Senin, 14 Januari 2013

TRADISI BALEE


Tradisi Balee

Balee di Cot Nga, Peusangan, 2012
Balee meupakan bangunan panggung berukuran kecil yang terletak di halaman rumah di Aceh.  Pada masa sebelumnya, di saat listrik belum merambah seluruh pelosok tanah air,  balee dimanfaatkan sebagai tempat anak-anak desa mengaji. Di samping juga dimanfaatkan sebagai tempat duduk-duduk pemilik rumah bersama jiran dan untuk menyimpan barang-barang atau alat pertanian. Di Kabupaten Bireuen tradisi balee masih banyak dijumpai di kawasan timur, di Kecamatan Peusangan hingga Gandapura. Meskipun saat ini rumah masyarakat telah berganti dengan rumah permanen, bangunan balee tetap ada di pekarangan rumah.  

Aku memperhatikan dampak lain dari balee yang dibangun masyarakat itu, khususnya di beberapa rumah saudara nenekku. Sepulang dari sawah, para wanita paruh baya membawa pelepah dan batok kelapa, daun kelapa kering dan kayu kering diletakkan di kolong balee. “Keu maguen (untuk masak),” kata nenek di salah satu desa di Jangka pesisir Peusangan. Lantas pada kesempatan lain aku melihat nenek itu menjemur belimbing, setelah sore hari gulungan tikar berisi belimbing jemur diletakkan di lantai atau di langit-langit balee. Tidak pun ketinggalan jika di halaman rumah terdapat melinjo, kopi, cokelat, dan komoditas lainnya dalam kapasitas yang sedikit, dijemur dan disimpan di balee.  Sepintas kegiatan ini merupakan sambilan belaka.

Sebenarnya, ada hal menarik yang perlu dicermati dari aspek ekonomi terhadap fungsi balee. Tanpa disadari, balee telah lama berperan dalam tradisi masyarakat Aceh di kawasan tertentu sebagai penopang ekonomi rumah tangga. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika di kawasan tertentu di Bireuen terdapat rumah petani yang permanen, bersih dan menarik, dengan balee produktif di sudut halamannya. 150113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar