalagi di kantor PU Daerah yang dianggap banyak uang karena banyak menangani proyek infrastruktur.

Tak lama setelah hiruk pikuk kemenangan Pak karim, sebelum pelantikan, isu mutasi pejabat beredar.  Tidak terkecuali orang-orang dekat bupati lama seperti aku, meskipun golongan pangkatku masih III A. Aku tidak diperbolehkan lagi menangani pekerjaan yang selama ini aku tangani. Kegiatan perencanaan teknis dan sebangsanya tak lagi menjadi tugasku, karena aku digolongkan oleh para tim sukses Pak Karim sebagai Orari (Orang Ramli Ridwan). Aku tidak terganggu dengan kondisi ini dan tidak pula berusaha mencari pembenaran, seraya kuyakini dalam hati akan terjadi benturan dalam pelaksanaan konstruksi di lapangan. Perlahan kucermati, kondisi  pengembangan isu seperti ini bertujuan menjadikan aku terpinggirkan dan tidak dilibatkan dalam aktivitas proyek. Aku tidak berkecil hati namun merasa heran tentang tatakerja aparatur yang rada aneh menurutku. Setahun juga lamanya aku hanya datang ke kantor hanya untuk berbincang-bincang bersama rekan, di samping menjaga laboratorium pengujian bahan.

Dalam perjalanan setahun itu, aku menyaksikan terjadi konflik antara pengelola proyek di Dinas Pekerjaan Umum dengan pelaksana lapangan, kontraktor. Kejadian demi kejadian menggiring para petugas diperiksa aparat berwajib, termasuk aku sebagai penanggungjawab laboratorium untuk dimintai keterangan.

Keadaan semakin rumit manakala konflik pelaksanaan konstruksi melibatkan para Muspida. Atas rekomendasi aparatur di Sekretariat Daerah, Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Utara, Ismail Bantasyam memanggilku untuk menempatkan aku menjadi pemimpin proyek inpres peningkatan jalan kabupaten (IPJK), proyek yang cukup populer ketika itu. Aku keberatan karena aku tidak masuk dalam usulan dari dinasku. Namun Pak Sekda mendesak seraya berpesan agar aku bekerja sebaik mungkin dan jangan berbuat macam-macam seperti yang tengah terjadi. Akhirnya kuiyakan maksud Pak Sekda dengan hati tidak menentu, khawatir kepala dinasku yang baru gusar kepadaku.

Dalam posisi sebagai pemimpin proyek, banyak jembatan rangka baja yang aku selesaikan melalui konsolidasi tim yang kuat. Pada saat itu, Bupati Karimuddin Hasybullah sering memanggilku ke pendopo untuk menyusun strategi penerobosan daerah terpencil di Kabupaten Aceh Utara. Kerap aku ke lapangan bersama beliau dan tak jarang membuat para atasanku terusik. Namun bupati tetap meyakinkanku agar tidak usah sungkan terhadap para atasan yang dirasakan tak memberi solusi bagi visi misi beliau.

Posisi ini memberi prestasi kepadaku, yakni dengan  suksesnya aku memimpin pembangunan jembatan Teupin Gapeuh Kecamatan Tanah Pasir bersama rekanan PT Tabina, yang dipimpin Bang Saifannur, asal Paya Meuneng, Matang Geulumpang Dua. Waktu itu Bupati Karimuddin mendapat banyak pujian dari berbagai kalangan, karena muara Krueng Keureutoe tempat jembatan dibangun merupakan lintasan kapal barang Mobil Oil, perusahaan minyak dan gas yang sedang giat-giatnya beroperasi di Aceh Utara. Semangat Pak Karim, sebutan populer Bupati Aceh Utara itu, semakin membuncah sehingga banyak jembatan rangka baja dan beton dibangun di masa kepemimpinan beliau. Puluhan jumlahnya, tersebar di seluruh kecamatan dari Kecamatan Jambo Aye hingga Samalanga.

Popularitas Pak Karim sebagai penerobos kawasan terpencil dengan ikon pembangunan jembatan,  ternyata membangun imej lain bagi kalangan tertentu. Para kolega beliau memanfaatkan isu keberhasilan ini untuk promosi Pak Karim dalam rencana meraih jabatan ke-dua, musim pilkada 1998. Dalam setiap pertemuan Pak Karim sering menyanjungku sebagai orang muda yang sigab membantu programnya. Dengan sendirinya, aku terlibat dalam bahagian pencitraan Pak Karim. Sebenarnya aku risih juga disanjung sedemikian rupa karena tidak nyaman didengar para seniorku yang kadangkala sering dimarahi Pak karim.

Hari pemilihan Bupati Aceh Utara pun tiba. Waktu itu pemilihan Bupati hanya dilakukan oleh anggota DPRD. Dalam pilkada ini Pak Karim kalah, beliau mundur dari pencalonan. Bupati terpilih kala itu adalah  Tarmizi Karim. Euforia para timses Pak Tarmizi tidak jauh berbeda dengan masa menangnya Pak Karim lima tahun silam. Kalaupun ingin dibedakan hanyalah orang-orangnya saja, yakni timses Pak Karim umumnya berasal dari Aceh Utara, sementara sebagian timses Pak Tarmizi orang-orang dari Banda Aceh. Kali ini sejarah penggusuran berulang, aku diisukan sebagai bagian masa lalu yang harus dinonaktifkan.

Tentu berbeda dalam menyikapi atau menilai isu dua kelompok timses dari dua asal berbeda. Timses Pak Tarmizi mudah menyerap isu dan memvonis terhadap orang-orang yang menjadi objek isu karena alasan tadi, yakni orang yang tidak paham tentang karakter orang-orang berkepentingan saat munculnya Bupati terpilih. Berbalik adalah cara yang paling mudah dilakukan mereka dalam menyusup ke dalam kelompok timses Banda Aceh, saling membangun kepentingan.

Selama se-tahun aku hanya menyaksikan rekan-rekan bekerja tanpa terlibat langsung dengan pekerjaan. Dalam tahun itu juga aku saksikan terjadi benturan di lapangan sesama rekanan yang merasa berjasa. Suatu kali T Zahedi mengajakku ke Pendopo menemui bupati, “harus kita klirkan masalah isu buruk tentang kita,” katanya. Aku diam saja karena aku pikir kearifan pimpinan tidak dengan menunggu orang-orang datang menyatakan setia. Lalu dalam tahun 1999, aku diposisikan sebagai Ketua Panitia Pelelangan, dan sukses meski setelah penempelan pengumuman lelang, kantorku di bakar.

Dalam masa itu, Bireuen mekar menjadi kabupaten sendiri. Aku diharuskan oleh Bang Tar Raden pulang ke Bireuen. Ada juga hambatan administrasi kala itu, namun Bang Tar raden berkeras ke Gubernur untuk mengurusnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar